“… Ing
ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani…”
Sebuah semboyan
yang tak asing dari pendengaran kita. Semboyan suci itu lahir dari Bapak
pelopor pendidikan, Ki Hajar Dewantara, yang karenanyalah kita mampu merasakan
manisnya pendidikan hingga saat ini.
Di zaman
sekarang pendidikan bukan sebuah kebutuhan yang susah dimiliki. Berbeda dengan
70 tahun silam. Saat itu, tak ada rakyat pribumi yang berpendidikan selain
putra pejabat ataupun konglomerat. Itu pun hanya golongan pria yang diijinkan
mengenyam pendidikan. Karena perjuangan gigih Ki Hajar Dewantara-lah kita mampu
memilikinya dan karena usaha keras Ibunda Kartini pula, kaum Hawa pun kini tak
hanya diam tanpa alasan di dalam rumah. Bahkan saat ini banyak kemudahan untuk
dapat menikmati pendidikan itu sendiri. Bila pemerintah telah menggalakkan
sistem wajib belajar 12 tahun, maka pemerintah juga telah menyediakan
fasilitas-fasilitas yang memudahkan anak bangsa untuk tetap berpendidikan.
Selain itu,
salah satu tujuan bangsa Indonesia yang tertera dalam pembukaan UUD 1945 adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini berarti pendidikan bukan suatu hal yang
langkah, tapi telah menjadi kewajiban setiap warga untuk dapat mengenyamnya.
Dengan adanya
kemudahan-kemudahan dalam memperoleh pendidikan, maka telah terbentuk begitu banyak jenis civitas
akademika yang lihai di bidang pendidikan. Naasnya, subyek-subyek pendidikan di
negeri ini justru tidak mampu memanfaatkan apa yang telah dimiliki. Mereka
lebih banyak terlena dengan kesenangan dunia hingga melupakan apa yang menjadi
kewajibannya.
Seperti yang
kita ketahui bahwa pendidikan merupakan sebuah upaya seorang pendidik untuk
membuat seorang anak didik bisa mengembangkan potensi diri mereka yang diberikan
oleh sang khaliq secara terencana. Potensi tersebut bisa berupa kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Untuk
mewujudkan subyek-subyek pendidikan dengan kualitas yang tinggi, kita dapat
mengubah pemikiran tentang tanggal 2 Mei yang akan datang esok hari. Hari suci
di mana pendidikan terpancar elok, laksana mentari dengan cahaya keabadiannya.
Seperti kata bijak dari Ilmuwan fisika termasyhur di abad 20, Albert Einstein,
betapa indahnya diri seorang ilmuan bila berhias akhlak dalam pancaran aura
kepribadiannya. Siapa pun orangnya bila berakhlak, akan mencapai hasil terbaik
di titik penghujungnya. Dan dengan akhlak pula, seorang akan mampu menahan
dirinya dan menghindar dari sesuatu tidak diinginkan yang justru akan merugikan
dirinya dan orang lain. Misalnya, realita telah banyak mengatakan bila kasus
korupsi sedang membahana di era ini. Parahnya, pelaku-pelaku perbuatan dosa ini
bukan berasal dari rakyat-rakyat jelata ataupun masyarakat bodoh yang tak
pernah singgah di bangku sekolah. Justru tokoh utama yang terlibat dalam kasus
ini adalah mereka-mereka yang memiliki jabatan tinggi, pendidikan tinggi, dan
golongan berdasi. Lantas, siapa yang salah atas terjadinya kasus prilaku atasan
yang menyimpang seperti ini?
Tidak ada yang
patut disalahkan dalam suatu kasus permasalahan seperti ini. Bila dianggap
salah semua pun akan terlibat dalam lingkaran kesalahan. Satu yang terpenting,
kesadaran diri untuk melakukan yang terbaik.
Pemerintah
telah menggalakkan pendidikan berkarakter di tiap mata pelajaran pada semua
tingkat pendidikan. Hal ini sangat mendukung pembentukan akhlak seorang anak
sejak usia dini. Pendidikan karakter mengajarkan anak berlaku atau berakhlak
semestinya. Di mana akhlak itu diperuntukkan tak hanya terhadap Allah yang
berbasis keimanan, tapi juga terhadap diri sendiri, sesama, bahkan juga
terhadap lingkungan. Jadi, tak hanya hablun minallah saja yang
diperbaiki tapi harus dijalankan secara seimbang dengan hablun min an-naas.
Intinya, dunia akhirat mampu diperoleh keduanya.
Dengan
demikian, 2 Mei esok ini dapat kita sambut dengan pemandangan baru, pemandangan
langkah yang akan membuat perubahan untuk dunia pendidikan pada umumnya.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: من لا أدب له
كالذّباب. Yang artinya: “Barang siapa yang tak memiliki tata krama, maka
ia diibaratkan seperti lalat”. Begitu hinanya mereka-mereka yang tak berakhlak
hingga diumpamakan dengan binatang sehina lalat yang tak tahu malu
menginjak-injak kepala setiap orang tak peduli pejabat mapun rakyat.
Dalam kitab
‘alala juga dijelaskan:
فساد كبير عالم متهتّك ° وأكبر منه جاهل متنسّك
Kerusakan besar adalah orang berilmu yang tidak mau mengamalkan
ilmunya,
Dan kerusakan terbesar adalah orang bodoh yang tak mau berusaha
menghapus kebodohannya.
Dari sini sudah
jelas bila keindahan ilmu akan dapat dirasakan jika ahlul ‘ilmi atau shahibul
‘ilmi dihiasi dengan akhlak islami. Di mana akhlak tersebut diatur
berdasarkan pada ajaran islam, yaitu Al-qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Bila
semua civitas akademika yang ada di bangsa ini mampu mewujudkan program
pendidikan yang menggalakkan pendidikan karakter itu, kenyamanan dan
kesejahteraan bangsa akan mampu terwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara demi membawa pendidikan Indonesia mampu bersaing di
kancah Internasional.