PERBANDINGAN
PEMIKIRAN TEOLOGI
TENTANG
SIFAT-SIFAT TUHAN
Makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah “Ilmu Kalam”
![]() |
Disusun
oleh:
SANTI
PURNAMASARI (1114116)
HANUM
NURRIKATUS S. (1114117)
Dosen pengampu:
Drs.
HARIS
HIDAYATULLOH
M.Hi
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI DARUL ‘ULUM
JOMBANG
2014
KATA
PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur penulis
panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan rahmat, taufiq dan
hidayah-Nya, penulis berhasil menyelesaikan makalah yang berjudul “PERBANDINGAN
PEMIKIRAN TEOLOGI TENTANG SIFAT-SIFAT TUHAN” ini.
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk
meningkatkan ilmu pengetahuan mengenai berbagai pendapat atau doktrin dari
berbagai aliran pencetus ilmu kalam khususnya hal-hal yang mengenai pemahaman dan
pendalaman sifat-sifat yang dimiliki Tuhan serta sebagai syarat dalam menempuh mata kuliah Ilmu Kalam di Universitas
Pesantren Tinggi Darul ‘Ulum Peterongan Jombang.
Penulis
menyadari bahwa hasil cipta suatu karya manusia itu tidaklah selalu sempurna.
Maka dari itu, saran dan kritik anda sangat kami harapkan dalam membangun
kesempurnaan hasil karya kami selanjutnya. Mohon maaf atas segala kekurangan.
Akhir kata wassalamualaikum wr. wb.
Semoga bermanfaat,
Desember 2014
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar belakang masalah
B.
Rumusan masalah
C.
Tujuan penulisan
D.
Manfaat penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A.
Aliran mu’tazilah
B.
Aliran asy’ariyah
C.
Aliran maturidyah
D.
Aliran syi’ah
E.
Aliran jabariyah
F.
Aliran qodariyah
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang masalah
Ilmu kalam biasa disebut ilmu ushuluhuddin, ilmu tauhid, fiqh al akbar
dan teologi islam.[1] Abu Hanifah menyebut ilmu
ini dengan fiqh al akbar. Menurut persepsinya, hukum islam yang dikenal
dengan istilah fiqh terbagi atas 2 bagian. Pertama, fiqh al akbar
yang membahas tentang keyakinan atau pokok-pokok agama atau ilmu tauhid. Kedua,
fiqh al ashgor yang membahas hal-hal yang berkaitan dengan masalah
muamalah bukan pokok-pkok agama tetapi hanya cabang saja. [2]
Menurut Harun Nasution, kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan
politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan Ustman bin Affan yang berbuntut
pada penolakan Muawwiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Tholib yang kemudian
menjadikan perang siffin antara Muawwiyah dan Ali bin Abi Tholib. Mereka
memandang Ali bin Abi Tholib telah berbuat salah, sehingga mereka meninggalkan
barisan Ali. Dalam sejarah islam, mereka yang telah meninggalkan barisan Ali
disebut golongan khawarij. Sedangkan mereka yang tetap setia dan mendukung Ali
disebut gologan syiah.
Harun lebih lanjut melihat bahwa persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan
siapa yang mukmin. Persoalan ini memunculkan 3 aliran dalam islam yaitu:
1) Aliran khawarij, mereka beranggapan bahwa orang yang
berdosa besar adalah kafir (murtad) dan wajib dibunuh.
2) Aliran murji’ah, mereka beranggapan bahwa orang yang
berdosa besar masih tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun saat dosa yang
dilakukannya, hal itu terserah Allah untuk mengampuni atau menghukumnya.
3) Aliran mu’tazilah tidaka menerima kedua pendapat di
atas, mereka beranggapan bahwa orang yang berdosa besar bukan kafir tetapi juga
bukan mukmin. Mereka mengambil posisi antara kafir dan mukmin yakni fasiq.
Dalam islam, timbul pula 2 aliran teologi yang terkenal yaitu qodariyah
dan jabariyah. Menurut qodariyah, manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak
dan perbuatannya. Adapun jabariyah berpendapat sebaliknya, manusia tidak
mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya.[3]
Aliran mu’tazilah yang bercorak rasional mendapat tantangan keras dari
golongan tradisional islam terutama golongan hanbali. Mereka yang menentang ini
kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisional yang dipelopori Abu Al
Hasan Al Asy’ari yaitu aliran asy’ariyah. Timbul pula aliran di Samarkand oleh
Abu Mansur M. Al Maturidi yaitu aliran
maturidiyah. Adapun yang masih ada sampai sekarang yakni aliran asy’ariyah dan
aliran maturidiyah yang keduanya disebut menjadi ahlusunnah al jamaah.
Dari pemunculan berbagai aliran yang sampai sekarang ini masih terdengar
di telinga. Kami mempunyai pemikiran untuk mengkaji berbagai pendapat atau
doktrin dari berbagai aliran teologi yang sudah ada tentang sifat-sifat tuhan.
Ide inilah yang menjadi topik utama pembahasan dalam makalah yang berjudul
“perbandingan pemikiran teologi tentang sifat-sifat tuhan”.
B.
Rumusan
masalah
Dari penjelasan
latar belakang masalah di atas. Muncul suatu permasalahan yang nantinya akan dibahas
pada bab selanjutnya. Diantaranya:
1. Bagaimana doktrin aliran mu’tazilah mengenai
sifat-sifat Tuhan?
2. Bagaimana doktrin aliran asy‘ariyah mengenai
sifat-sifat Tuhan?
3. Bagaimana doktrin aliran maturidiyah mengenai
sifat-sifat Tuhan?
4. Bagaimana doktrin aliran syi’ah mengenai sifat-sifat
Tuhan?
5. Bagaimana doktrin aliran jabariyah mengenai
sifat-sifat Tuhan?
6. Bagaimana doktrin aliran qodariyah mengenai
sifat-sifat Tuhan?
C.
Tujuan
penulisan
Pembuatan makalah
”Ilmu Kalam” yang membahas tentang perbandingan antar aliran mengenai
sifat-sifat tuhan memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui doktrin aliran mu’tazilah mengenai
sifat-sifat Tuhan.
2. Untuk mengetahui doktrin aliran asy‘ariyah mengenai
sifat-sifat Tuhan.
3. Untuk mengetahui doktrin aliran maturidiyah mengenai
sifat-sifat Tuhan.
4. Untuk mengetahui doktrin aliran syi’ah mengenai sifat-sifat Tuhan.
5. Untuk mengetahui doktrin aliran jabariyah mengenai sifat-sifat Tuhan.
6. Untuk mengetahui doktrin aliran qodariyah mengenai sifat-sifat Tuhan.
D.
Manfaat
penulisan
Dengan adanya makalah ini, bertambahlah wawasan kita terhadap ilmu pengetahuan
baru yang belum pernah terdengar oleh telinga dan dikenal oleh kita sebagai
makhluk tuhan, orang yang beragama islam dan beriman. Selain itu juga, kita
mampu mengetahui dan membedakan segala jenis perbedaan disetiap aliran yang ada
mengenai sifat-sifat yang dimiliki oleh tuhan, sehingga kita mampu memilih dan
memilah mana yang patut dianut dan mana yang patut ditinggalkan. Diantaranya
aliran mu’tazilah, asy’ariyah, maturidiyah, syi’ah, jabariyah, qodariyah,
khawarij dan murji’ah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Aliran
Mu’tazilah
Untuk mengetahui lebih jauh pandangan aliran Mu’tazilah tentang qudrat
dan iradat Tuhan, berikut ini akan dikemukakan pemikiran beberapa
tokohnya, yaitu:
a)
Washil bin Atha
sebagai pembangun aliran Muktazilah berpendapat bahwa, Tuhan tidak mempunyai
sifat di luar zat-Nya. Maksudnya bahwa, sifat Tuhan sebagai Maha Kuasa, Maha
Adil, Maha Mengetahui, dan lain-lain melekat pada zat-Nya.
b)
Abu Huzail
al-Allaf lebih memperjelas pendapat Washil di atas dengan berpendapat bahwa,
Tuhan Maha Mengetahui dan pengetahuan-Nya itu adalah zat-Nya, bukan sifat-Nya.
Demikian pula bahwa Tuhan adalah Maha Kuasa dan kekuasaan-Nya itu merupakan
zat-Nya, bukan sifat-Nya. Demikian seterusnya. Penekanan ini bertujuan untuk
menghindari adanya yang qadim selain Tuhan, sebab jika sifat itu melekat
di luar zat Tuhan, maka sifat-Nya itu juga qadim. Apabila terjadi banyak
yang qadim, maka akan membawa kepada kemusyrikan.
c)
Abu Ali
al-Jubba’i berpendapat bahwa, qudrat Tuhan adalah al-ahwal; sementara
al-ahwal tidak ada, tidak diketahui, tidak eternal, dan tidak temporal.
Semuanya itu berhubungan dengan zat-Nya, dan karenanya Tuhan Maha Mengetahui
dan Maha Kuasa melalui esensi-Nya.
Selanjutnya tentang
Tuhan, aliran Mu’tazilah mempunyai pandangan yang unik. Untuk lebih jelasnya,
berikut ini akan dikemukakan pendangan tokoh-tokohnya:
Washil
berpendapat bahwa letak keadilan dan kebijaksanaan Tuhan terdapat pada janji
dan ancaman-Nya. Tuhan menciptakan daya kepada manusia, dan manusia dalam
memanfaatkan daya itu dapat memilih untuk berbuat baik atau buruk. Sebagai
konsekuensi dari pertanggungjawaban terhadap perbuatannya, Tuhan menciptakan
surga dan neraka.
Untuk
melengkapi pendapat Washil di atas, Al-Allaf mengatakan bahwa Allah selalu
melakukan yang terbaik dan berbuat adil terhadap manusia. Meski Ia mampu
melakukan hal-hal yang tidak baik, tetapi mustahil akan melakukan-Nya. Dengan
demikian, kelaliman dan ketidakadilan yang terjadi di dunia ini hanyalah
perbuatan manusia, bukan perbuatan Tuhan.
Apa yang
dikemukakan oleh al-Allaf di atas semakin dipertegas oleh Ishaq Ibrahim Sayyar
al-Nazhzham bahwa Tuhan bukan hanya mustahil berbuat lalim terhadap hamba-Nya,
bahkan Tuhan tidak akan mempu melakukan hal tersebut. Yang melakukan kezaliman
dan ketidakadilan hanyalah orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan
jauh dari keadaan tersebut.
Dari pandangan
beberapa tokoh seperti yang dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa aliran
Muktazilah meniadakan sifat Tuhan. Kedudukan Tuhan sebagai Maha Kuasa, Maha
Adil, Maha Mengetahui, dan sebagainya, semuanya melekat pada zat-Nya bukan pada
sifat-Nya.
Mengenai qudrat
adalah Tuhan, menurut aliran Muktazilah, kedua hal itu tidak dapat dipisahkan.
Sunnatullah (hukum alam) yang diciptakan oleh Tuhan bertujuan untuk membatasi
ke-Mahakuasaan-Nya di atas dunia ini.
Selanjutnya,
mengenai perbuatan manusia, aliran Muktazilah lebih condong atau mirip dengan
konsep paham Qadariyah, yakni manusia bebas berbuat (yang baik atau buruk).
Dari hasil perbuatannya itu, Tuhan tidak akan mungkin atau bahkan tidak mampu
berbuat aniaya dalam membalas tingkah laku hamba-Nya itu, sebagai konsekuensi
dari keadilan Tuhan.
B.
Aliran
Asy‘ariyah
Aliran Asy'ariyah adalah aliran
yang mempunyai pandangan yang berbeda dengan Muktazilah dalam masalah qudrat,
iradat dan Tuhan. Hal tersebut akan terlihat pada pandangan tokoh-tokohnya
berikut ini:
Abu Hasan al-Asy’ari sebagai pendiri
aliran Asy'ariyah memandang bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat yang eternal dan
abadi. Sifat-sifat itu diteguhkan sebagaimana adanya, misalnya al-‘ilmu (Maha
Tahu), al-qudrah (Maha Kuasa), al-hayah (Maha Hidup), dan
sebagainya. Dalam kaitannya sifat qudrat-Nya, Allah mempunyai kekuatan
untuk berbuat dan tidak berbuat. Ia dapat bertindak semaunya terhadap
makhluknya, misalnya memasukkan ke surga orang kafir dan sebaliknya. Hal
tersebut tidak bertentangan dengan sifatnya sebagai al-‘adil (Maha
Adil).
Sifat
Tuhan itu adalah hal. Misalnya Tuhan Maha Kuasa bukan karena sifat-Nya, tetapi
keadaan Tuhan itu sendiri sebagai Maha Kuasa. Lebih lanjut al-Baqillani
mengatakan bahwa perbuatan manusia manusia tidak semata hanya qudrah Tuhan,
tetapi ada juga perbuatan yang berdasarkan pilihan manusia. Karenanya, kasb (daya)
bagi manusia mempunyai efek, meskipun tidak seluruhnya sebagaimana pandangan
Qadariyah dan Muktazilah.
Al-Juwaini
mempunyai pandangan tersendiri, ia berpendapat bahwa sifat-sifat Tuhan dapat
dkelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) sifat nafsiyyah, yaitu sifat itsbat
bagi zatyang selalu ada selama zat itu ada, misalnya qadim, baqa’,
qiyamuh bi nafsih, mukhalafah li al-hawadits, dan wahdaniyyah, (2)
sifat ma’nawiyah, yaitu sifat yang ada karena sesuatu yang ‘illat pada
zat, misalnya qudrah, murid, dan sebagainya.Lebih lanjut ia mengatakan
bahwa daya (kasb) bagi manusia mempunyai efek yang terdapat antara sebab
dan musabab.
Wujud
perbuatannya bergantung pada daya dan daya itu bergantung pada sebab lain,
yaitu Tuhan. Setelah melihat adanya penyimpangan dari kedua tokoh di atas
(al-Baqillani dan al-Juwaini), maka Abu Hamid al-Ghazali bangkit dan
megembalikan paham Asy'ariyah sebagaimana adanya. Jadi, pemikiran-pemikirannya
tidak berbeda dengan paham Abu Hasan al-Asy’ari, baik mengenai sifat-sifat
Tuhan maupun tenang perbuatan manusia.
Dari
uraian di atas menunjukkan bahwa pada prinsipnya aliran Asy’ariyah mengakui
adanya sifat-sifat Tuhan yang qadim, meskipun ada perbedaan pandangan di
kalangan tokohnya mengenai apakah sifat-sifat itu merupakan hal atau eternal.
Pandangan ini sangat bertentangan dengan konsep Muktazilah yang meniadakan
sifat-sifat Tuhan.
Demikian
pula tentang perbuatan manusia yang tidak terlepas dari qudrah Tuhan,
yakni daya manusia mempunyai efek dalam melakukan perbuatannya, tetapi daya itu
sangat kecil jika dibandingkan dengan daya Tuhan. Pandangan ini juga
bertentangan paham Qadariyah dan Muktazilah yang menyatakan bahwa perbuatan
manusia terlepas dari qudrah Tuhan. Meskipun demikian, paham Asy’ariyah
juga tidak sama dengan paham Jabariyah yang menyatakan bahwa daya manusia sama
sekali tidak ada efeknya dalam melakukan perbuatannya. Oleh karena itu, paham
Asy’ariyah merupakan sintesis (mutawassithah) yang berada diantara paham
Qadariyah dan Jabariyah.
C.
Aliran Maturidiyah
Tercatat
dalam sejarah pemikiran bahwa aliran Maturidiyah terbagi atas dua, yaitu
Maturidiyah Bukhara dan Maturidiyah Samarkand. Untuk lebih jelasnya akan dikemukakan
perbedaan antara kedua Maturidiyah tersebut.
Maturidiyah
Bukhara mempunyai pemikiran yang lebih dekat dengan paham Asy’ariyah tentang
kekuasaan Tuhan, yakni Tuhan mempunyai qudrah terhadap hamba-Nya. Maskipun
demikian, kedekatan itu tidak menunjukkan kesamaan persis, sebab dalam beberapa
hal mempunyai perbedaan. Paham Asy’ariyah menganggap bahwa Tuhan mempunyai
kekuasaan mutlak terhadap hamba-Nya, sedangkan bagi Maturidiyah Bukhara
kekuasaan Tuhan itu mempunyai batas-batas tertentu.
Dalam
hal perbuatan manusia misalnya, al-Bazdawi (tokoh Maturidiyah Bukhara)
berpendapat bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan, bukan ciptaan
manusia, tetapi manusialah yang melakukannya, bukan Tuhan.
Maturidiyah Samarkand mempunyai
paham yang lebih dekat dengan paham Muktazilah. Namun dalam hal konsep
kekuasaan Tuhan, Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa dalam perbuatan
manusia terdapat dua unsur, yaitu perbuatan Tuhan (khalq al-istitha’ah)
dan perbuatan manusia (isti’mal al-istitha’ah). Istitha’ah bagi
Muktazilah ada sebelum perbuatan dilaksanakan, sedangkan bagi Maturidiyah
Samarkand ada pada saat perbuatan dilaksanakan.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat dikatakan bahwa kalau aliran Asy’ariyah merupakan
sintesis antara paham Qadariyah dengan Jabariyah, dalam hal qudrah Tuhan
terhadap perbuatan manusia, maka aliran Maturidiyah adalah sintesis antara
paham Muktazilah dengan paham Asy’ariyah.
D.
Aliran Syi’ah
Sebagian besar tokoh syi’ah menolak bahwa Allah
senantiasa bersifat tahu. Sebagian besar dari mereka berpendapat bahwa Allah
tidak tahu terhadap sesuatu sebelum kemunculannya. Sebagian besar mereka
berpendapat bahwa Allah bersifat tidak tahu terhadap sesuatu sebelum ia
menghedakinya. Tatkala ia menghendaki sesuatu, ia pun bersifat tahu. Jika ia
tidak menghendaki, dia tidak bersifat tahu. Makna Allah berkehendak menurut
mereka adalah bahwa Allah mengeluarkan gerakan. Ketika gerakan itu muncul, ia
bersifat tahu terhadap sesuatu itu. Mereka berpendapat pula bahwa Allah
bersifat tahu terhadap sesuatu yang tidak ada.
Sebagian dari merka berpendapat bahwa pengetahuan
merupakan sifat dzat allah dan bahwa allah tahu tentang diri-Nya sendiri, hanya
saja ia tidak dapat disifati tahu terhdap sesuatu sebelum sesuatu itu ada. Jika
sesuatu tidak ada, maka tidak dapat dikatakan bahwa ia bersifat tahu sebab
tidak mungkin ia bersifat tahu terhadap sesuatu yang tidak ada wujudnya.
Pendapat ini dikemukakan oleh kelompok as-sakkiyyah.
Sebagian mereka berpendapat bahwa Allah senantiasa
mengetahui dan pengetahuannya itu merupakan dzatnya. Ia tidak dapat disifati
bersifat tahu terhadap sesuatu sebelum sesuatu itu ada, sebagaimana manusia
tidak dapat disifati melihat dan mendengar sesuatu sebelum bertemu dengan
sesuatu itu sendiri.
E.
Aliran
Jabariyah
Menurut aliran
Jabariyah, Tuhan mempunyai Kemahamutlakan terhadap semua makhluk ciptaannya.
Khusus kepada manusia, Tuhan menciptakan perbuatannya kepada manusia,
sebagaimana halnya gerak yang diciptakan Tuhan terhadap benda-benda mati,
seperti matahari terbit, hujan turun, air mengalir dan sebagainya.
Jabariyah
ekstrim, sebagaimana yang dipelopori oleh Jaham bin Shafwan, berpendapat bahwa
manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk bertindak. Segala perbuatannya
ditentukan oleh Tuhan. Manusia itu bagaikan wayang yang digerakkan dalangnya,
dan Tuhan-lah yang menjadi dalangnya. Tanpa gerak dari Tuhan, manusia tidak
bisa berbuat apa-apa.
Adapun Jabariyah moderat, sebagaimana
yang dipelopori oleh al-Husain bin Muhammad al-Najjar, berpendapat bahwa meski
Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia (baik atau buruk), tetapi manusia
mempunyai andil dalam perwujudan aktivitas tersebut. Jadi, manusia dan Tuhan
bekerja sama dalam mewujudkan perbuatan manusia.
F.
Aliran
Qadariyah
Aliran Qadariyah merupakan
kebalikan dari aliran Jabariyah. Aliran ini berasal dari Abu Yunus Sansaweh,
salah seorang penduduk Irak dari agama Kristen yang memeluk Islam, tetapi
kemudian murtad kembali. Pemikirannya ini kemudian diikuti oleh Ma’bad
al-Juwaini dan Ghailan al-Dimasyqi. Menurut aliran ini, Tuhan tidak mempunyai
andil dalam aktivitas manusia, tetapi manusia itu sendirilah yang menciptakan
dan menentukan perbuatannya.
Argumen
yang diajukan aliran ini, antara lain mengatakan bahwa kebebasan manusia dalam
bertindak, erat kaitannya dengan pertanggungjawaban terhadap Tuhan. Tanggung
jawab menghendaki kebebasan. Pemberian pahala atau dosa, tentu tidak relevan
jika manusia tidak aktif dalam bertindak.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Adapun yang dapat kita simpulkan dari pembahasan di atas adalah sebagai
berikut:
1) Aliran mu’tazilah berpendapat tuhan tidak memiliki
sifat.
لاَ تُدْ
رِ كُهُ الأَبْصَا رُ وَ هُوَ يُدْ رِ كُ الأَ بْصَا رَ وَ هُوَ الَطِيْفُ
الْخَبِيْرُ
“Ia tidak dapat dicapai pleh penglihatan mata, sedang
ia dapat melihat segala penglihatan itu dan dialah yang maha halus lagi maha
mengetahui.”(QS. Al An’am 103)
Aliran mu’tazilah memahami ayat ini sebagai
penjelasan bahwa tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala saja. Lafadz najy
yang terdapat dalam ayat tersebut ditujukan pada waktu dan tempat tertentu,
baik di dunia maupun di akhirat.[4]
وُ جُوْ هُ يَوْ مَئِدٍ نَا ضِرَ ةٌ.
اِلَى رَبِّهَا نَا ظِرَ ةٌ.
“Wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri Kepada tuhan-Nyalah
mereka melihat” (QS. Al Qiyamah
22-23)
Pemahaman aliran mu’tazilah terhadap ayat ini yaitu bukan berarti
memandang wajah tuhan, tetapi menunggu-nunggu balasan pahala yang akan
diberikan oleh tuhan.[5]
2) Aliran
asy’ariyah berpendapat tuhan memiliki sifat, namun sifat tuhan
sebagai sesuatu yang bukan dzat
melainkan melekat pada dzat itu sendiri.
اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّ كْرُ وَ اِنَّا لَهُ لَحَا
فِظُوْ نَ
“Sesungguhnya kamilah yang menurunkan alquran dan
sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.”[6] (QS. Al Hijr 9)
Ayat ini menyifati alquran dengan sesuatu
yang diturunkan. Menurut Abdul Al Jabbar, mestilah baharu. Apalagi hal itu
dihubungkan dengan pernyataan Allah wa inna lahu lahafidzun, berarti
alquran itu baru sebab bila alquran itu sesuatu yang qodim tentulah tidak
memerlukan pemeliharaan.
وُ جُوْ هُ يَوْ مَئِدٍ نَا ضِرَ ةٌ.
اِلَى رَبِّهَا نَا ظِرَ ةٌ.
“Wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri
Kepada tuhan-Nyalah mereka melihat” (QS. Al Qiyamah 22-23)
Ayat ini dipahami oleh asy’ari dengan melihat mata kepala. Kata nadziroh
tidak bermakna i’tibar (memperhatikan) atau intizar (menunggu), sebab kata
tersebut bila dituturkan dengan kata wajah mengandung makna melihat dengan
kedua mata yang terdapat pada wajah.
3) Aliran
maturidiyah berpendapat tuhan memiliki sifat, namun sifat tuhan
tidak dikatakan sebagai esensinya dan bukan dari esensinya. Sifat tuhan itu ada
bersama dzat tanpa terpisah (tuhan tidak memiliki sifat jasmani).
لاَ تُدْ
رِ كُهُ الأَبْصَا رُ وَ هُوَ يُدْ رِ كُ الأَ بْصَا رَ وَ هُوَ الَطِيْفُ
الْخَبِيْرُ
“Ia tidak dapat dicapai pleh penglihatan mata, sedang
ia dapat melihat segala penglihatan itu dan dialah yang maha halus lagi maha
mengetahui.” (QS. Al An’am 103)
Al
maturidi mengatakan bahwa tuhan kelak di akhirat bisa dilihat dengan mata,
karena tuhan mempunyai wujud walaupun ia immaterial. Namun melihat tuhan kelak
di akhirat tidak bentuknya, karena keadaan di akhirat beda dengan keadaan di
dunia.[7]
قَا
لَ يَإ بْلِيْسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ
اَسْتَكْبَرْتَ اَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَا لِيْنَ
Allah berfirman: “Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada
yang telah kuciptakan dengan kedua
tanganku. Apakah kamu
menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih)
tinggi?” (QS. Shad 75)
اَ نِ ا قْذِ فِيْهِ التَّا بُوْ تِ فَا قْذِ فِيْهِ فِى
اليَمِّ فَللْيُلْقِهِ اليَمُّ بِالسَّا حِلِ يَأْ خُذْ هُ عَدُوُّ لِّى وَ عَدُ
وُّ لَهُ. وَ اَ لْقَيْتُ عَلَيْكَ مَحَبًّةً مِّنِّى وَ لِتُصْنَعَ عَلَى عَيْنِى
Yaitu: “Letakkanlah ia (Musa) didalam peti, kemudian
lemparkanlah ia ke sungai (Nil), maka pasti sungai itu membawanya ke tepi,
supaya diambil oleh (Fir’aun) musuh-Ku dan musuhnya. Dan Aku telah melimpahkan
kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku[8], dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku.“ (QS. At Thaha 39)
4) Aliran syi’ah berpendapat tuhan mengalami banyak perubahan. Sebagian mereka
beranggapan bahwa Allah memerintahkan sesuatu lalu mengubahnya. Terkadang pula
ia menghendaki melakukan sesuatu lalu mengubahnya. Terkadang pula ia
menghendaki lalu mengurungkannya karena ada perubahan pada dirinya. Perubahan
ini bukan dalam arti nash tetapi dalam arti bahwa pada waktu yang pertama ia
tidak tahu apa yang bakal terjadi pada waktu yang kedua[9]
(seolah-olah sifat tuhan sama dengan sifat manusia).
5) Aliran
jabariyah berpendapat Allah tidak mempunyai sifat yang serupa
dengan makhluk seperti berbicara, melihat dan mendengar.[10]
Salah satu tokoh aliran jabariyah, An Najjah berkata bahwa tuhan tidak dapat
dilihat di akhirat, akan tetapi tuhan dapat saja memindahkan potensi hati
(ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat tuhan.[11]
قَا لُوْا بْنُوْا لَهُ بُنْيَنًا فَأَ لْقُو هُ فِى الْجَحِيْمِ
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat
itu”. (QS. As Shaffat 97)
وَ مَا تَشَا ءُ وْ نَ إِلاَّ اَنْ
يَشَا ءَ الْلَّهُ. اِنَّ الْلَّهَ كَا نَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki
Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS.
Al Insan 30)
6) Aliran
qodariyah berpendapat Allah mempunyai sifat yang serupa
dengan makhluk.
اِنَّ الْلَّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا
بِقَوْ مٍ حَتَّى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَ نْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum kecuali mereka
merubah keadaan yang
ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar Ra’d 11)
وَ مَنْ يَكْسِبٌ اِثْمًا فَإِ نَّمَا
يَكْسِبُهُ عَلَى نَفْسِهِ. وَ كَا نَ الْلَّهَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا
“Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia
mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana.” (QS. An Nisa’ 111)
B.
Saran
Sudah
sepantasnya kita sebagai orang Islam mengetahui adanya aliran-aliran dalam
Islam, dan mungkin makalah ini sangat bermanfaat bagi kita untuk dijadikan
sebagai pegangan dalam pembelajaran tentang ilmu kalam atau tentang ketuhanan,
apalagi kita berada di lingkungan bebas yang terdapat banyak aliran-aliran dan
pemikiran menyimpang.
DAFTAR PUSTAKA
Al Asy’ari. 2000. Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Teologi Islam,
buku 2. (Terj.) Rosihon Anwar dan Taufiq Rohman. Bandung: Pustaka Setia
Ar Raziq, Mustofa Abd. 1959. Tahmid Lil Tarikh Al Falsafah Al
Islamiyah. tk.: Lajnah Wa At Tha’lif Wa At Tarjamah Wa An Nasy
Asy-Syahratsani. t.th. Al Milal Wa An Nihal. Beirut: Darul
Fikr
Rozaq, Abdul, Rosihan Anwar. 2012. Ilmu Kalam. Bandung:
Pustaka Setia
Watt, W. Montgomery. t.th. Pemikiran Teologi Dan Filsafat Islam.
(Terj.) Umar Basalim. Jakarta: P2M.
Yusuf, M. Yunan. 1990. Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam.
tk.: Perkasa Jakarta
[1] Mustofa Abd Ar Raziq, Tahmid Lil Tarikh Al
Falsafah Al Islamiyah, (tk.: Lajnah Wa At Tha’lif Wa At Tarjamah Wa An
Nasy, 1959), 265
[2] Ibid., 268
[3] W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi Dan
Filsafat Islam, (Terj.) Umar Basalim, (Jakarta: P2M, t.th) , 9
[4] Abdul Rozaq,
Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2012) , 171
[6] M. Yunan
Yusuf, Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam, (tk.: Perkasa Jakarta, 1990),
101
[7] Abdul Rozaq, op.
cit, 129
[8] Maksudnya setiap orang yang memandang Nabi Musa as akan merasa
kasih sayang kepadanya.
[9] Al Asy’ari, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran
Teologi Islam, buku 2, (terj.) Rosihon Anwar dan Taufiq Rohman, (Bandung: Pustaka
Setia, 2000), 204
[10] Abdul rozaq, op.
cit., 68
[11]
Asy-Syahratsani, Al Milal Wa An Nihal, (Beirut: Darul Fikr, t.th), 89
Tidak ada komentar:
Posting Komentar