Goresan Pena
Rabu, 15 September 2021
UNTUKMU CAHAYAKU
Aku pernah jatuh
Tapi rasanya tak sesakit ini
Aku pernah terluka
Tapi rasanya pun tak seperih ini
Aku bahkan pernah diterbangkan setinggi-tingginya
Sampai pada akhirnya aku terlena dengan kenyamanan
Hingga aku tak merasa telah jatuh dalam lembah jurang paling bawah
Hidup kadang tak pernah adil
Bagi beberapa orang, hidup sangat menyenangkan
Tapi bagi yang lainnya
Hidup bagai siksaan yang ingin segera mereka akhiri
Tapi tak pernah terjadi
Semua orang ingin bahagia
Tapi diperjuangkan sekeras apapun
Kadang bahagia yang kita inginkan tak pernah terwujud
Namun,
Percayalah
Meski hidup kadang tak adil
Tuhan dengan segala keMaha-Kuasaannya
Selalu adil dalam menjalankan takdirNya
Tuhan tak pernah salah
Hanya saja manusia yang seringkali enggan tersadar
Tuhan tak pernah tidur
Hanya saja manusia yang lalai untuk senantiasa bersyukur
Manusia terlalu asik menata bahagianya sedemikian rupa
Hingga lupa
Bahwa ada Tuhan yang telah menggariskan semuanya
Manusia tak pernah sadar bila Tuhan mencemburuinya
Sampai pada akhirnya peringatan Tuhan datang
Mirisnya,
Mereka menganggap Tuhan jahat lagi tak adil
Meski tak sedikit pula dari mereka yang paham
Bahwa Tuhan sedang merindu
Rindu pada para hati yang bersimpuh
Menangis dalam munajat
Dan mengemis atas beberapa hajat
Andai semua manusia paham
Bahwa Tuhan ciptakan cahaya sebagai petunjuk yang tak menyesatkan
Cahaya yang meski hanya setitik,
Mampu memberi jalan dalam sebuah gelap yang begitu pekat
Cahaya yang meski hanya putih
Tapi mampu terbias menjadi berjuta warna yang indah
Cahaya yang meski hanya sederhana
Tapi mampu menenangkan mata yang melihat dari kejauhan
Wahai cahaya
Hadirmu tak pernah diminta
Tapi Maha Baik Tuhan menghadirkanmu
Untuk memberi satu dari berbagai jenis bahagia yang Tuhan kirimkan
Siapapun akan selamat bila ada cahaya
Ketika listrik padam
Atau bahkan dulu ketika listrik belum merajalela,
Orang menentukan waktu sholat dengan melihat langit
Mencari petunjuk cahaya di sana
Para pelaut pun akan melihat langit
Meski dalam gelap malam
Mereka akan mencari cahaya sebagai petunjuk arah selama berlayar
Sebagaimana Islam
Islam adalah cahaya bagi para pemeluknya
Islam bahkan tak pernah hadir di hati yang tak pernah sadar atas keindahannya
Itulah kenapa
Menjadi bagian dari Islam adalah nikmat terbesar yang tak ada bandingnya dalam hidup
Nikmat yang harus tetap dilestarikan
Sampai pada akhirnya jiwa ini siap menghadap kembali ke hadirat Tuhan
Siapapun dan di manapun
Pasti ingin datang dan pergi dalam keadaan baik
Layaknya manusia
Siapapun jenisnya, selalu mengharapkan lahir di dunia
Dan mati meninggalkan dunia dalam keadaan baik pula
Maka,
Demi Dzat Tuhan Yang Maha Esa
Kita meminta pada-Nya kehidupan yang layak
Baik di dunia maupun di akhirat kelak
Demi Dzat Tuhan Yang Maha Bijaksana
Kita meminta perlindungan padaNya
Dari siksa dunia maupun akhirat sana
Demi Dzat Yang Maha Perkasa
Kita meminta padanya untuk menutup usia dalam keadaan Husnul Khatimah
Wahai cahaya,
Kau indah dengan segala pesona yang kau punya
Tetaplah jadi cahaya yang terus memancar
Dengan ilmu dan perangai indahmu
Menjadi baik tak perlu pengakuan
Karena pada saatnya semua akan tau
Bahwa segala sesuatu yang indah justru berawal dari hal-hal yang sederhana
Han’s
Tuban, 16 Mei 2021; 11.11
Jumat, 17 Januari 2020
SANTRI CERDAS, BANGSA BERKUALITAS
TEKS PIDATO 3 BAHASA
DALAM EVENT FIRST AL ARIFIN LANGUAGE DAY
Oleh: Arina Rayyanie, Andini Eka Damayanti, Muhimatul Khoeroh
Your excellency the direct master of Al-Arifin Denanyar Islamic boarding school
Your excellency the committee of this good event in Al-Arifin Denanyar Islamic boarding school
To the honourable juries and all of partisipants
And our loving brothers and sisters in oneAqidah
بسم الله الرّحمن الرّحيم
السّلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِيْ فَضَّلَ بَنِيْ آدَمَ بِالِعِلْمِ وَالْعَمَلِ عَلَى جَمِيْعِ الْعَالَمِ
الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ سَيِّدِ الْعَرَبِ وَالْعَجَمِ وَ عَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ يَنَابِعِ الْعُلُوْمِ وَالْحِكَمِ
أَشْهَدُ أَنْ لَآإِلهَ إِلَّا الله الْمَلِكُ الْأَعْلَى وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إِلَى سَبِيْلِ الْهُدَى. أَمَّا بَعْدُ.
Let’s say Alhamdulillah to Allah SWT. The lord of the world. The greatest of the day after.
May peace be upon the prophet Muhammad SAW who has guided us from the darkness to the lightness.
We express our gratitude so that we get speak in front of you all in the opportunity to deliver of speech on the title:
SMART STUDENTS, A QUALITY NATION
SANTRI CERDAS, BANGSA BERKUALITAS
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ الْمُصْطَفَى مُحَمَّد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ (رواه أبو داود)
Dewan juri dan hadirin yang berbahagia
Tonggak kebahagiaan yang diraih orang tua, bukan semata ketika karirnya meningkat, jabatannya bergelar konglomerat, atau dengan harta yang terus mengalir hebat. Namun, puncak bahagia para orang tua adalah ketika mampu mencetak keturunan yang shalih shalihah dan bermartabat.
Sejauh ini, pesantren dipercaya penuh dalam melahirkan generasi Rabbani dan Quir’ani yang mampu menuntun orang tua menuju surga-Nya yang hakiki. Pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua yang pernah tumbuh dan menjamur di nusantara. Dari sana telah banyak dilahirkan para cendekiawan yang intelektual, para agamawan yang nasionalis, guru-guru bangsa yang mengabdi tanpa pamrih, dan banyak pahlawan bangsa yang sangat gigih mengorbankan segalanya demi pertiwi.
Bahkan, sejarah telah mencatat, sejak zaman kolonial, pesantren bersama para tokoh di dalamnya merupakan garda terdepan dalam merebut dan mempertahankan NKRI.
But, what does really happen now?
How friends?
Keberadaan pesantren seringkali dianaktirikan, agama tidak memiliki ruang dihadapan publik, sehingga yang dihasilkannya masyarakat yang cinta duniawi.
So, Who is the students?
There are five basic elements of behavior that can be undertaken by students.
Firstly, concerning about personal level. It is maintaining yourself to always comply the Islamic orders and prohibition.
Secondly, the leadership attitude. It means to position ourself as a leader and pioneer goodness by caring each other. In Islam, a good leader is that who has four character, namely:
1. Shiddiq means honest.
2. Tabligh is delivered.
3. Amanah is responsible.
4. And than Fathanah is intelligence.
Well, ladies and gentlemen
The third basic element of student’s behavior is science or knowledge. Messenger of Allah said:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ
The fourth element is tolerance. We should respect and tolerance other faith as being demostrated by prophet Muhammad to non moslem in Medinah.
Good, the last element is it’s to put on high ethical standards. In the Islam high ethical standards are called as iffah.
أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ
لَاخُسْرَانَ لِتِلْمِيْذٍ بَلْ إِنْ كَانَ تِلْمِيْذًا رِبْحٌ جِدًّا. عِنْدَهُ عُلُوْمُ الدِّيْنِيَّةِ وَ عُلُوْمُ الدُّنْيَوِيَّةِ وَ عُلُوْمُ الْحَيَاةِ. عَدَا ذَلِكَ، عُلُوْمٌ كَثِيْرَةٌ لَاتُوْجَدُ فِيْ مُؤَسِّسَةِ التَّعْلِيْمِيَّةِ أُخْرَى إِلَّا فِي الْمَعْهَدِ الْإِسْلَامِيَّةِ. لَاسِيَمَا، كَثِيْرَةٌ حُجَّجٌ الَّتِيْ تُبَيَّنُ فَضِيْلَةً وَأَهَمِّيَةَ كَوْنِ التِّلْمِيْذِ. تِلْكَ الْحُجَّجُ مِنْ أَقْوَالِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فِيْ كِتَابِهِ الْكَريْمِ وَأَقْوَال رَسُوْلِهِ الْأَمِيْن فِي الْأَحَادِيْثَ.
أَوَّلًا، قَالَ اللهُ تَعَالَى فِيْ سُوْرَةِ الْمُجَادِلَةِ فِيْ أيَةِ إِحْدَى عَشَرَ: بسم الله الرّحمن الرّحيم يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ أمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ (الآية)
In the name of Allah most gracious most mercifull. Allah will raise those who have believed among you and those who were given knowledge, by degrees.
ثَانِيًا، قَالَ خَاتَمُ النَّببِيِّيْنَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَبْتَغِى فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ (الحديث)
It means whoever walks a path in which he seeks knowledge, God has made path to heaven
Well, dearest the juries ladies and gentlemen
Kita patut bersyukur, Allah telah memberi petunjuk baik pada kita dengan menjadikan kita seorang santri. Tapi tiada yang tidak mungkin juga bagi Allah yang Maha membolak balikkan hati ketika haruis mencabut hidayah agung itu pada kita yang pernah nyantri.
نَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شَرِّ ذَلِكَ _ ثُمَّ نَعُوْذُ بِاللهِ
PR besar bagi kita saat ini adalah menjadi aktif dan produktif selama nyantri, agar kelak ketika tiba saatnya giliran kita, kita mampu menjadi santri yang tepat guna, profesional, dan proporsional di tengah masyarakat.
Karena kita saat ini adalah pemimpin di masa depan. Mari kita pimpin bangsa ini dengan berjiwa santri, berakal santri, berhati santri, dan berakhlaq santri.
أُنْظُرْ مَا قَالَ وَلَاتَنْظُرْ مَنْ قَالَ. أَخِيْرُ الْكَلَامِ. وَالْعَفْوُ مِنْكُمْ
السّلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Jombang, 17 Februari 2019
Sabtu, 11 Januari 2020
TENTANG RENCANA-RENCANA TUHAN
TENTANG RENCANA-RENCANA TUHAN
Segala sesuatu yang wujud di dunia ini, hampir seratus persen hadir karena rencana. Rencana dibuat agar segala hal yang dihasilkan sesuai dengan harapan. Namun, yang namanya hasil, terkadang keluar dari rencana yang dicanangkan sejak awal. Hasil memang tak akan menghianati usaha, begitu kata bijak tiap kali menyebutnya. Tapi kenyataan yang kadangkala merobohkan satu demi satu rencana yang telah digariskan.
Berbeda dengan rencana Tuhan. Tuhan tak pernah salah dengan rencana-rencanaNya. Kita saja yang seringkali mengadu domba Tuhan dengan segala keinginan kita. Kita terlalu keras kepala, menginginkan segalanya lahir sesuai dengan ingin. Padahal firman-Nya dalam kitab suci maha abadi telah jelas tertulis:
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (2/216).
Kita hanya perlu melebarkan pandangan, meluweskan pikiran bahwa dunia hadir tidak hanya dengan dua warna, hitam atau putih. Sesekali kelabu menghiasi. Bahkan seringkali beragam warna menjadi satu dalam sebuah kuali. Itu artinya, berpikir sepihak tak akan menyelesaikan masalah. Tak hanya butuh akal untuk memahami, tapi hati dan rasa sesekali harus turut serta mengimbangi.
Pada sebuah masalah yang datang, kita seringkali merasa bahwa kitalah satu-satunya manusia paling menderita di belahan bumi ini. Picik sekali, bukan. Itulah kenapa kita harus pandai memaknai hidup. Bahwa hidup tak hanya tentang fajar dan senja. Ada kisah di mana sejuknya fajar bisa tersirat dan ada misteri di mana temaram senja bisa indah dirasa. Kita seringkali menyalahkan siapapun yang terlibat dalam kegagalan rencana kita. Menganggapnya jahat, tega, tak berperikemanusiaan. Sekalipun ia adalah orang tua kita. Padahal tangan Tuhan jelas terlibat di dalam segala yang terjadi di dunia nyata. Kita saja yang kurang menyadarinya. Perlu diingat, dalam kehidupan nyata, tokoh jahat itu tak selalu adaو kadang situasinya saja yang jahat. Situasi saja yang sedang tak berpihak. Dan kita jarang memahami itu.
Hidup memang pilihan. Tapi pada beberapa hal kadang kita tak diberi ruang untuk memilih. Yang ada hanya pasrah. Pasrah yang bukan berarti kalah. Tapi diam dan memikirkan bahwa apa yang tengah dihadapi tetap akan membawa hikmah. Hidup adalah keseimbangan antara bertahan dan melepaskan. Orang-orang hebat akan bertahan di setiap keadaan. Tapi pada beberapa hal yang tak lagi bisa dipertahankan, sekalipun diperjuangkan dengan sungguh, maka melepaskan adalah jalan terbaik untuk memberinya kebebasan.
Untuk urusan hati, aku tak bisa bernego. Aku tak ingin mengekang yang tak bisa ku pegang. Karena pada akhirnya yang ada hanya luka. Dan aku tak ingin menjadi penyebab lahirnya luka sekalipun luka itu tak berdarah. Bila boleh dianalogikan, seperti hujan di waktu kemarau, datang dan pergimu selalu luput dari prediksiku. Ingin ku tertawa keras. Menertawakan dunia yang begitu heboh dengan leluconnya. Kali saja aku terlalu hanyut dengan humornya. Hingga membuatku lalai bahwa hidup ini bukan tentang canda. Canda yang ku rasa telah menjelma candu. Aku dibuat bingung membedakannya. Tentang hadirmu yang tak pernah ku tunggu dan pergimu yang tak pernah ku mau..
Pada akhirnya sadar adalah ujung dari selesainya masalah. Hanya saja mendapatkannya tak semudah yang kita kira. Sadar hanya akan hadir pada akal yang mau berpikir dan hati yang mau merenung. Bahwa rencana Tuhan memang selalu indah. Kita boleh memesan air, namun tidak dengan memesan takdir. Takdir tak bisa dipesan, hanya saja sesekali takdir bisa ditawar dengan doa yang dengan khusyuk kita panjatkan dan usaha yang dengan keras kita lakukan. Tak ada yang perlu dikhawatirkan, bahagia harus tetap selalu diperjuangkan karena langit yang cerah masih setia menaungi kita meski di jalan yang berbeda.
Sekali lagi, pada segala jenis kegagalan, menyalahkan apapun dan siapapun bukanlah hal yang dibenarkan. Waktu pun tak pernah salah. Hati kitalah yang harus berlapang dada untuk menerima segala nyata. Bahwa apa yang terjadi adalah tentang rencana Tuhan. Selalu ada manis di balik pahit yang diperjuangkan. Sebagaimana ada maksud baik dari diciptanya duri di tangkai mawar. Hidup itu menarik. Pada akhirnya, rasa sakit yang kita rasakan dalam hidup ini akan menjadi kekuatan terbesar kita untuk bangkit.
Jombang, 10 Januari 2020
Han’s
Kamis, 24 Januari 2019
IZINKAN AKU BAHAGIA
Izinkan Aku Bahagia
Jika hidup adalah puzzle, aku ingin menjadi satu keping yang menyempurnakan keutuhan gambar dan susunannya. Jika hidup adalah teka-teki, aku ingin menjadi jawaban yang melengkapi kekosongan setiap sudutnya. Dan jika hidup adalah putih, aku ingin menjadi satu dari jutaan uraian warna yang memaknai kepolosannya. Nyatanya, roda hidup tak berjalan sesuai apa yang ku angan. Yang ada hanya pedih, sakit, dan semuanya terkesan berantakan.
Aku adalah anak muda lulusan SMA 5 bulan yang lalu, Mei tepatnya. Aku bingung menyebut diriku dengan status yang lebih sedikit layak. Aku bukan pelajar, karena sudah lulus. Bukan pula mahasiswa, karena telah sekian kali gagal memasuki perguruan tinggi baik swasta apalagi negeri dengan berbagai alasan yang melatarbelakangi. sebut saja aku pengangguran dengan kerja serabutan. Menganggur tanpa kebebasan, kerja paksa ketika ada tugas. Mungkin seperti itu gambaran kasarnya.
“Pak, izinkan saya istirahat sejenak.”
“Kebiasaan, kerja belum selesai udah mau istirahat. Jangan manja jadi anak!”
Aku hanya menelan ludah dalam kegetiran. Perutku terasa melilit. Sedikitpun belum ada makanan yang masuk sejak tadi pagi. Hanya segelas teh hangat yang tadi sempat ku habiskan. Tubuhku mulai sempoyongan bersamaan keringat dingin yang terus bercucuran. Menjamu tamu dari pagi hingga lanjut proses pembuatan kue menyambut hari raya, membuat tenagaku benar-benar terkuras.
Aku memang dilahirkan sebagai lelaki, tapi bukankah lelah itu wajar. Dasar manusia tak punya hati. Ya, di sinilah aku. Rumah megah ini menjadi saksi perjuanganku 3 tahun belakangan. Aku berasal dari keluarga yang sangat tidak mampu, menengah ke bawah kategorinya. Ibuku meninggal sebulan setelah melahirkanku karena penyakit ganas yang kian tumbuh di rahimnya. Selanjutnya, aku hanya hidup bersama Bapak dan Mbak-ku. Kepahitan hidup yang telah mereka lewati, disusul dengan kematian Ibu semenjak kelahiranku, membuat mereka merasa bahwa hidup memang benar-benar kejam, seakan dunia tak memberi keadilan nyata pada mereka, dan ujungnya mereka menganggap hadirku adalah puncak dari segala petaka. Oh Ibu, andai Engkau masih hidup, mungkin tanganmu-lah yang akan merangkul segala pedihku.
Aku hidup dengan didikan Bapak yang keras dan Mbak yang hanya asyik dengan dunianya. Dari dulu aku berusaha memahami itu. Keluarga yang berantakan menjadikanku tumbuh menjadi anak nakal sebagai bentuk pelampiasan. Kecerdasanku memang bisa dibilang lumayan, tapi hampir seluruh guru tak mengakuinya. Bagi mereka, pandai selamanya tak berguna selama tak bermoral. Tapi aku menganggapnya wajar. Aku butuh kebebasan, di balik kuatku bertahan enghadapi jerat Bapak. Bapak yang selalu menyuruhku shalat dengan minimal satu cambukan, padahal Bapak sendiri tak pernah shalat. Bapak yang jarang memberiku uang saku saat berangkat sekolah, paling tidak seminggu hanya satu sampai dua kali Bapak memberi uang saku dengan nominal yang relatif sangat kecil bila dibanding teman-teman seumuranku pada umumnya.
“Arga, kamar mandi belakang apa sudah kamu kuras?”
“Masih belum pak. Saya baru selesai menguras kamar mandi tamu.”
“Segera selesaikan, kerja laki harus cekatan, jangan lelet kaya banci!”
Di rumah besar ini, yang ada hanya kekerasan dan otoritas. Semuanya serba tuntutan. Dulu aku mengira, dengan pindah ke tempat ini hidupku sedikit akan tertolong. Aku yang saat itu akan lulus SMP dibuat girang dengan kabar dari seorang guru bahwa aku akan dsekolahkan oleh teman beliau dari kota sebelah dengan syarat mau hidup bersamanya. Bukan syarat yang rumit menurutku, aku seketika mengiyakannya karena Bapak sudah pernah bilang kalau sudah tidak sanggup lagi membiayai sekolahku jika aku harus lanjut ke jenjang SMA. Pak Bakri yang dulu terlihat manis di depan guru dan Bapakku ketika mohon ijin membawaku, mengatakan segala jenis kenyamanan yang akan disuguhkan padaku di tempat baru nanti. Ya, Pak Bakri, salah satu guru Bahasa Inggris di sebuah sekolah ternama Ibukota. Kemampuan unggul bahasa Inggris yang dimiliknya, membuatnyapulang pergi luar negeri dengan mudah, hingga membuatnya kuwalahan jika harus menguras lembaga bimbel besar yang ia miliki di rumah. Itulah salah satu alasannya memintaku turut membantu. Aku justru semakin bangga dengan tawaran itu. Pak Bakri yang ku kenal hangat dan ramah di pertemuan pertama itu, saat sesekali diiringi tawa lepas ketika sedang berbincang dengan guru dan Bapakku. Sayangnya, di usia yang relatif sudah tidak muda itu, tak menggugah keinginan pak Bakri untuk membina rumah tangga. Ya, usia pak Bakri hampir kepala 5 tapi tak kunjung baginya memiliki niat untuk segera menikah.
Di rumah sama sekali keluargaku tak memiliki kendaraan bahkan untuk sejenis onthel pun tak ada. Tapi tinggal di rumah ini membuatku harus bisa segalanya meski berawal dari kata terpaksa dan nekat. Jangankan motor, mobil pun mampu ku lajukan dengan jalan otodidak.
“Tapi pak, habis ini saya sekolah, ada ulangan kimia, pak.”
“Sejak kapan kamu mementingkan urusan sekolah, tugas utamamu adalah memenuhi semua pintaku. Siapa guru kimiamu? Bu Ani? Bilang sama dia, ada urusan sama Pak Bakri, semua guru juga udah tau dan bakal memahami itu.”
Tidak ada lagi kalimat abntahan yang harus ku sampaikan, yang ada malah akan memperkeruh keadaan. Sejak SMA, seperti itulah nasib sekolahku. Jangankan ikut organisasi ini itu, bisa datang dan mengikuti pelajaran saja sudah syukur. Aku sering kali bolos hanya untuk urusan-urusan sepele atas permintaan Pak Bakri. Karena posisinya yang lumayan punya anma di sekolah, hampir semua guru menerimanya dengan lumrah. Bahkan ketika seorang guru memintaku untuk turut serta dalam kontes lomba debat Bahasa Inggris, Pak Bakri adalah orang yang pertama kali menolaknya. Entah dengan alasan apa ia lakukan itu. Bukankah akan menambah nama baik bagi lembaga bimbel Bahasa Inggrisnya.
“Arga ...”
“Iya, Eyang?”
Dia eyang puti, Ibu dari Pak Bakri. Beliau wanita yang ku segani di sini. Andaikan tidak ada eyang, aku akan terlihat lebih berantakan dari sebelumnya. Nasihat, saran, dan kalimat-kalimat indahnya yang menjadi alasanku kuat bertahan sejauh ini.
“Dari sekolahnya Shinta, ya?”
Shinta adalah gadis kecilku di rumah ini. Shinta, keponakan Pak Bakri yang diasuhnya sejak bayi. Bapaknya telah meninggal dalam kecelakaan dan setelah itu ibunya menjadi TKW di Singapura. Jadi sebelumnya, di rumah ini hanya ada Pak Bakri, eyang, dan si kecil Shinta. Setiap pagi aku mengantarnya ke sekolah, dialah hiburan gratisku sebelum menghadapi kerasnya hidup seharian. Sekitar jam 10an ketika aku sedang istirahat di sekolah, aku bergegas menjemputnya dan mengantarnya pulang ke rumah, baru setelahnya aku akan kembali ke sekolah.
“Iya, eyang.”
“Di dalam ada Mbakmu, ada perlu sama kamu katanya.”
Hahaha, jelas itu. Tidak mungkin mbak akan datang menemuiku tanpa alasan. Aku menemuninya di ruang tamu, mencium tangannya sebagai salah satu tanda hormatku padanya. Tapi yang punya tangan hanya tersenyum sinis.
“Aku ke sini mau ambil HP. Aku butuh HP itu buat penunjang tugas-tugas kuliahku.”
Aku tak menanggapinya. Aku melangkah ke dalam, mengambil HP dan chargernya.
“Terima kasih, mbak.”
“Yaudah aku langsung pamit.”
Seperti itulah mbak, tidak pernah peduli selain pada dunianya. Mbak memang cantik dan pandai, jauh lebih pandai dariku. Tapi, sikapnya yang membuatku tidak lagi menemukan kebaikan pada diri kakak kandungku sendiri.
“Oh ya, Ga, bulan depan Bapak nggak bisa hadir di wisudamu. Bapak sakit-sakitan. Kasian kalau harus jauh-jauh ke sini hanya untuk menghadiri wisuda. Mbak juga nggak bisa datang, ada ujian yang tak bisa ditinggalkan pada hari itu.”
Aku sudah biasa menerima pengabaian seperti itu. Setelahnya, semua hal terkesan menyebalkan bagiku. Bahkan setelah aku lulus dan tak bisa mengambil langkah lain selain tetap berada di sini, di bawah naungan pak Bakri. Berbagai kampus telah menolakku dari berbagai jalur. Mbak kemudian putus kuliah dan memilih ajakan menikah dari anak pak lurah. Bapak diajaknya ikut serta tinggal di rumah suaminya, dan yang paling miris, rumah kecil milik kita satu-satunya pun turut terjual untuk biaya pengobatan Bapak.
*
Burung di sangkar pun akan terbang saat sangkarnya terbuka, ia butuh bebas dengan dunianya. Begitupun aku, aku laki yang tidak sepatutnya menunggu kesempatan. Aku butuh tindakan untuk menyusul segala ketertinggalanku memenuhi masa depan.
Aku pulang. Lebih tepatnya kabur dan tidak kembali ke rumah itu lagi. Sesekali aku datang menemui Shinta di sekolahnya, menitipkan salam untuk eyang yang justru emndukung dan merestui langkahku. Eyang yang bahkan memberiku uang saku sebelum aku benar-benar pergi dari rumah itu. Selanjutnya, aku pergi ke kota dan bekerja di sana.
Tuhan, aku percaya Anugerah-Mu pasti nyata dan Engkau Maha Segala-Nya.
Tuhan, ku mohon. Izinkan aku bahagia.
ISLAM MENYEBUTNYA MADRASAH AL ULA
Islam Menyebutnya Madrasah al Ula
“Faiza faragta fanshab, wa ila rabbika fargab. Sadaqa allah al ‘azim. Sudah ya, Bu.”
“Eh, lupa ya sama kosa katanya. Hayo, kosa kata apa yang mau disetorkan ke Ibu hari ini?”
“Setorannya nanti aja deh bu, ngantuk nih.”
“Ayo hafalan dulu gih, bentar aja. Nanti Ibu tambahin deh uang sakunya.”
“Mother-Ummun-Ibu, Father-Abun-Ayah, Milk-Labanun-Susu, Orange-Burtuqalun-Jeruk, Banana-Mauzun-Pisang.”
“Pinter anak Ibu. Balqis ganti seragam dulu ya, Ibu siapkan sarapan kesukaan Balqis ini.”
“Siap Ibu cantik.”
Aku ngeloyor mencium pipi Ibu sambil berlalu pergi ke kamar.
Kebiasaan itu Ibu ajarkan padaku sejak kecil. Kebiasaan bangun pagi, mandi, shalat shubuh, dilanjut membaca Alquran, serta hafalan kosa kata bahasa arab dan bahasa inggris minimal 5 kata tiap harinya, sambil menemani Ibu memasak. Teriakan kecil seringkali Ibu lontarkan untuk membenarkan bacaan Alquranku yang salah atau sekedar merangsang ingatanku terhadap beberapa kosa kata yang tak ku ingat. Kebiasaan baik itu menjadikanku berbeda dengan anak seusiaku waktu itu. Sebelum masuk Sekolah Dasar, aku sudah mengkhatamkan Iqra’, yaitu kitab 6 jilid yang merupakan cara cepat belajar membaca Alquran, bahkan aku sudah hafal beberapa surat pendek termasuk surat al-Insyirah yang menjadi surat favoritku.
“Balqis, sudah selesai belum pakai seragamnya? Ini sarapannya sudah siap loh.”
“Iya, Bu. Balqis datang.”
Aku berlari ke arah Ibu. Dengan senyum yang khas, beliau membawa beberapa potong roti tawar berlapis telur dadar dan segelas susu putih.
“Jangan lupa baca doa, ya.”
Aku hanya mengangguk untuk mengiyakan pinta Ibu sembari meringis kecil karena mulutku sudah dipenuhi roti tawar kesukaanku.
“Bu, Balqis makan sepotong saja ya, sisanya Balqis bawa buat bekal.”
“Yaudah habis ini Ibu ambilkan kotak makan buat tempat roti itu. Susunya dihabiskan, ya.”
Kurang lebih seperti itu suasana setiap pagiku, begitu damai dan menyenangkan. Tak pernah ada susah, justru selalu ada semangat baru setiap paginya. Dan Ibu menyuguhkannya dengan beberapa masakan khasnya atau hanya dengan sebuah kalimat sederhana.
“Belajar yang pinter ya, Ibu sama Ayah nunggu kamu sampai sukses.”
*
“Bu, adik kok dibelikan itu. Ibu mah nggak adil.”
“Masa iya kak Balqis mau dibelikan robot, kan kemarin sudah dibelikan boneka sama Ayah.”
Jawaban Ibu tak lantas membuatku lega. Menanggapi itu, aku berlagak cemberut.
“Kak Balqis sayang, Ibu sama Ayah sayang sama kakak juga sama adik. Nggak ada yang lebih diutamakan, keduanya sama. Yang namanya adil itu, memberikan sesuatu sesuai porsi masing-masing.”
Diam-diam aku menangis, merengek kecil, kemudian memeluk, dan meminta maaf pada Ibu.
*
Teruntuk Balqisku
Di karantina suci
Balqis, gimana kabarnya? Semoga Balqis selalu sehat ya biar bisa sekolah dan mengaji dengan tenang. Alhamdulillah Ibu, Ayah, dan adik-adik sehat selalu. Balqis, tadi sebelum Ibunya Aisyah jenguk Aisyah di pesantren, beliau datang ke rumah dan menawarkan titipan. Jadi Ibu titip uang saku ke Ibunya Aisyah buat Balqis. Uangnya buat bayar bimbel bulan ini ya, sisanya buat tambahan uang jajan Balqis. Ingat uangnya dijaga baik-baik, tidak pelit tapi juga tidak boros, ya. Oh iya, Ibu juga titip nasi goreng kesukaan Balqis, juga beberapa makanan kecil. Ada ting-ting kacang, biskuit malkist, dan pisang rebus.
Sudah dulu, ya sayang. Balqis baik-baik di pesantren, jaga kesehatan, belajar yang rajin, nurut sama pak kyai dan guru-guru di sekolah. Insyaallaah Balqis jadi anak shalihah, berguna bagi nusa, bangsa, dan agama. Aamiin.
Salam Sayang
Ibu
Surat sederhana dari Ibu itu sukses membuatku meleleh. Tak mampu ku bendung air mata yang terus mengalir tanpa permisi. Tulisan itu sangat sederhana, tak sebanding dengan tulisan para penulis ternama sekelas Kahlil Gibran, Asma Nadia, atau lainnya. Tapi Ibu selalu seperti itu. Tak kenal lelah memberi motivasi padaku sekalipun ketika kita berpisah jarak, tepatnya ketika aku memutuskan nyantri sejak lulus Sekolah Dasar.
*
“Katanya hidup itu pilihan, Bu, tapi kenapa pilihanku selalu tidak bisa tepat sasaran.” Kataku dalam isak ketika berulang kali gagal masuk perguruan tinggi negeri, dan hasilnya aku harus terima untuk kuliah tetap di lingkungan pesantren.
“Jangan bilang Balqis kesel nyantri.” Jawaban Ibu terasa menggoda, seakan ingin memancing emosiku agar segera meluap. Tangisku semakin menjadi hingga nyaris tak mampu berkata. Ya, segede itu aku masih suka menangis.
“Balqis, hidup memang pilihan, tapi segala pilihan kadang kali tak sejalan dengan apa yang kita inginkan. Karena Allah tau yang terbaik buat hamba-Nya, dan yang kita inginkan belum tentu terbaik menurut-Nya. Tugas kita hanya sabar, dan belajar menerima segala yang ada dan yang telah digariskan untuk kita. Kita pun harus bersyukur, sering kali hal-hal yang kita punya dan kita sia-siakan justru hal itulah yang diinginkan orang lain.”
“Tapi tak semudah itu menerima kenyataan yang tak sesuai ingin kita, Bu.”
“Memang tidak mudah kok, tapi Balqis pasti bisa. Hanya butuh waktu dan sabar dalam proses. Ingat, bukan hasil yang kita lihat, tapi setia dan menikmati proses itu penting. Karena suatu saat kita akan merindukannya, dan akan menjadi bahan yang akan kita ceritakan kelak kepada adik dan anak turun kita.”
“Satu lagi, jangan pernah takut, tiada hasil yang mengkhianati usaha. Maka apapun yang Balqis perjuangkan, hasilnya tak akan pernah meleset. Percayalah.”
Tangisku memang masih pecah, tapi hatiku terasa luluh dengan sederet penjelasan Ibu itu. aku memeluknya erat, semacam ada kekuatan yang mengalir di sana.
Itulah Ibu. Ya, Ibuku. Wanita pertama yang paling berjasa dalam hadir dan proses hadirnya hidupku di dunia ini. Dia wanita yang memperjuangkan diriku sejak masih bibit hingga menjadikanku wanita berbobot yang minimal bisa sebanding dengan dirinya. Dia wanita yang merelakan segala hal demi anaknya. Sekalipun segala keterpaksaan harus dilakukan, tapi ketidakmungkinan seakan bisa diwujudkan baginya.
Ya, dia Ibuku. Wanita yang tak pernah mengeluh atas segala tangisku. Tangisan yang bukan dari diriku yang masih bayi maupun balita. Tapi tangisan bahkan setelah diriku telah menjadi anak gadisnya. Dia tak pernah menolak air mata itu, karena baginya, dirinyalah tempat mengadu kedua setelah Tuhan, selebihnya tak ada manusia lain yang seutuhnya bisa dipercaya. Di sinilah aku menganggap bahwa Ibu adalah tangan kanan Tuhan.
Dia Ibu. Ya, Ibuku. Wanita yang sangat ku junjung tinggi lahir batinku. Wanita yang menjadi model teladanku sepanjang perjalanan hidupku. Wanita yang merupakan wujud malaikat dunia pembawa sinar kehidupan. Percaya atau tidak, hadirnya adalah cahaya. Jika kita belum menemukan cahaya itu, maka hati kita perlu dipertanyakan. Dan jika ingin menemukan kegelapan tanpa cahayanya, tunggulah sampai dia benar-benar pergi dari dunia untuk menghadapa Rabb-Nya. Bisa dipastikan gelap dan setelahnya kita pasti akan menyesal.
Dia Ibuku. Manusia berwujud wanita berhati malaikat yang diagungkan oleh Tuhan dan dimuliakan dalam Islam. Islam menyebutnya Madrasah al Ula. Sekolah pertama bagi anak-anak yang menghuni rumahnya. Dari sinilah aku belajar, bahwa cantik bagi wanita bukan segalanya, karena hidup terlalu keras jika mengandalkan kecantikan. Nyatanya, kecerdasan wanitalah yang menjadikan manusia sejenis mereka dimuliakan. Bahkan wanita berpendidikan tinggi yang memutuskan diri untuk menjadi Ibu Rumah Tangga, seringkali diremehkan dan dianggap sebagai pilihan yang salah. Nyatanya, anak-anak dalam asuhannya sangat membutuhkan kecerdasan wanita berwujud Ibu itu. Bagaimana anak bisa tercetak sebagai generasi berbibit unggul, jika pendidikan utama yang diperolehnya tidak berbobot bahkan sering kali nihil.
Dia Ibuku, wanita pertama yang mendidik dan mengajarkanku bahkan sebelum aku berwujud manusia, tentang segala pengetahuan maupun ilmu kehidupan. Dari situlah aku menganggapnya guru.
Dia Ibuku, pahlawan pertama dalam hidupku. Guru terhebatku dalam Madrasah al Ula miliknya.
“Faiza faragta fanshab, wa ila rabbika fargab. Sadaqa allah al ‘azim. Sudah ya, Bu.”
“Eh, lupa ya sama kosa katanya. Hayo, kosa kata apa yang mau disetorkan ke Ibu hari ini?”
“Setorannya nanti aja deh bu, ngantuk nih.”
“Ayo hafalan dulu gih, bentar aja. Nanti Ibu tambahin deh uang sakunya.”
“Mother-Ummun-Ibu, Father-Abun-Ayah, Milk-Labanun-Susu, Orange-Burtuqalun-Jeruk, Banana-Mauzun-Pisang.”
“Pinter anak Ibu. Balqis ganti seragam dulu ya, Ibu siapkan sarapan kesukaan Balqis ini.”
“Siap Ibu cantik.”
Aku ngeloyor mencium pipi Ibu sambil berlalu pergi ke kamar.
Kebiasaan itu Ibu ajarkan padaku sejak kecil. Kebiasaan bangun pagi, mandi, shalat shubuh, dilanjut membaca Alquran, serta hafalan kosa kata bahasa arab dan bahasa inggris minimal 5 kata tiap harinya, sambil menemani Ibu memasak. Teriakan kecil seringkali Ibu lontarkan untuk membenarkan bacaan Alquranku yang salah atau sekedar merangsang ingatanku terhadap beberapa kosa kata yang tak ku ingat. Kebiasaan baik itu menjadikanku berbeda dengan anak seusiaku waktu itu. Sebelum masuk Sekolah Dasar, aku sudah mengkhatamkan Iqra’, yaitu kitab 6 jilid yang merupakan cara cepat belajar membaca Alquran, bahkan aku sudah hafal beberapa surat pendek termasuk surat al-Insyirah yang menjadi surat favoritku.
“Balqis, sudah selesai belum pakai seragamnya? Ini sarapannya sudah siap loh.”
“Iya, Bu. Balqis datang.”
Aku berlari ke arah Ibu. Dengan senyum yang khas, beliau membawa beberapa potong roti tawar berlapis telur dadar dan segelas susu putih.
“Jangan lupa baca doa, ya.”
Aku hanya mengangguk untuk mengiyakan pinta Ibu sembari meringis kecil karena mulutku sudah dipenuhi roti tawar kesukaanku.
“Bu, Balqis makan sepotong saja ya, sisanya Balqis bawa buat bekal.”
“Yaudah habis ini Ibu ambilkan kotak makan buat tempat roti itu. Susunya dihabiskan, ya.”
Kurang lebih seperti itu suasana setiap pagiku, begitu damai dan menyenangkan. Tak pernah ada susah, justru selalu ada semangat baru setiap paginya. Dan Ibu menyuguhkannya dengan beberapa masakan khasnya atau hanya dengan sebuah kalimat sederhana.
“Belajar yang pinter ya, Ibu sama Ayah nunggu kamu sampai sukses.”
*
“Bu, adik kok dibelikan itu. Ibu mah nggak adil.”
“Masa iya kak Balqis mau dibelikan robot, kan kemarin sudah dibelikan boneka sama Ayah.”
Jawaban Ibu tak lantas membuatku lega. Menanggapi itu, aku berlagak cemberut.
“Kak Balqis sayang, Ibu sama Ayah sayang sama kakak juga sama adik. Nggak ada yang lebih diutamakan, keduanya sama. Yang namanya adil itu, memberikan sesuatu sesuai porsi masing-masing.”
Diam-diam aku menangis, merengek kecil, kemudian memeluk, dan meminta maaf pada Ibu.
*
Teruntuk Balqisku
Di karantina suci
Balqis, gimana kabarnya? Semoga Balqis selalu sehat ya biar bisa sekolah dan mengaji dengan tenang. Alhamdulillah Ibu, Ayah, dan adik-adik sehat selalu. Balqis, tadi sebelum Ibunya Aisyah jenguk Aisyah di pesantren, beliau datang ke rumah dan menawarkan titipan. Jadi Ibu titip uang saku ke Ibunya Aisyah buat Balqis. Uangnya buat bayar bimbel bulan ini ya, sisanya buat tambahan uang jajan Balqis. Ingat uangnya dijaga baik-baik, tidak pelit tapi juga tidak boros, ya. Oh iya, Ibu juga titip nasi goreng kesukaan Balqis, juga beberapa makanan kecil. Ada ting-ting kacang, biskuit malkist, dan pisang rebus.
Sudah dulu, ya sayang. Balqis baik-baik di pesantren, jaga kesehatan, belajar yang rajin, nurut sama pak kyai dan guru-guru di sekolah. Insyaallaah Balqis jadi anak shalihah, berguna bagi nusa, bangsa, dan agama. Aamiin.
Salam Sayang
Ibu
Surat sederhana dari Ibu itu sukses membuatku meleleh. Tak mampu ku bendung air mata yang terus mengalir tanpa permisi. Tulisan itu sangat sederhana, tak sebanding dengan tulisan para penulis ternama sekelas Kahlil Gibran, Asma Nadia, atau lainnya. Tapi Ibu selalu seperti itu. Tak kenal lelah memberi motivasi padaku sekalipun ketika kita berpisah jarak, tepatnya ketika aku memutuskan nyantri sejak lulus Sekolah Dasar.
*
“Katanya hidup itu pilihan, Bu, tapi kenapa pilihanku selalu tidak bisa tepat sasaran.” Kataku dalam isak ketika berulang kali gagal masuk perguruan tinggi negeri, dan hasilnya aku harus terima untuk kuliah tetap di lingkungan pesantren.
“Jangan bilang Balqis kesel nyantri.” Jawaban Ibu terasa menggoda, seakan ingin memancing emosiku agar segera meluap. Tangisku semakin menjadi hingga nyaris tak mampu berkata. Ya, segede itu aku masih suka menangis.
“Balqis, hidup memang pilihan, tapi segala pilihan kadang kali tak sejalan dengan apa yang kita inginkan. Karena Allah tau yang terbaik buat hamba-Nya, dan yang kita inginkan belum tentu terbaik menurut-Nya. Tugas kita hanya sabar, dan belajar menerima segala yang ada dan yang telah digariskan untuk kita. Kita pun harus bersyukur, sering kali hal-hal yang kita punya dan kita sia-siakan justru hal itulah yang diinginkan orang lain.”
“Tapi tak semudah itu menerima kenyataan yang tak sesuai ingin kita, Bu.”
“Memang tidak mudah kok, tapi Balqis pasti bisa. Hanya butuh waktu dan sabar dalam proses. Ingat, bukan hasil yang kita lihat, tapi setia dan menikmati proses itu penting. Karena suatu saat kita akan merindukannya, dan akan menjadi bahan yang akan kita ceritakan kelak kepada adik dan anak turun kita.”
“Satu lagi, jangan pernah takut, tiada hasil yang mengkhianati usaha. Maka apapun yang Balqis perjuangkan, hasilnya tak akan pernah meleset. Percayalah.”
Tangisku memang masih pecah, tapi hatiku terasa luluh dengan sederet penjelasan Ibu itu. aku memeluknya erat, semacam ada kekuatan yang mengalir di sana.
Itulah Ibu. Ya, Ibuku. Wanita pertama yang paling berjasa dalam hadir dan proses hadirnya hidupku di dunia ini. Dia wanita yang memperjuangkan diriku sejak masih bibit hingga menjadikanku wanita berbobot yang minimal bisa sebanding dengan dirinya. Dia wanita yang merelakan segala hal demi anaknya. Sekalipun segala keterpaksaan harus dilakukan, tapi ketidakmungkinan seakan bisa diwujudkan baginya.
Ya, dia Ibuku. Wanita yang tak pernah mengeluh atas segala tangisku. Tangisan yang bukan dari diriku yang masih bayi maupun balita. Tapi tangisan bahkan setelah diriku telah menjadi anak gadisnya. Dia tak pernah menolak air mata itu, karena baginya, dirinyalah tempat mengadu kedua setelah Tuhan, selebihnya tak ada manusia lain yang seutuhnya bisa dipercaya. Di sinilah aku menganggap bahwa Ibu adalah tangan kanan Tuhan.
Dia Ibu. Ya, Ibuku. Wanita yang sangat ku junjung tinggi lahir batinku. Wanita yang menjadi model teladanku sepanjang perjalanan hidupku. Wanita yang merupakan wujud malaikat dunia pembawa sinar kehidupan. Percaya atau tidak, hadirnya adalah cahaya. Jika kita belum menemukan cahaya itu, maka hati kita perlu dipertanyakan. Dan jika ingin menemukan kegelapan tanpa cahayanya, tunggulah sampai dia benar-benar pergi dari dunia untuk menghadapa Rabb-Nya. Bisa dipastikan gelap dan setelahnya kita pasti akan menyesal.
Dia Ibuku. Manusia berwujud wanita berhati malaikat yang diagungkan oleh Tuhan dan dimuliakan dalam Islam. Islam menyebutnya Madrasah al Ula. Sekolah pertama bagi anak-anak yang menghuni rumahnya. Dari sinilah aku belajar, bahwa cantik bagi wanita bukan segalanya, karena hidup terlalu keras jika mengandalkan kecantikan. Nyatanya, kecerdasan wanitalah yang menjadikan manusia sejenis mereka dimuliakan. Bahkan wanita berpendidikan tinggi yang memutuskan diri untuk menjadi Ibu Rumah Tangga, seringkali diremehkan dan dianggap sebagai pilihan yang salah. Nyatanya, anak-anak dalam asuhannya sangat membutuhkan kecerdasan wanita berwujud Ibu itu. Bagaimana anak bisa tercetak sebagai generasi berbibit unggul, jika pendidikan utama yang diperolehnya tidak berbobot bahkan sering kali nihil.
Dia Ibuku, wanita pertama yang mendidik dan mengajarkanku bahkan sebelum aku berwujud manusia, tentang segala pengetahuan maupun ilmu kehidupan. Dari situlah aku menganggapnya guru.
Dia Ibuku, pahlawan pertama dalam hidupku. Guru terhebatku dalam Madrasah al Ula miliknya.
KIMIA DI TANGAN, AGAMA DALAM PELUKAN
Kimia Di Tangan, Agama Dalam Pelukan
Sukses berharap dan berhasil lolos masuk jurusan favorit sekelas IPA tak lantas membuat hatiku bungah. Bahagia memang, tapi hanya sejenak. Selebihnya hatiku diliputi kegelisahan nyata bahwa perjuangan keras akan segera dimulai. Bagaimana tidak, dari awal aku tak menguasai pelajaran-pelajaran dengan berbagai rumus dan nama-nama ilmiah yang ku anggap mengerikan. Tapi entah sejak kapan aku memiliki harapan untuk menekuninya bahkan sangat didukung dengan perolehan skor tesku untuk masuk di jurusan tersebut. Jangankan menguasai pelajaran, melihat benda-benda mati di ruangan serba putih bertuliskan “Laboratorium IPA” itu, semacam jijik, merinding, dan seakan tercium aroma mistis di sana. Selanjutnya, dengan segala keterpaksaan aku harus benar-benar mengenal tentang vektor, integral, struktur atom, konfigurasi elektron, elektrokimia, polimer, biomolekul, dengan segala kerumitan lainnya.
“Jadi dapat kita saksikan bersama, menurut suara terbanyak maka ketua kelas terpilih adalah Sekar.”
Aku yang baru datang dari toilet kemudian memasuki ruang kelas kira-kira 2 sampai 3 langkah, tiba-tiba tersedak mendengar ucapan salah seorang teman yang memimpin proses pemilihan pengurus kelas, yang entah dia siapa, sama sekali aku tak ingin menoleh ke arahnya. Aku masih menunduk melanjutkan langkahku menuju bangku barisan depan ujung paling kanan ruang kelas itu. Aku terbelalak melihat coretan di papan bahwa pilihan suara yang ku peroleh berbanding jauh, lebih banyak dari 5 orang lainnya di bawahku. Dengan jumlah 30 siswa sekelas, hampir 20 dari mereka berpihak padaku. Hatiku bergemuruh, gemetar. Tapi dengan kuat ku coba menegaskan.
“Atas dasar apa kalian memilih namaku? Aku tak punya bekal untuk memimpin manusia-manusia berotak sejenis kalian.”
Seketika suasana kelas berubah riuh oleh gelak tawa. Tak ada jawaban dari mereka yang membuatku justru ingin meluapkan emosi.
“Kalimat bijakmu yang membuat kita sering terhipnotis dan akhirnya memutuskan memilihmu.”
Suara Dewi, yang sedari tadi berdiri di depan, memimpin proses pemilihan pengurus kelas, memecah kegaduhan. Setelahnya, hanya ada hening, yang akan disambut oleh gelak tawa selanjutnya, tapi kedatangan sosok pelopor jurusan ini membuat keheningan kembali mengarungi seisi ruangan. Beliau Ibu Wahyuni, guru kimia, sekaligus wali kelas di XI IPA ini.
“Sebelum guru masuk, diusahakan baca-baca ringan. Jangan biarkan buku-buku tebal itu jadi hiasan lemari dan selanjutnya jadi bantal.”
Kalimat pertama yang diucapkan beliau selepas salam dan membuka pelajaran itu, benar-benar menyentil kesadaran kami.
“Maafkan kami, Bu. Ini tadi kita pemilihan pengurus kelas.”
“Tapi saya nggak siap dipilih, Bu.”
“Sekar, menjadi pemimpin itu tidak boleh ambisi, tapi tidak boleh menolak jika diberi amanat.”
“Dan saya takut tidak bisa amanah, Bu. Saya nggak bisa apa-apa tentang dunia IPA.”
“Mereka memilihmu karena percaya dengan segala kemampuan dan kepribadianmu. Selanjutnya, mereka nggak bakal diam kok. Mereka akan turut andil dalam mensukseskan periode kepengurusanmu. Percayalah.”
Aku hanya diam, sesekali mengedarkan pandangan ke arah teman-teman. Mereka tersenyum meyakinkan, tepatnya menguatkan. Menanggapi itu, aku kembali menundukkan kepala, berusaha mencari letak kekuatan diriku.
“Saat kita belajar, kita harus yakin bahwa apa yang kita pelajari kelak akan bermanfaat. Selain itu, kita harus percaya bahwa tempat di mana kita belajar adalah tempat terbaik. Dari sana maka akan tertanam suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan.”
Dia, guru kimia sekaligus wali kelas kami. Ibu Sri Wahyuni, ST. Sosok pemikir ilmiah yang tak pernah meninggalkan pesan-pesan moral dan nilai-nilai kehidupan serta keagamaan di setiap sela materi pelajaran yang dijelaskan. Dia tak pernah lelah mengajarkan kami yang sebagian besar notabennya harus belajar dari nol tentang IPA, termasuk diriku. Jangankan untuk memahami seluruh unsur dalam tabel periodik kimia, air (H2O) berasal dari rumus molekul H+ + OH- saja aku baru mengetahuinya dari beliau beberapa hari yang lalu.
Baginya, kita hidup memang membutuhkan orang lain, tapi kita tidak boleh manja, menggantungkan hidup kita sepenuhnya pada orang lain. Berjuang sendiri mang sulit, tapi sebelum kita mencobanya sendri, jangan pernah mengganggu waktu orang lain hanya untuk memenuhi kesibukan yang seharusnya menjadi tuigas dan kewajiban kita.
Sebulan, dua bulan, aku mulai menikmati semuanya. Bergelut dengan rumus-rumus yang dulu aku hindari, bahasa-bahasa ilmiah yang justru dulu ku anggap konyol, memimpin orang-orang cerdas juga membuatku banyak belajar, mulai dari amandemen dan pengukuhan logo IPA angkatan kita, menyepakati dan mengukuhkan nama angkatan, hingga perjuangan bersama kita yang membuat nama kelas IPA mampu menyabet juara umum dalam classmeeting semester ini.
Segala sesuatu memang butuh dicoba agar kita mampu menemukan letak titik kenikmatannya. Aku merasakan itu dan Ibu Wahyuni-lah yang mengajarkan semuanya. Hingga pada suatu kesempatan kita dipercaya mengikuti berbagai olimpiade nasional baik dari bidang Biologi, Fisika, maupun Kimia, yang jarang meleset dari perkiraan menang. Semakin lama, kita semakin bangga dengan identitas IPA yang selalu kita jaga nama baiknya. Rasa cinta itu terbawa hingga kita hendak meninggalkan bangku SMA menuju jenjang selanjutnya. Hampir semua dari kita ingin melanjutkan ke dunia yang sama. Biologi murni, pendidikan fisika, teknik kimia, farmasi, perawat, kebidanan, pendidikan dokter, dan sejenisnya. Menanggapi segala cita yang sering kali kita curhatkan padanya, Bu Wahyuni selalu menanggapi dengan senyum khasnya kemudian mengaminkannya dengan tak pernah lupa memberi petuah-petuah indah dari kalimat-kalimat bijak miliknya.
*
“Bu, maafkan Sekar. Bukan Sekar tak ingin. Tapi Ayah dan Ibu minta Sekar melanjutkan kuliah di Kampus berbasis pesantren. Sekar masih mencintai kimia, Bu. Sekar belum bisa terima.”
“Sekar, segala yang kita ingin tak harus jadi nyata. Orang tuamu tau yang terbaik buat anaknya. Ikuti ya, Insyaallaah berkah.”
“Ibu tidak marah kalau saya meninggalkan kimia? Maafkan Sekar telah berkhianat, Bu.”
“Hei, ngomong apa kamu ini. Buat apa Ibu marah. Justru Ibu bersyukur, sekalipun Sekar tidak mampu melanjutkan setidaknya Sekar pernah mempelajari ilmu alam itu. Semua ilmu wajib dipelajari dan Sekar berkesempatan mempelajari dan mendalaminya selama kurang lebih dua tahun. Semoga bermanfaat dan cukup untuk melanjutkan perjalanan jenjang berikutnya.”
Aku mulai terisak hingga nyaris tak bersuara. Tapi Bu Wahyuni menguatkanku dengan satu pelukan yang entah sudah ke berapa dari semua pelukan yang pernah dia kasih padaku. Segala pelukan nyaman yang tak akan ku lupa adanya.
Aku banting setir, melanjutkan studi lawan arah, dari ingin kimia menuju dunia agama, dan Bu Wahyuni merestuinya.
*
“Bu, hari ini Sekar wisuda. Sekar sudah sarjana, Bu. Terima kasih atas segala doa dan motivasinya sejak awal hingga saat ini. Jangan pernah bosan mendoakan Sekar, ya Bu.”
“Syukurlah, Ibu bahagia mendengarnya. Selamat ya, Nak. Ibu yakin kamu pasti mendapat penghargaan lain selain ijazah, iya kan?”
Aku hanya meringis mengiyakan perkataan Bu Yuni via suara saat aku menelponnya lepas acara wisuda sarjanaku siang tadi.
”Sekali lagi maafkan sekar ya, Bu. Sekar nggak bisa jadi sarjana kimia buat Ibu.”
“Sekar hadir melengkapi Ibu. Ibu yang megang kimia, Sekar membantu perjalanan Ibu dengan arah mata angin berwujud agama.”
“Ibu bisa saja. Justru terbalik, Bu. Sejak awal Sekar mengenal Ibu, bagi Sekar, Bu Wahyuni menggenggam kimia, tapi tetap memeluk dan menjunjung tinggi nilai agama sebagai pedoman.”
“Loh bukankah itu suatu keharusan, dan memang harus diterapkan oleh siapa saja.”
“Iya memang Bu. Tapi tidak semua orang menerapkan itu dalam praktiknya, dan saya, Sekar Salsabilla sebagai saksi bahwa Ibu Sri Wahyuni, ST adalah guru pelopor dan pahlawan yang sesungguhnya di mata dunia, dunia pendidikan utamanya.”
Seketika kita tertawa bersamaan sebelum setelahnya aku mengakhiri percakapan via telepon tersebut.
Sampai saat ini aku masih mencintai kimia, Bu. Bisikku dalam hati.
Sukses berharap dan berhasil lolos masuk jurusan favorit sekelas IPA tak lantas membuat hatiku bungah. Bahagia memang, tapi hanya sejenak. Selebihnya hatiku diliputi kegelisahan nyata bahwa perjuangan keras akan segera dimulai. Bagaimana tidak, dari awal aku tak menguasai pelajaran-pelajaran dengan berbagai rumus dan nama-nama ilmiah yang ku anggap mengerikan. Tapi entah sejak kapan aku memiliki harapan untuk menekuninya bahkan sangat didukung dengan perolehan skor tesku untuk masuk di jurusan tersebut. Jangankan menguasai pelajaran, melihat benda-benda mati di ruangan serba putih bertuliskan “Laboratorium IPA” itu, semacam jijik, merinding, dan seakan tercium aroma mistis di sana. Selanjutnya, dengan segala keterpaksaan aku harus benar-benar mengenal tentang vektor, integral, struktur atom, konfigurasi elektron, elektrokimia, polimer, biomolekul, dengan segala kerumitan lainnya.
“Jadi dapat kita saksikan bersama, menurut suara terbanyak maka ketua kelas terpilih adalah Sekar.”
Aku yang baru datang dari toilet kemudian memasuki ruang kelas kira-kira 2 sampai 3 langkah, tiba-tiba tersedak mendengar ucapan salah seorang teman yang memimpin proses pemilihan pengurus kelas, yang entah dia siapa, sama sekali aku tak ingin menoleh ke arahnya. Aku masih menunduk melanjutkan langkahku menuju bangku barisan depan ujung paling kanan ruang kelas itu. Aku terbelalak melihat coretan di papan bahwa pilihan suara yang ku peroleh berbanding jauh, lebih banyak dari 5 orang lainnya di bawahku. Dengan jumlah 30 siswa sekelas, hampir 20 dari mereka berpihak padaku. Hatiku bergemuruh, gemetar. Tapi dengan kuat ku coba menegaskan.
“Atas dasar apa kalian memilih namaku? Aku tak punya bekal untuk memimpin manusia-manusia berotak sejenis kalian.”
Seketika suasana kelas berubah riuh oleh gelak tawa. Tak ada jawaban dari mereka yang membuatku justru ingin meluapkan emosi.
“Kalimat bijakmu yang membuat kita sering terhipnotis dan akhirnya memutuskan memilihmu.”
Suara Dewi, yang sedari tadi berdiri di depan, memimpin proses pemilihan pengurus kelas, memecah kegaduhan. Setelahnya, hanya ada hening, yang akan disambut oleh gelak tawa selanjutnya, tapi kedatangan sosok pelopor jurusan ini membuat keheningan kembali mengarungi seisi ruangan. Beliau Ibu Wahyuni, guru kimia, sekaligus wali kelas di XI IPA ini.
“Sebelum guru masuk, diusahakan baca-baca ringan. Jangan biarkan buku-buku tebal itu jadi hiasan lemari dan selanjutnya jadi bantal.”
Kalimat pertama yang diucapkan beliau selepas salam dan membuka pelajaran itu, benar-benar menyentil kesadaran kami.
“Maafkan kami, Bu. Ini tadi kita pemilihan pengurus kelas.”
“Tapi saya nggak siap dipilih, Bu.”
“Sekar, menjadi pemimpin itu tidak boleh ambisi, tapi tidak boleh menolak jika diberi amanat.”
“Dan saya takut tidak bisa amanah, Bu. Saya nggak bisa apa-apa tentang dunia IPA.”
“Mereka memilihmu karena percaya dengan segala kemampuan dan kepribadianmu. Selanjutnya, mereka nggak bakal diam kok. Mereka akan turut andil dalam mensukseskan periode kepengurusanmu. Percayalah.”
Aku hanya diam, sesekali mengedarkan pandangan ke arah teman-teman. Mereka tersenyum meyakinkan, tepatnya menguatkan. Menanggapi itu, aku kembali menundukkan kepala, berusaha mencari letak kekuatan diriku.
“Saat kita belajar, kita harus yakin bahwa apa yang kita pelajari kelak akan bermanfaat. Selain itu, kita harus percaya bahwa tempat di mana kita belajar adalah tempat terbaik. Dari sana maka akan tertanam suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan.”
Dia, guru kimia sekaligus wali kelas kami. Ibu Sri Wahyuni, ST. Sosok pemikir ilmiah yang tak pernah meninggalkan pesan-pesan moral dan nilai-nilai kehidupan serta keagamaan di setiap sela materi pelajaran yang dijelaskan. Dia tak pernah lelah mengajarkan kami yang sebagian besar notabennya harus belajar dari nol tentang IPA, termasuk diriku. Jangankan untuk memahami seluruh unsur dalam tabel periodik kimia, air (H2O) berasal dari rumus molekul H+ + OH- saja aku baru mengetahuinya dari beliau beberapa hari yang lalu.
Baginya, kita hidup memang membutuhkan orang lain, tapi kita tidak boleh manja, menggantungkan hidup kita sepenuhnya pada orang lain. Berjuang sendiri mang sulit, tapi sebelum kita mencobanya sendri, jangan pernah mengganggu waktu orang lain hanya untuk memenuhi kesibukan yang seharusnya menjadi tuigas dan kewajiban kita.
Sebulan, dua bulan, aku mulai menikmati semuanya. Bergelut dengan rumus-rumus yang dulu aku hindari, bahasa-bahasa ilmiah yang justru dulu ku anggap konyol, memimpin orang-orang cerdas juga membuatku banyak belajar, mulai dari amandemen dan pengukuhan logo IPA angkatan kita, menyepakati dan mengukuhkan nama angkatan, hingga perjuangan bersama kita yang membuat nama kelas IPA mampu menyabet juara umum dalam classmeeting semester ini.
Segala sesuatu memang butuh dicoba agar kita mampu menemukan letak titik kenikmatannya. Aku merasakan itu dan Ibu Wahyuni-lah yang mengajarkan semuanya. Hingga pada suatu kesempatan kita dipercaya mengikuti berbagai olimpiade nasional baik dari bidang Biologi, Fisika, maupun Kimia, yang jarang meleset dari perkiraan menang. Semakin lama, kita semakin bangga dengan identitas IPA yang selalu kita jaga nama baiknya. Rasa cinta itu terbawa hingga kita hendak meninggalkan bangku SMA menuju jenjang selanjutnya. Hampir semua dari kita ingin melanjutkan ke dunia yang sama. Biologi murni, pendidikan fisika, teknik kimia, farmasi, perawat, kebidanan, pendidikan dokter, dan sejenisnya. Menanggapi segala cita yang sering kali kita curhatkan padanya, Bu Wahyuni selalu menanggapi dengan senyum khasnya kemudian mengaminkannya dengan tak pernah lupa memberi petuah-petuah indah dari kalimat-kalimat bijak miliknya.
*
“Bu, maafkan Sekar. Bukan Sekar tak ingin. Tapi Ayah dan Ibu minta Sekar melanjutkan kuliah di Kampus berbasis pesantren. Sekar masih mencintai kimia, Bu. Sekar belum bisa terima.”
“Sekar, segala yang kita ingin tak harus jadi nyata. Orang tuamu tau yang terbaik buat anaknya. Ikuti ya, Insyaallaah berkah.”
“Ibu tidak marah kalau saya meninggalkan kimia? Maafkan Sekar telah berkhianat, Bu.”
“Hei, ngomong apa kamu ini. Buat apa Ibu marah. Justru Ibu bersyukur, sekalipun Sekar tidak mampu melanjutkan setidaknya Sekar pernah mempelajari ilmu alam itu. Semua ilmu wajib dipelajari dan Sekar berkesempatan mempelajari dan mendalaminya selama kurang lebih dua tahun. Semoga bermanfaat dan cukup untuk melanjutkan perjalanan jenjang berikutnya.”
Aku mulai terisak hingga nyaris tak bersuara. Tapi Bu Wahyuni menguatkanku dengan satu pelukan yang entah sudah ke berapa dari semua pelukan yang pernah dia kasih padaku. Segala pelukan nyaman yang tak akan ku lupa adanya.
Aku banting setir, melanjutkan studi lawan arah, dari ingin kimia menuju dunia agama, dan Bu Wahyuni merestuinya.
*
“Bu, hari ini Sekar wisuda. Sekar sudah sarjana, Bu. Terima kasih atas segala doa dan motivasinya sejak awal hingga saat ini. Jangan pernah bosan mendoakan Sekar, ya Bu.”
“Syukurlah, Ibu bahagia mendengarnya. Selamat ya, Nak. Ibu yakin kamu pasti mendapat penghargaan lain selain ijazah, iya kan?”
Aku hanya meringis mengiyakan perkataan Bu Yuni via suara saat aku menelponnya lepas acara wisuda sarjanaku siang tadi.
”Sekali lagi maafkan sekar ya, Bu. Sekar nggak bisa jadi sarjana kimia buat Ibu.”
“Sekar hadir melengkapi Ibu. Ibu yang megang kimia, Sekar membantu perjalanan Ibu dengan arah mata angin berwujud agama.”
“Ibu bisa saja. Justru terbalik, Bu. Sejak awal Sekar mengenal Ibu, bagi Sekar, Bu Wahyuni menggenggam kimia, tapi tetap memeluk dan menjunjung tinggi nilai agama sebagai pedoman.”
“Loh bukankah itu suatu keharusan, dan memang harus diterapkan oleh siapa saja.”
“Iya memang Bu. Tapi tidak semua orang menerapkan itu dalam praktiknya, dan saya, Sekar Salsabilla sebagai saksi bahwa Ibu Sri Wahyuni, ST adalah guru pelopor dan pahlawan yang sesungguhnya di mata dunia, dunia pendidikan utamanya.”
Seketika kita tertawa bersamaan sebelum setelahnya aku mengakhiri percakapan via telepon tersebut.
Sampai saat ini aku masih mencintai kimia, Bu. Bisikku dalam hati.
DEFINISI RINDU
DEFINISI RINDU
Rindu
Kau tau apa itu
Entahlah
Aku bahkan kesulitan
Untuk merangkainya dengan segala jenis bahasa
Ia datang
Menghujani hati yang gersang
Bukan untuk menyuburkan
Justru membuat hati semakin menjerit meronta semerbak luka
Yang aku tau
Rindu datang di balik rasa nyaman
Yang ditimbun penuh oleh jarak yang berlebihan
Aku tidak meminta lebih
Cukup hargai hati penggemar rindu ini
Sayangnya hatimu terlalu naif mengakuinya
Aku tidak berjanji untuk tidak meninggalkan
Tapi aku berjanji untuk memberi
dan menjadi yang terbaik saat kita bersama
Sayangnya, kebersamaan itu belum berpihak pada kita
Kadang perihal waktu bisa sebercanda itu,
Lambat ketika kita menunggu
Cepat ketika kita takut
Lama ketika kita sedih
Dan pendek ketika kita menikmati bahagia
Jangan munafik bahwa hatimu juga sedang mencumbu rindu
Ku harap kamu juga tidak sedang bercanda dengan karma kelabu
Ah entahlah
Terserah
Yang jelas aku merindumu
Rindu
Kau tau apa itu
Entahlah
Aku bahkan kesulitan
Untuk merangkainya dengan segala jenis bahasa
Ia datang
Menghujani hati yang gersang
Bukan untuk menyuburkan
Justru membuat hati semakin menjerit meronta semerbak luka
Yang aku tau
Rindu datang di balik rasa nyaman
Yang ditimbun penuh oleh jarak yang berlebihan
Aku tidak meminta lebih
Cukup hargai hati penggemar rindu ini
Sayangnya hatimu terlalu naif mengakuinya
Aku tidak berjanji untuk tidak meninggalkan
Tapi aku berjanji untuk memberi
dan menjadi yang terbaik saat kita bersama
Sayangnya, kebersamaan itu belum berpihak pada kita
Kadang perihal waktu bisa sebercanda itu,
Lambat ketika kita menunggu
Cepat ketika kita takut
Lama ketika kita sedih
Dan pendek ketika kita menikmati bahagia
Jangan munafik bahwa hatimu juga sedang mencumbu rindu
Ku harap kamu juga tidak sedang bercanda dengan karma kelabu
Ah entahlah
Terserah
Yang jelas aku merindumu
Langganan:
Postingan (Atom)