Kamis, 24 Januari 2019

ISLAM MENYEBUTNYA MADRASAH AL ULA

Islam Menyebutnya Madrasah al Ula

“Faiza faragta fanshab, wa ila rabbika fargab. Sadaqa allah al ‘azim. Sudah ya, Bu.”
“Eh, lupa ya sama kosa katanya. Hayo, kosa kata apa yang mau disetorkan ke Ibu hari ini?”
“Setorannya nanti aja deh bu, ngantuk nih.”
“Ayo hafalan dulu gih, bentar aja. Nanti Ibu tambahin deh uang sakunya.”
“Mother-Ummun-Ibu, Father-Abun-Ayah, Milk-Labanun-Susu, Orange-Burtuqalun-Jeruk, Banana-Mauzun-Pisang.”
“Pinter anak Ibu. Balqis ganti seragam dulu ya, Ibu siapkan sarapan kesukaan Balqis ini.”
“Siap Ibu cantik.”
Aku ngeloyor mencium pipi Ibu sambil berlalu pergi ke kamar.
Kebiasaan itu Ibu ajarkan padaku sejak kecil. Kebiasaan bangun pagi, mandi, shalat shubuh, dilanjut membaca Alquran, serta hafalan kosa kata bahasa arab dan bahasa inggris minimal 5 kata tiap harinya, sambil menemani Ibu memasak. Teriakan kecil seringkali Ibu lontarkan untuk membenarkan bacaan Alquranku yang salah atau sekedar merangsang ingatanku terhadap beberapa kosa kata yang tak ku ingat. Kebiasaan baik itu menjadikanku berbeda dengan anak seusiaku waktu itu. Sebelum masuk Sekolah Dasar, aku sudah mengkhatamkan Iqra’, yaitu kitab 6 jilid yang merupakan cara cepat belajar membaca Alquran, bahkan aku sudah hafal beberapa surat pendek termasuk surat al-Insyirah yang menjadi surat favoritku.
“Balqis, sudah selesai belum pakai seragamnya? Ini sarapannya sudah siap loh.”
“Iya, Bu. Balqis datang.”
Aku berlari ke arah Ibu. Dengan senyum yang khas, beliau membawa beberapa potong roti tawar berlapis telur dadar dan segelas susu putih.
“Jangan lupa baca doa, ya.”
Aku hanya mengangguk untuk mengiyakan pinta Ibu sembari meringis kecil karena mulutku sudah dipenuhi roti tawar kesukaanku.
“Bu, Balqis makan sepotong saja ya, sisanya Balqis bawa buat bekal.”
“Yaudah habis ini Ibu ambilkan kotak makan buat tempat roti itu. Susunya dihabiskan, ya.”
Kurang lebih seperti itu suasana setiap pagiku, begitu damai dan menyenangkan. Tak pernah ada susah, justru selalu ada semangat baru setiap paginya. Dan Ibu menyuguhkannya dengan beberapa masakan khasnya atau hanya dengan sebuah kalimat sederhana.
“Belajar yang pinter ya, Ibu sama Ayah nunggu kamu sampai sukses.”
*
“Bu, adik kok dibelikan itu. Ibu mah nggak adil.”
“Masa iya kak Balqis mau dibelikan robot, kan kemarin sudah dibelikan boneka sama Ayah.”
Jawaban Ibu tak lantas membuatku lega. Menanggapi itu, aku berlagak cemberut.
“Kak Balqis sayang, Ibu sama Ayah sayang sama kakak juga sama adik. Nggak ada yang lebih diutamakan, keduanya sama. Yang namanya adil itu, memberikan sesuatu sesuai porsi masing-masing.”
Diam-diam aku menangis, merengek kecil, kemudian memeluk, dan meminta maaf pada Ibu.
*
Teruntuk Balqisku
Di karantina suci

Balqis, gimana kabarnya? Semoga Balqis selalu sehat ya biar bisa sekolah dan mengaji dengan tenang. Alhamdulillah Ibu, Ayah, dan adik-adik sehat selalu. Balqis, tadi sebelum Ibunya Aisyah jenguk Aisyah di pesantren, beliau datang ke rumah dan menawarkan titipan. Jadi Ibu titip uang saku ke Ibunya Aisyah buat Balqis. Uangnya buat bayar bimbel bulan ini ya, sisanya buat tambahan uang jajan Balqis. Ingat uangnya dijaga baik-baik, tidak pelit tapi juga tidak boros, ya. Oh iya, Ibu juga titip nasi goreng kesukaan Balqis, juga beberapa makanan kecil. Ada ting-ting kacang, biskuit malkist, dan pisang rebus.
Sudah dulu, ya sayang. Balqis baik-baik di pesantren, jaga kesehatan, belajar yang rajin, nurut sama pak kyai dan guru-guru di sekolah. Insyaallaah Balqis jadi anak shalihah, berguna bagi nusa, bangsa, dan agama. Aamiin.
Salam Sayang
      Ibu

Surat sederhana dari Ibu itu sukses membuatku meleleh. Tak mampu ku bendung air mata yang terus mengalir tanpa permisi. Tulisan itu sangat sederhana, tak sebanding dengan tulisan para penulis ternama sekelas Kahlil Gibran, Asma Nadia, atau lainnya. Tapi Ibu selalu seperti itu. Tak kenal lelah memberi motivasi padaku sekalipun ketika kita berpisah jarak, tepatnya ketika aku memutuskan nyantri sejak lulus Sekolah Dasar.
*
“Katanya hidup itu pilihan, Bu, tapi kenapa pilihanku selalu tidak bisa tepat sasaran.” Kataku dalam isak ketika berulang kali gagal masuk perguruan tinggi negeri, dan hasilnya aku harus terima untuk kuliah tetap di lingkungan pesantren.
“Jangan bilang Balqis kesel nyantri.” Jawaban Ibu terasa menggoda, seakan ingin memancing emosiku agar segera meluap. Tangisku semakin menjadi hingga nyaris tak mampu berkata. Ya, segede itu aku masih suka menangis.
“Balqis, hidup memang pilihan, tapi segala pilihan kadang kali tak sejalan dengan apa yang kita inginkan. Karena Allah tau yang terbaik buat hamba-Nya, dan yang kita inginkan belum tentu terbaik menurut-Nya. Tugas kita hanya sabar, dan belajar menerima segala yang ada dan yang telah digariskan untuk kita. Kita pun harus bersyukur, sering kali hal-hal yang kita punya dan kita sia-siakan justru hal itulah yang diinginkan orang lain.”
“Tapi tak semudah itu menerima kenyataan yang tak sesuai ingin kita, Bu.”
“Memang tidak mudah kok, tapi Balqis pasti bisa. Hanya butuh waktu dan sabar dalam proses. Ingat, bukan hasil yang kita lihat, tapi setia dan menikmati proses itu penting. Karena suatu saat kita akan merindukannya, dan akan menjadi bahan yang akan kita ceritakan kelak kepada adik dan anak turun kita.”
“Satu lagi, jangan pernah takut, tiada hasil yang mengkhianati usaha. Maka apapun yang Balqis perjuangkan, hasilnya tak akan pernah meleset. Percayalah.”
Tangisku memang masih pecah, tapi hatiku terasa luluh dengan sederet penjelasan Ibu itu. aku memeluknya erat, semacam ada kekuatan yang mengalir di sana.
Itulah Ibu. Ya, Ibuku. Wanita pertama yang paling berjasa dalam hadir dan proses hadirnya hidupku di dunia ini. Dia wanita yang memperjuangkan diriku sejak masih bibit hingga menjadikanku wanita berbobot yang minimal bisa sebanding dengan dirinya. Dia wanita yang merelakan segala hal demi anaknya. Sekalipun segala keterpaksaan harus dilakukan, tapi ketidakmungkinan seakan bisa diwujudkan baginya.
Ya, dia Ibuku. Wanita yang tak pernah mengeluh atas segala tangisku. Tangisan yang bukan dari diriku yang masih bayi maupun balita. Tapi tangisan bahkan setelah diriku telah menjadi anak gadisnya. Dia tak pernah menolak air mata itu, karena baginya, dirinyalah tempat mengadu kedua setelah Tuhan, selebihnya tak ada manusia lain yang seutuhnya bisa dipercaya. Di sinilah aku menganggap bahwa Ibu adalah tangan kanan Tuhan.
Dia Ibu. Ya, Ibuku. Wanita yang sangat ku junjung tinggi lahir batinku. Wanita yang menjadi model teladanku sepanjang perjalanan hidupku. Wanita yang merupakan wujud malaikat dunia pembawa sinar kehidupan. Percaya atau tidak, hadirnya adalah cahaya. Jika kita belum menemukan cahaya itu, maka hati kita perlu dipertanyakan. Dan jika ingin menemukan kegelapan tanpa cahayanya, tunggulah sampai dia benar-benar pergi dari dunia untuk menghadapa Rabb-Nya. Bisa dipastikan gelap dan setelahnya kita pasti akan menyesal.
Dia Ibuku. Manusia berwujud wanita berhati malaikat yang diagungkan oleh Tuhan dan dimuliakan dalam Islam. Islam menyebutnya Madrasah al Ula. Sekolah pertama bagi anak-anak yang menghuni rumahnya. Dari sinilah aku belajar, bahwa cantik bagi wanita bukan segalanya, karena hidup terlalu keras jika mengandalkan kecantikan. Nyatanya, kecerdasan wanitalah yang menjadikan manusia sejenis mereka dimuliakan. Bahkan wanita berpendidikan tinggi yang memutuskan diri untuk menjadi Ibu Rumah Tangga, seringkali diremehkan dan dianggap sebagai pilihan yang salah. Nyatanya, anak-anak dalam asuhannya sangat membutuhkan kecerdasan wanita berwujud Ibu itu. Bagaimana anak bisa tercetak sebagai generasi berbibit unggul, jika pendidikan utama yang diperolehnya tidak berbobot bahkan sering kali nihil.
Dia Ibuku, wanita pertama yang mendidik dan mengajarkanku bahkan sebelum aku berwujud manusia, tentang segala pengetahuan maupun ilmu kehidupan. Dari situlah aku menganggapnya guru.
Dia Ibuku, pahlawan pertama dalam hidupku. Guru terhebatku dalam Madrasah al Ula miliknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar