Jumat, 12 Februari 2016

SEPUCUK SURAT UNTUKMU, SAHABATKU



“Ambil kantong plastik itu ukhty[1], buat mengantongi sepatu kita,” teriak sahabatku di tengah gelapnya gemuruh rinai hujan.
“Kita singgah sholat ashar dulu ukhty, takutnya nanti sampe rumah waktunya sudah habis,” sela sahabatku ketika kita berjalan melintasi masjid.
“Ukhty, besok main ke rumah ya, ditunggu sama Ibu.”
Suara-suara itu. Ya, di balik cahaya purnama malam ini, aku mengenang masa itu. Masa di mana kita selalu bersama, menggugah keramaian dunia, menantang cakrawala dengan asa di genggaman tangan kita.
Pagi itu mentari tersenyum sumringah, seakan ingin menghibur jutaan makhluk di belahan bumi dengan kemilau sinarnya. Namun, tidak untuk aku dan teman-temanku. Pagi ini juga, pesta perpisahan kita digelar. Acara berjalan khidmat, hadirin terlihat tenang. Sambutan perwakilan siswa kelas XII SMA Negeri Surakarta, sambutan kepala sekolah, ketua yayasan, semua terlewati sudah. Namun tangis membuncah saaat tim paduan suara mendendangkan lagu-lagu melankolisnya. Seakan bah air mata sedang singgah di sekolah yang masyhur dengan kualitas siswanya di bidang scientice ini. Semua terasa terlihat lemah, kalah dengan keadaan yang akan memisahkan tembok kenangan yang telah terbangun semasa sekolah.
Tak lama sudah, ada secercah senyuman di balik rinai air mata kesedihan, saat dengan lantangnya wakil kepala sekolah mengumumkan 10 siswa terbaik. Dan empat di antara sepuluh itu adalah kita. Aku dan ketiga sahabatku.  Setitik kebahagiaan itu hadir meski tetap dengan iringan air mata.
Dari sinilah semua berakhir. Persahabatan yang selama ini kita bangun seakan benar-benar telah terkalahkan dengan perubahan sikapnya. Dianggap benci, tidak mungkin, dia sahabatku. Tapi yang dirindukan tak pernah merasa. Keterlaluan!
Ku tanyakan kabar tentangnya. Nomor ponselnya masih aktif, masih sama seperti nomor yang dipakai ketika SMA. Tapi tak pernah ada satu pun sms balasan ketika aku mengirim satu pesan ke nomor ponselnya itu.  Panggilan pun terasa diabaikan. Aku mulai bosan dengan perkataan orang di seberang. Nomor yang anda tuju tidak dapat menerima panggilan anda, cobalah beberapa saat lagi. Tuut,,, tuutt,,, tuuuttt. Bahkan yang paling menyakitkan. Ketika jelas-jelas dia sedang online di facebook, kiriman pesan dariku tak pernah sedikit pun tersentuh oleh tangannya. Benar-benar membuat geram!
“Mawar, sudahkah kamu tau tentang keadaannya di sana?”
“Entahlah Yasmin, capek aku.”
“Aku sakit hati, masak teman-teman lain tanya padaku tentang dia yang sekarang telah berubah.”
“Berubah gimana maksudmu, Dahlia.”
“Kawan, tidak hanya kita yang diperlakukan seperti ini olehnya, dia yang dulu terkenal ramah dengan semuanya, mereka pun menjadi korban kecuekannya. Apalagi mereka semua pun tau tentang perilakunya di sana, bahkan cara berpakaiannya pun telah berubah.”
“Benarkah? Dari mana mereka tahu?”
“Banyak, ada di postingan facebooknya.”
“Bener-bener sudah melampaui batas dia.”
Kita kembali merenung, disibukkan dengan pikiran tentang satu sahabat yang telah jauh dari pandangan. Rintik gerimis tak henti-hentinya membasahi bumi yang kami injak, membuat suasana semakin mencekam perasaan. Antara benci, gamang, dan sayang.  
Surakarta mempertemukan kita. 6 tahun di masa biru dan abu-abu putih yang menyelimuti kita. Tapi, pesta perpisahan pagi itu, seakan mengakhiri semuanya. Kini, kita dipisahkan tidak hanya oleh batas kota tapi jutaan samudera membentang di antara kita. Aku  sekarang berada di Sumatera, Mawar ikut orang tuanya ke Kalimantan, Yasmin tetap berada di Jawa, dan Dara, dia melanjutkan studinya ke Sulawesi.
Dari dulu perbedaan memang sudah nampak dalam persahabatan kita. Sejak SMP aku, Mawar, dan Yasmin selalu sekelas, tapi tidak untuk Dara. Kita pernah sekelas hanya ketika kelas delapan. Bahkan, ketika SMA pun kita dibatasi oleh tembok jurusan. Kita bertiga ada di jurusan IPA. Sedangkan Dara, namanya tercantum bersama puluhan deret nama di jurusan IPS. Meski pertentangan selalu ada  di antara jurusan kita, tapi selama itu pula, kita mampu menepis perbedaan yang ada menjadi untaian Rahmat yang membuat setiap mata iri melihat kebersamaan kita. Tapi, kenapa kini semua jadi begini?!
Perpisahan memang menjauhkan jarak kita, tapi tidak untuk hubungan kita. Setiap saat kita tetap saling bertukar kabar. Via sms, facebook, bahkan sebulan sekali kita menyempatkan untuk melakukan telfon sambungan tapi hanya bertiga, bukan berniat untuk tidak menambahkan Dara dalam obrolan kami, tapi lagi-lagi Nomor yang anda tuju tidak dapat menerima panggilan anda, cobalah beberapa saat lagi. Tuut,,, tuutt,,, tuuuttt.
“Yasmin, ini siapa saja yang terhubung dalam obrolan kita?”
“Ya, Cuma kamu sama Mawar.”
“Lho, kok gk sekalian sama Dara.”
“Udah ku sambungkan, tapi tetap gk ada jawaban.”
“Sampai kapan dia akan seperti ini?”
“Buat planning liburan, yuk!”
“Kan, masih lama.”
“Biarlah, setidaknya kita harus kumpul sekalipun hanya setahun sekali.”
“Gimana kalau Dara gk mau ikut, kan jadi gk seru nanti jika cuma bertiga.”
“Kalau dia benar-benar gk mau ya memang keterlaluan, tapi kita husnudzan[2] aja deh, siapa tau nanti dia dapat Hidayah.”
Ha… ha… ha…
Gelak tawa itu tetap serenyah dulu. Hanya saja jumlah kita sedang berkurang tapi bukan untuk selamanya, hanya sementara. Kebersamaan kita sedang diuji dengan jarak dan sikap Dara yang kini telah berubah.
_11 Nopember 2014_
Assalaamu’alaikum ukhty…
Selamat ulang tahun ya,,
semoga tetep jadi yg trbaik buat semuanya,
Barakallah fii ‘umrik
Miss you so much ({}), Ukhty.                 
_Dahlia_

Aku mengirim sms di hari ulang tahun Dara. Sengaja ku cantumkan namaku, takutnya dia tak lagi menyimpan nomor ponsel yang kumiliki. Satu jam, dua hari, seminggu, tak ada satu balasan pun darinya. Bahkan ku titipkan salam untuknya lewat temanku yang sekampus dengannya. Yaa Rabb, apa yang terjadi dengan  sahabatku yang satu ini.
Malam ini, kita kembali disibukkan dengan obrolan lintas pulau, tetap bertiga.
“Yasmin, kamu udah ngucapin?”
“Nggak, males, ngapain juga, dia aja udah gk ingat sama kita.”
“Eh, jangan ngomong gt donk,,, dia sahabat kita.”
“Ngucapin apa, Dahlia?”
“Lho, malah kamu nggak ingat Mawar, Dara kan ultah, kemarin tanggal 11.”
“Yaa Rabb, aku lupa, beneran aku gk inget sama sekali.”
“Malah seneng lah, lupa, udah gk usah di bahas…”
“Mawar, Yasmin, kita kan sayang dia, kenapa kalian tiba-tiba jadi gini?”
“Sayang? Kamu aja tuh, aku gk.”
Klik. Panggilan diakhiri. Sikap Dara memang telah membuat kita benar-benar emosi. Hanya saja aku berusaha mengimbangi keegoan ini, kalau tidak, dari dulu sudah tak ada lagi yang namanya “kita selamanya”.
Ponselku berdering di atas meja belajarku. Nomor tanpa nama. Tak biasa aku mengangkatnya, takut diteror orang. Tapi kali ini ku urungkan ketakutanku.
“Assalaamu’alaikum,,, Bisa bicara dengan Dahlia?”
Yaa Rabb, suara cowok, dan aku tak mengenalnya. Rasa takut semakin mengahantuiku.
“Iya, anda sedang bicara sama Dahlia.”
“Ini ada yang mau ngomong sama kamu.”
“Siapa?!”
“Assalaamu’alaikum, Ukhtyyy, ini aku Dara, kangen ukhtyyy,,,” Suaranya bahagia kegirangan.
Tes… Tak ku rasa, cairan hangat yang berusaha ku tahan, kini keluar tanpa permisi. Ini suara Dara, sahabatku. Aku masih mengingatnya persis.
“Dahlia, kamu mendengarku, kan.”
“E… Ehm… I… Iya… Dara,,, Aku merindukanmu, kita semua merindukanmu.”
“Iya aku juga kangen sama kalian semua, salam ya buat Mawar sama Yasmin, maaf aku gk bisa menelfonnya, ini juga aku pinjem ponsel temenku, gk usah di save y nomernya.”
“Iya Dara, selamat ulang tahun ya, buat tanggal 11 kemaren,,,  Barakallah fii ‘umrik.”
“Makasih Dahlia, udah inget. Jadi pengen ketemu nih.”
“Kapan Dara pulang?”
“Nggak tau juga ya, padat banget jadwal di sini. Tapi y diusahakan bisa balik ke Jawa setahun sekali lah.”
“Lebaran besok, pulang ya, kita semua mengharapkan kedatanganmu.”
“Okelah, kalo bisa ku usahakan, tapi jangan terlalu berharap ya, takut gk bisa dateng.”
Suaranya diiringi gelak tawa yang selama ini ku rindukan. Dan di seberang, aku hanya bisa tersenyum getir, mendengar celotehnya.
“Dahlia, udah dulu ya, gk enak sama yg punya ponsel ini, aku lagi gk ada pulsa, maaf ya, jangan lupa salamku buat yang lain, miss kalian so much… Assalaamu’alaikum…”
“Wa’alaikumussalam.”
Suara itu sudah hilang. Padahal aku masih kangen. Hanya 5 menit. Padahal dulu, tiada waktu yang terlewati tanpa kebersamaan. Semudah itu Dara melupakan kenangan kita. Dari kita berempat, memang aku yang lebih dekat dengan Dara. Awalnya memang semua biasa, tapi sejak aku dan Dara mendapat beasiswa Bimbel ternama di pusat kota Surakarta, kita semakin dekat. Kenangan selama bimbel memang sangat membekas, karena mungkin itu merupakan akhir dari cerita kita di sekolah.
“Ambil kantong plastik itu ukhty, buat mengantongi sepatu kita.”Suara itu, adalah suara Dara. Ketika kita pulang Bimbel kehujanan.
“Kita singgah sholat ashar dulu ukhty, takutnya nanti sampe rumah waktunya sudah habis.”Itu adalah ajakan Dara ketika kita pulang Bimbel melewati masjid dan kita belum sholat ashar.
“Ukhty, besok main ke rumah ya, ditunggu sama Ibu.” Kita memang sudah sering bermalam di rumah masing-masing dari kita. Ibu kita pun mengetahui kedekatan kita. Bahkan, mereka menganggap kita seperti anak sendiri.
Dan kini, aku merindukan semua itu. Secepat itukah Dara melupakan semuanya. Hari ini, aku berada di bilik masjid. Tepat di sudut di mana dulu aku dan Dara selalu melakukan jama’ah sholat ashar selepas Bimbel. Aku masih mengingatnya persis. Senyumnya, tingkahnya, caranya memakai mukena, anggun. Dulu semua orang memuji keanggunannya yang kini sedang mulai memudar.
Ku lemparkan pandanganku ke sekitar masjid. 11 bulan aku tidak lagi menginjakkan kaki di masjid yang menjadi persinggahan setia kita sepulang bimbel. Hampir setahun, aku tidak lagi melakukan sholat ashar berjama’ah dengan sahabatku, Dara. Dan masjid ini, tidak banyak berubah. Hanya warna catnya yang bertambah terang. Mungkin habis diperbarui menjelang lebaran yang kurang 2 mingguan. Sedangkan aku dan Dara, bahkan kita berempat, terlihat ada perubahan di antara kita. Akankah persahabatan kita kalah dengan kekokohan masjid yang sedang menaungiku saat ini? Bukankah dulu kita pernah berjanji, jika persahabatan kita tidak seperti pelangi, indah, namun kemudian menghilang karena datangnya cahaya. Bukankah kita akan menunjukkan pada dunia, jika persahabatan kita tak akan goyah hanya karena waktu yang memisahkan dan jarak yang terbentang.
Kertas di tanganku ini, akan mewakili perasaanku, perasaan seorang sahabat yang sedang merindukan sosok yang dulu pernah dikenal indah, dan sekarang mulai menjauhkan diri dengan kehidupan masa lalu yang pernah berjuang bersamanya.

Teruntuk Dara-ku
Mujahidah Allah yang sedang Berjuang
Di Pulau Seberang

Assalaamu’alaikum…
Dara,,, aku merindukanmu…
Masih ingatkah dirimu dengan aku, dengan kita, sahabat masa lalu yang menemani perjuanganmu dan mungkin yang mengantarkan kesuksesanmu pula ke pulau yang kau singgahi saat ini. Dirimu yang dikenal anggun, bukan hanya oleh kita, tapi oleh semua kalangan, caramu bicara, berjalan, tersenyum, semua membuat orang terbius. Dan obat bius itu, kini mulai tidak berefek samping lagi. Aku merindukan itu semua.
Secepat itukah kamu melupakan semua tentang kita, Dara. Saat ini, aku sedang duduk manis di masjid Baiturrahman. Masjid tempat persinggahan setia kita sepulang dari bimbel. Saat ini aku sedang bertopang dagu persis di sudut tempat kita sering melakukan sholat jama’ah dulu. Aku tak pernah menyangka akan cepatnya perubahan sikapmu. Tapi kabar yang terus simpang siur dan berbagai postingan di akun facebookmu membuatku benar-benar yakin bahwa dirimu telah berubah. Aku masih sabar menunggumu di sini. Di Surakarta. Tempat kita mulai melangkah membangun asa. Aku pun sedang berusaha meyakinkan Mawar dan Yasmin bahwa kamu di sana baik-baik saja, tetap seperti Dara yang dulu kita kenal.
Bukan sok, tapi sekedar mengingatkan. Jika dirimu bertemu banyak orang yang menjadi temanmu saat kau sukses, jangan pernah lupakan orang-orang yang pernah berjuang bersamamu di masa lalu. Aku tau dirimu telah selangkah lebih sukses dari kita. IPS mu telah menjanjikan impian yang selama ini kau angankan. Tapi bukan itu yang kita inginkan. Bukankah kita semua berharap perbedaan itu akan berubah menjadi Rahmat?
Ini ada pesan dari Yasmin buat kamu…
Aku memang mengenalkan persahabatan pada kalian di atas nama perbedaan karena aku tau perbedaan itu bisa disatukan. Dari dulu aku juga tau kita semua berbeda. Bukan hanya kamu atau aku. Tapi kita. Dan ternyata 6 tahun bersama, kita bisa berdiri tegak di antara sejuta perbedaan. Iri. Aku juga pernah merasakannya. Kita bertiga memang selalu sama tapi tidak untuk dirimu. Dan mungkin irimu itu wajar, menurutku. Aku hanya ingin kau tau, saat ini perbedaan kita adalah ujian yang menjadi tolak ukur seberapa kuat persahabatan. Kadang aku merasa bersalah, mengapa aku membiarkanmu menjauh dan merasa berbeda di antara kita. Namun, aku tak bisa melarangmu memilih jalanmu. Maafkan aku yang membuatmu merasa berbeda, merasa terkucilkan, dan hanya selalu diam. Namun, aku tak pernah mengharap kediamanmu. Yang aku ingin adalah senyuman. Senyum ceria setulus dulu. Selamanya kita memang akan selalu berbeda. Tapi selamanya pula kita tetap sahabat. Bersama meraih mimpi, berdiri di atas perbedaan, dan berpegang pada persahabatan.
Dara, salam dari Mawar untukmu. Pulanglah. Lebaran depan kita jalan bareng. Setahun sudah kita tak bersua. Berharap keluangan waktumu untuk memutar sedikit rekaman video yang dulu pernah tercipta.
Sekian dulu dariku. Maaf aku terlalu lancang mengirim bait-bait kata tak bernyawa ini. Hanya demi mengharap akan perubahan sikapmu pada yang terbaik. Sukses buat kita semua. Kamu dengan Geografimu. Yasmin dengan Matematikanya. Mawar dengan hafalan qur’annya. Dan aku dengan Kimiaku.
 Tahun 2018 kita bertemu bersama di hari di mana topi bertali itu bertengger manis sebagai mahkota kita. Dan 2016 depan, kita akan meluncur pada wisuda tahfidzul qur’annya Yasmin. Kita menunggumu di Surakarta. Salam sayang dan sukses selalu.

Bangka Belitung, 14 Mei 2015
            Tertanda,
                                    
          Dahlia Putri Sekar
Aku yakin suratku sudah berada di pelukan Dara. Tapi pada hari ke 29 setelah diterbangkannya suratku itu, tak ada segores tinta pun sebagai balasan akan jawabannya. Dan hari ini, aku sedang melakukan perjalanan menuju alun-alun kota Surakarta. Berusaha meyakinkan diri siapapun yang nantinya benar-benar datang, kita tetap jalan, meskipun jumlah kita dianggap kurang. Cemas? Iya. Tapi aku berusaha tetap tenang. Aku sudah janjian dengan Yasmin. Dan saat ini aku sedang berada di belakangnya di atas sebuah motor Beet warna biru kesukaannya. Di ujung alun-alun, ku dengar jeritan halus yang berbaur dengan kebisingan suara kendaraan di pusat kota. “Uktyyy aku sudah menunggumu di sini, di alun-alun kota Surakarta”. Dengan diiringi lambaian tangan serta seberkas senyum manis dari seorang Mawar di sampingnya. Subhanallah, tangisku pecah mengetahui bahwa suara itu adalah milik Dara. Ku hamburkan pelukanku seketika saat Beet biru sudah mendarat di depannya persis. Tak bisa ku tahan air mata bahagia yang menyatukan kita hari ini. Di Surakarta, 24 Juli 2015. Dan saat inilah perbedaan itu sudah tak tampak adanya. Yaa Rabb, sungguh agung karunia-Mu.
Jombang, 5 September 2015


[1] Ukhty: Sebutan untuk “Kakak perempuan” dalam Bahasa arab.
[2] Husnudzan: Berbaik sangka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar