Rabu, 08 Februari 2017

PERBANDINGAN PEMIKIRAN TEOLOGI TENTANG SIFAT-SIFAT TUHAN



PERBANDINGAN PEMIKIRAN TEOLOGI
TENTANG SIFAT-SIFAT TUHAN
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Ilmu Kalam”




http://static.panoramio.com/photos/large/9640980.jpg
 












Disusun oleh:
SANTI PURNAMASARI                (1114116)
HANUM NURRIKATUS S.                       (1114117)


Dosen pengampu:
Drs. HARIS HIDAYATULLOH M.Hi


PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI DARUL ‘ULUM
JOMBANG
2014


KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, penulis berhasil menyelesaikan makalah yang berjudul “PERBANDINGAN PEMIKIRAN TEOLOGI TENTANG SIFAT-SIFAT TUHAN” ini.
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan ilmu pengetahuan mengenai berbagai pendapat atau doktrin dari berbagai aliran pencetus ilmu kalam khususnya hal-hal yang mengenai pemahaman dan pendalaman sifat-sifat yang dimiliki Tuhan serta sebagai syarat dalam menempuh mata kuliah Ilmu Kalam di Universitas Pesantren Tinggi Darul ‘Ulum Peterongan Jombang.
Penulis menyadari bahwa hasil cipta suatu karya manusia itu tidaklah selalu sempurna. Maka dari itu, saran dan kritik anda sangat kami harapkan dalam membangun kesempurnaan hasil karya kami selanjutnya. Mohon maaf atas segala kekurangan. Akhir kata wassalamualaikum wr. wb.



Semoga bermanfaat,
Desember 2014


Penulis


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar belakang masalah
B.     Rumusan masalah
C.     Tujuan penulisan
D.    Manfaat penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A.    Aliran mu’tazilah
B.     Aliran asy’ariyah
C.     Aliran maturidyah
D.    Aliran syi’ah
E.     Aliran jabariyah
F.      Aliran qodariyah
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan
B.     Saran
DAFTAR PUSTAKA



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang masalah
Ilmu kalam biasa disebut ilmu ushuluhuddin, ilmu tauhid, fiqh al akbar dan teologi islam.[1] Abu Hanifah menyebut ilmu ini dengan fiqh al akbar. Menurut persepsinya, hukum islam yang dikenal dengan istilah fiqh terbagi atas 2 bagian. Pertama, fiqh al akbar yang membahas tentang keyakinan atau pokok-pokok agama atau ilmu tauhid. Kedua, fiqh al ashgor yang membahas hal-hal yang berkaitan dengan masalah muamalah bukan pokok-pkok agama tetapi hanya cabang saja. [2]
Menurut Harun Nasution, kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan Ustman bin Affan yang berbuntut pada penolakan Muawwiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Tholib yang kemudian menjadikan perang siffin antara Muawwiyah dan Ali bin Abi Tholib. Mereka memandang Ali bin Abi Tholib telah berbuat salah, sehingga mereka meninggalkan barisan Ali. Dalam sejarah islam, mereka yang telah meninggalkan barisan Ali disebut golongan khawarij. Sedangkan mereka yang tetap setia dan mendukung Ali disebut gologan syiah.
Harun lebih lanjut melihat bahwa persoalan kalam yang pertama kali  muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang mukmin. Persoalan ini memunculkan 3 aliran dalam islam yaitu:
1)      Aliran khawarij, mereka beranggapan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir (murtad) dan wajib dibunuh.
2)      Aliran murji’ah, mereka beranggapan bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun saat dosa yang dilakukannya, hal itu terserah Allah untuk mengampuni atau menghukumnya.
3)      Aliran mu’tazilah tidaka menerima kedua pendapat di atas, mereka beranggapan bahwa orang yang berdosa besar bukan kafir tetapi juga bukan mukmin. Mereka mengambil posisi antara kafir dan mukmin yakni fasiq.
Dalam islam, timbul pula 2 aliran teologi yang terkenal yaitu qodariyah dan jabariyah. Menurut qodariyah, manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Adapun jabariyah berpendapat sebaliknya, manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya.[3]
Aliran mu’tazilah yang bercorak rasional mendapat tantangan keras dari golongan tradisional islam terutama golongan hanbali. Mereka yang menentang ini kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisional yang dipelopori Abu Al Hasan Al Asy’ari yaitu aliran asy’ariyah. Timbul pula aliran di Samarkand oleh Abu Mansur M. Al Maturidi  yaitu aliran maturidiyah. Adapun yang masih ada sampai sekarang yakni aliran asy’ariyah dan aliran maturidiyah yang keduanya disebut menjadi ahlusunnah al jamaah.
Dari pemunculan berbagai aliran yang sampai sekarang ini masih terdengar di telinga. Kami mempunyai pemikiran untuk mengkaji berbagai pendapat atau doktrin dari berbagai aliran teologi yang sudah ada tentang sifat-sifat tuhan. Ide inilah yang menjadi topik utama pembahasan dalam makalah yang berjudul “perbandingan pemikiran teologi tentang sifat-sifat tuhan”.

B.     Rumusan masalah
Dari penjelasan latar belakang masalah di atas. Muncul suatu permasalahan yang nantinya akan dibahas pada bab selanjutnya. Diantaranya:
1.      Bagaimana doktrin aliran mu’tazilah mengenai sifat-sifat Tuhan?
2.      Bagaimana doktrin aliran asy‘ariyah mengenai sifat-sifat Tuhan?
3.      Bagaimana doktrin aliran maturidiyah mengenai sifat-sifat Tuhan?
4.      Bagaimana doktrin aliran syi’ah mengenai sifat-sifat Tuhan?
5.      Bagaimana doktrin aliran jabariyah mengenai sifat-sifat Tuhan?
6.      Bagaimana doktrin aliran qodariyah mengenai sifat-sifat Tuhan?

C.    Tujuan penulisan
Pembuatan makalah ”Ilmu Kalam” yang membahas tentang perbandingan antar aliran mengenai sifat-sifat tuhan memiliki tujuan sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui doktrin aliran mu’tazilah mengenai sifat-sifat Tuhan.
2.      Untuk mengetahui doktrin aliran asy‘ariyah mengenai sifat-sifat Tuhan.
3.      Untuk mengetahui doktrin aliran maturidiyah mengenai sifat-sifat Tuhan.
4.      Untuk mengetahui doktrin aliran  syi’ah mengenai sifat-sifat Tuhan.
5.      Untuk mengetahui doktrin aliran  jabariyah mengenai sifat-sifat Tuhan.
6.      Untuk mengetahui doktrin aliran  qodariyah mengenai sifat-sifat Tuhan.

D.    Manfaat penulisan
Dengan adanya makalah ini, bertambahlah wawasan kita terhadap ilmu pengetahuan baru yang belum pernah terdengar oleh telinga dan dikenal oleh kita sebagai makhluk tuhan, orang yang beragama islam dan beriman. Selain itu juga, kita mampu mengetahui dan membedakan segala jenis perbedaan disetiap aliran yang ada mengenai sifat-sifat yang dimiliki oleh tuhan, sehingga kita mampu memilih dan memilah mana yang patut dianut dan mana yang patut ditinggalkan. Diantaranya aliran mu’tazilah, asy’ariyah, maturidiyah, syi’ah, jabariyah, qodariyah, khawarij dan murji’ah.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Aliran Mu’tazilah
Untuk mengetahui lebih jauh pandangan aliran Mu’tazilah tentang qudrat dan iradat Tuhan, berikut ini akan dikemukakan pemikiran beberapa tokohnya, yaitu:
a)      Washil bin Atha sebagai pembangun aliran Muktazilah berpendapat bahwa, Tuhan tidak mempunyai sifat di luar zat-Nya. Maksudnya bahwa, sifat Tuhan sebagai Maha Kuasa, Maha Adil, Maha Mengetahui, dan lain-lain melekat pada zat-Nya.
b)      Abu Huzail al-Allaf lebih memperjelas pendapat Washil di atas dengan berpendapat bahwa, Tuhan Maha Mengetahui dan pengetahuan-Nya itu adalah zat-Nya, bukan sifat-Nya. Demikian pula bahwa Tuhan adalah Maha Kuasa dan kekuasaan-Nya itu merupakan zat-Nya, bukan sifat-Nya. Demikian seterusnya. Penekanan ini bertujuan untuk menghindari adanya yang qadim selain Tuhan, sebab jika sifat itu melekat di luar zat Tuhan, maka sifat-Nya itu juga qadim. Apabila terjadi banyak yang qadim, maka akan membawa kepada kemusyrikan.
c)      Abu Ali al-Jubba’i berpendapat bahwa, qudrat Tuhan adalah al-ahwal; sementara al-ahwal tidak ada, tidak diketahui, tidak eternal, dan tidak temporal. Semuanya itu berhubungan dengan zat-Nya, dan karenanya Tuhan Maha Mengetahui dan Maha Kuasa melalui esensi-Nya.
Selanjutnya tentang Tuhan, aliran Mu’tazilah mempunyai pandangan yang unik. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dikemukakan pendangan tokoh-tokohnya:
Washil berpendapat bahwa letak keadilan dan kebijaksanaan Tuhan terdapat pada janji dan ancaman-Nya. Tuhan menciptakan daya kepada manusia, dan manusia dalam memanfaatkan daya itu dapat memilih untuk berbuat baik atau buruk. Sebagai konsekuensi dari pertanggungjawaban terhadap perbuatannya, Tuhan menciptakan surga dan neraka.
Untuk melengkapi pendapat Washil di atas, Al-Allaf mengatakan bahwa Allah selalu melakukan yang terbaik dan berbuat adil terhadap manusia. Meski Ia mampu melakukan hal-hal yang tidak baik, tetapi mustahil akan melakukan-Nya. Dengan demikian, kelaliman dan ketidakadilan yang terjadi di dunia ini hanyalah perbuatan manusia, bukan perbuatan Tuhan.
Apa yang dikemukakan oleh al-Allaf di atas semakin dipertegas oleh Ishaq Ibrahim Sayyar al-Nazhzham bahwa Tuhan bukan hanya mustahil berbuat lalim terhadap hamba-Nya, bahkan Tuhan tidak akan mempu melakukan hal tersebut. Yang melakukan kezaliman dan ketidakadilan hanyalah orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan tersebut.
Dari pandangan beberapa tokoh seperti yang dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa aliran Muktazilah meniadakan sifat Tuhan. Kedudukan Tuhan sebagai Maha Kuasa, Maha Adil, Maha Mengetahui, dan sebagainya, semuanya melekat pada zat-Nya bukan pada sifat-Nya.
Mengenai qudrat adalah Tuhan, menurut aliran Muktazilah, kedua hal itu tidak dapat dipisahkan. Sunnatullah (hukum alam) yang diciptakan oleh Tuhan bertujuan untuk membatasi ke-Mahakuasaan-Nya di atas dunia ini.
Selanjutnya, mengenai perbuatan manusia, aliran Muktazilah lebih condong atau mirip dengan konsep paham Qadariyah, yakni manusia bebas berbuat (yang baik atau buruk). Dari hasil perbuatannya itu, Tuhan tidak akan mungkin atau bahkan tidak mampu berbuat aniaya dalam membalas tingkah laku hamba-Nya itu, sebagai konsekuensi dari keadilan Tuhan.

B.     Aliran Asy‘ariyah
Aliran Asy'ariyah adalah aliran yang mempunyai pandangan yang berbeda dengan Muktazilah dalam masalah qudrat, iradat dan Tuhan. Hal tersebut akan terlihat pada pandangan tokoh-tokohnya berikut ini:
Abu Hasan al-Asy’ari sebagai pendiri aliran Asy'ariyah memandang bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat yang eternal dan abadi. Sifat-sifat itu diteguhkan sebagaimana adanya, misalnya al-‘ilmu (Maha Tahu), al-qudrah (Maha Kuasa), al-hayah (Maha Hidup), dan sebagainya. Dalam kaitannya sifat qudrat-Nya, Allah mempunyai kekuatan untuk berbuat dan tidak berbuat. Ia dapat bertindak semaunya terhadap makhluknya, misalnya memasukkan ke surga orang kafir dan sebaliknya. Hal tersebut tidak bertentangan dengan sifatnya sebagai al-‘adil (Maha Adil).
Sifat Tuhan itu adalah hal. Misalnya Tuhan Maha Kuasa bukan karena sifat-Nya, tetapi keadaan Tuhan itu sendiri sebagai Maha Kuasa. Lebih lanjut al-Baqillani mengatakan bahwa perbuatan manusia manusia tidak semata hanya qudrah Tuhan, tetapi ada juga perbuatan yang berdasarkan pilihan manusia. Karenanya, kasb (daya) bagi manusia mempunyai efek, meskipun tidak seluruhnya sebagaimana pandangan Qadariyah dan Muktazilah.
Al-Juwaini mempunyai pandangan tersendiri, ia berpendapat bahwa sifat-sifat Tuhan dapat dkelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) sifat nafsiyyah, yaitu sifat itsbat bagi zatyang selalu ada selama zat itu ada, misalnya qadim, baqa’, qiyamuh bi nafsih, mukhalafah li al-hawadits, dan wahdaniyyah, (2) sifat ma’nawiyah, yaitu sifat yang ada karena sesuatu yang ‘illat pada zat, misalnya qudrah, murid, dan sebagainya.Lebih lanjut ia mengatakan bahwa daya (kasb) bagi manusia mempunyai efek yang terdapat antara sebab dan musabab.
Wujud perbuatannya bergantung pada daya dan daya itu bergantung pada sebab lain, yaitu Tuhan. Setelah melihat adanya penyimpangan dari kedua tokoh di atas (al-Baqillani dan al-Juwaini), maka Abu Hamid al-Ghazali bangkit dan megembalikan paham Asy'ariyah sebagaimana adanya. Jadi, pemikiran-pemikirannya tidak berbeda dengan paham Abu Hasan al-Asy’ari, baik mengenai sifat-sifat Tuhan maupun tenang perbuatan manusia.
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa pada prinsipnya aliran Asy’ariyah mengakui adanya sifat-sifat Tuhan yang qadim, meskipun ada perbedaan pandangan di kalangan tokohnya mengenai apakah sifat-sifat itu merupakan hal atau eternal. Pandangan ini sangat bertentangan dengan konsep Muktazilah yang meniadakan sifat-sifat Tuhan.
Demikian pula tentang perbuatan manusia yang tidak terlepas dari qudrah Tuhan, yakni daya manusia mempunyai efek dalam melakukan perbuatannya, tetapi daya itu sangat kecil jika dibandingkan dengan daya Tuhan. Pandangan ini juga bertentangan paham Qadariyah dan Muktazilah yang menyatakan bahwa perbuatan manusia terlepas dari qudrah Tuhan. Meskipun demikian, paham Asy’ariyah juga tidak sama dengan paham Jabariyah yang menyatakan bahwa daya manusia sama sekali tidak ada efeknya dalam melakukan perbuatannya. Oleh karena itu, paham Asy’ariyah merupakan sintesis (mutawassithah) yang berada diantara paham Qadariyah dan Jabariyah.

C.    Aliran Maturidiyah
Tercatat dalam sejarah pemikiran bahwa aliran Maturidiyah terbagi atas dua, yaitu Maturidiyah Bukhara dan Maturidiyah Samarkand. Untuk lebih jelasnya akan dikemukakan perbedaan antara kedua Maturidiyah tersebut.
Maturidiyah Bukhara mempunyai pemikiran yang lebih dekat dengan paham Asy’ariyah tentang kekuasaan Tuhan, yakni Tuhan mempunyai qudrah terhadap hamba-Nya. Maskipun demikian, kedekatan itu tidak menunjukkan kesamaan persis, sebab dalam beberapa hal mempunyai perbedaan. Paham Asy’ariyah menganggap bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap hamba-Nya, sedangkan bagi Maturidiyah Bukhara kekuasaan Tuhan itu mempunyai batas-batas tertentu.
Dalam hal perbuatan manusia misalnya, al-Bazdawi (tokoh Maturidiyah Bukhara) berpendapat bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan, bukan ciptaan manusia, tetapi manusialah yang melakukannya, bukan Tuhan.
Maturidiyah Samarkand mempunyai paham yang lebih dekat dengan paham Muktazilah. Namun dalam hal konsep kekuasaan Tuhan, Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa dalam perbuatan manusia terdapat dua unsur, yaitu perbuatan Tuhan (khalq al-istitha’ah) dan perbuatan manusia (isti’mal al-istitha’ah). Istitha’ah bagi Muktazilah ada sebelum perbuatan dilaksanakan, sedangkan bagi Maturidiyah Samarkand ada pada saat perbuatan dilaksanakan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa kalau aliran Asy’ariyah merupakan sintesis antara paham Qadariyah dengan Jabariyah, dalam hal qudrah Tuhan terhadap perbuatan manusia, maka aliran Maturidiyah adalah sintesis antara paham Muktazilah dengan paham Asy’ariyah.

D.    Aliran Syi’ah
Sebagian besar tokoh syi’ah menolak bahwa Allah senantiasa bersifat tahu. Sebagian besar dari mereka berpendapat bahwa Allah tidak tahu terhadap sesuatu sebelum kemunculannya. Sebagian besar mereka berpendapat bahwa Allah bersifat tidak tahu terhadap sesuatu sebelum ia menghedakinya. Tatkala ia menghendaki sesuatu, ia pun bersifat tahu. Jika ia tidak menghendaki, dia tidak bersifat tahu. Makna Allah berkehendak menurut mereka adalah bahwa Allah mengeluarkan gerakan. Ketika gerakan itu muncul, ia bersifat tahu terhadap sesuatu itu. Mereka berpendapat pula bahwa Allah bersifat tahu terhadap sesuatu yang tidak ada.
Sebagian dari merka berpendapat bahwa pengetahuan merupakan sifat dzat allah dan bahwa allah tahu tentang diri-Nya sendiri, hanya saja ia tidak dapat disifati tahu terhdap sesuatu sebelum sesuatu itu ada. Jika sesuatu tidak ada, maka tidak dapat dikatakan bahwa ia bersifat tahu sebab tidak mungkin ia bersifat tahu terhadap sesuatu yang tidak ada wujudnya. Pendapat ini dikemukakan oleh kelompok as-sakkiyyah.
Sebagian mereka berpendapat bahwa Allah senantiasa mengetahui dan pengetahuannya itu merupakan dzatnya. Ia tidak dapat disifati bersifat tahu terhadap sesuatu sebelum sesuatu itu ada, sebagaimana manusia tidak dapat disifati melihat dan mendengar sesuatu sebelum bertemu dengan sesuatu itu sendiri.

E.     Aliran Jabariyah
Menurut aliran Jabariyah, Tuhan mempunyai Kemahamutlakan terhadap semua makhluk ciptaannya. Khusus kepada manusia, Tuhan menciptakan perbuatannya kepada manusia, sebagaimana halnya gerak yang diciptakan Tuhan terhadap benda-benda mati, seperti matahari terbit, hujan turun, air mengalir dan sebagainya.
Jabariyah ekstrim, sebagaimana yang dipelopori oleh Jaham bin Shafwan, berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk bertindak. Segala perbuatannya ditentukan oleh Tuhan. Manusia itu bagaikan wayang yang digerakkan dalangnya, dan Tuhan-lah yang menjadi dalangnya. Tanpa gerak dari Tuhan, manusia tidak bisa berbuat apa-apa.
Adapun Jabariyah moderat, sebagaimana yang dipelopori oleh al-Husain bin Muhammad al-Najjar, berpendapat bahwa meski Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia (baik atau buruk), tetapi manusia mempunyai andil dalam perwujudan aktivitas tersebut. Jadi, manusia dan Tuhan bekerja sama dalam mewujudkan perbuatan manusia.

F.     Aliran Qadariyah
Aliran Qadariyah merupakan kebalikan dari aliran Jabariyah. Aliran ini berasal dari Abu Yunus Sansaweh, salah seorang penduduk Irak dari agama Kristen yang memeluk Islam, tetapi kemudian murtad kembali. Pemikirannya ini kemudian diikuti oleh Ma’bad al-Juwaini dan Ghailan al-Dimasyqi. Menurut aliran ini, Tuhan tidak mempunyai andil dalam aktivitas manusia, tetapi manusia itu sendirilah yang menciptakan dan menentukan perbuatannya.
Argumen yang diajukan aliran ini, antara lain mengatakan bahwa kebebasan manusia dalam bertindak, erat kaitannya dengan pertanggungjawaban terhadap Tuhan. Tanggung jawab menghendaki kebebasan. Pemberian pahala atau dosa, tentu tidak relevan jika manusia tidak aktif dalam bertindak.




      


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Adapun yang dapat kita simpulkan dari pembahasan di atas adalah sebagai berikut:
1)      Aliran mu’tazilah berpendapat tuhan tidak memiliki sifat.
لاَ تُدْ رِ كُهُ الأَبْصَا رُ وَ هُوَ يُدْ رِ كُ الأَ بْصَا رَ وَ هُوَ الَطِيْفُ الْخَبِيْرُ
Ia tidak dapat dicapai pleh penglihatan mata, sedang ia dapat melihat segala penglihatan itu dan dialah yang maha halus lagi maha mengetahui.”(QS. Al An’am 103)
Aliran mu’tazilah memahami ayat ini sebagai penjelasan bahwa tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala saja. Lafadz najy yang terdapat dalam ayat tersebut ditujukan pada waktu dan tempat tertentu, baik di dunia maupun di akhirat.[4]
وُ جُوْ هُ يَوْ مَئِدٍ نَا ضِرَ ةٌ. اِلَى رَبِّهَا نَا ظِرَ ةٌ.
Wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri Kepada tuhan-Nyalah mereka melihat” (QS. Al Qiyamah 22-23)
Pemahaman aliran mu’tazilah terhadap ayat ini yaitu bukan berarti memandang wajah tuhan, tetapi menunggu-nunggu balasan pahala yang akan diberikan oleh tuhan.[5]
2)      Aliran asy’ariyah berpendapat tuhan memiliki sifat, namun sifat tuhan sebagai sesuatu yang  bukan dzat melainkan melekat pada dzat itu sendiri.
اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّ كْرُ وَ اِنَّا لَهُ لَحَا فِظُوْ نَ
Sesungguhnya kamilah yang menurunkan alquran dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.”[6] (QS. Al Hijr 9)
Ayat ini menyifati alquran dengan sesuatu yang diturunkan. Menurut Abdul Al Jabbar, mestilah baharu. Apalagi hal itu dihubungkan dengan pernyataan Allah wa inna lahu lahafidzun, berarti alquran itu baru sebab bila alquran itu sesuatu yang qodim tentulah tidak memerlukan pemeliharaan.
وُ جُوْ هُ يَوْ مَئِدٍ نَا ضِرَ ةٌ. اِلَى رَبِّهَا نَا ظِرَ ةٌ.
Wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri Kepada tuhan-Nyalah mereka melihat” (QS. Al Qiyamah 22-23)
Ayat ini dipahami oleh asy’ari dengan melihat mata kepala. Kata nadziroh tidak bermakna i’tibar (memperhatikan) atau intizar (menunggu), sebab kata tersebut bila dituturkan dengan kata wajah mengandung makna melihat dengan kedua mata yang terdapat pada wajah.
3)      Aliran maturidiyah berpendapat tuhan memiliki sifat, namun sifat tuhan tidak dikatakan sebagai esensinya dan bukan dari esensinya. Sifat tuhan itu ada bersama dzat tanpa terpisah (tuhan tidak memiliki sifat jasmani).
لاَ تُدْ رِ كُهُ الأَبْصَا رُ وَ هُوَ يُدْ رِ كُ الأَ بْصَا رَ وَ هُوَ الَطِيْفُ الْخَبِيْرُ
Ia tidak dapat dicapai pleh penglihatan mata, sedang ia dapat melihat segala penglihatan itu dan dialah yang maha halus lagi maha mengetahui.” (QS. Al An’am 103)
Al maturidi mengatakan bahwa tuhan kelak di akhirat bisa dilihat dengan mata, karena tuhan mempunyai wujud walaupun ia immaterial. Namun melihat tuhan kelak di akhirat tidak bentuknya, karena keadaan di akhirat beda dengan keadaan di dunia.[7]
قَا لَ يَإ بْلِيْسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ اَسْتَكْبَرْتَ اَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَا لِيْنَ
Allah berfirman: “Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah kuciptakan dengan kedua tanganku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?” (QS. Shad 75)
اَ نِ ا قْذِ فِيْهِ التَّا بُوْ تِ فَا قْذِ فِيْهِ فِى اليَمِّ فَللْيُلْقِهِ اليَمُّ بِالسَّا حِلِ يَأْ خُذْ هُ عَدُوُّ لِّى وَ عَدُ وُّ لَهُ. وَ اَ لْقَيْتُ عَلَيْكَ مَحَبًّةً مِّنِّى وَ لِتُصْنَعَ عَلَى عَيْنِى
Yaitu: “Letakkanlah ia (Musa) didalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Fir’aun) musuh-Ku dan musuhnya. Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku[8], dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku.“ (QS. At Thaha 39)
4)      Aliran syi’ah berpendapat tuhan mengalami banyak perubahan. Sebagian mereka beranggapan bahwa Allah memerintahkan sesuatu lalu mengubahnya. Terkadang pula ia menghendaki melakukan sesuatu lalu mengubahnya. Terkadang pula ia menghendaki lalu mengurungkannya karena ada perubahan pada dirinya. Perubahan ini bukan dalam arti nash tetapi dalam arti bahwa pada waktu yang pertama ia tidak tahu apa yang bakal terjadi pada waktu yang kedua[9] (seolah-olah sifat tuhan sama dengan sifat manusia).
5)      Aliran jabariyah berpendapat Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk seperti berbicara, melihat dan mendengar.[10] Salah satu tokoh aliran jabariyah, An Najjah berkata bahwa tuhan tidak dapat dilihat di akhirat, akan tetapi tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat tuhan.[11]
قَا لُوْا بْنُوْا لَهُ بُنْيَنًا فَأَ لْقُو هُ فِى الْجَحِيْمِ
Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. (QS. As Shaffat 97)
وَ مَا تَشَا ءُ وْ نَ إِلاَّ اَنْ يَشَا ءَ الْلَّهُ. اِنَّ الْلَّهَ كَا نَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا
Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Insan 30)
6)      Aliran qodariyah berpendapat Allah mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk.
اِنَّ الْلَّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْ مٍ حَتَّى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَ نْفُسِهِمْ
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum kecuali mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar Ra’d 11)
وَ مَنْ يَكْسِبٌ اِثْمًا فَإِ نَّمَا يَكْسِبُهُ عَلَى نَفْسِهِ. وَ كَا نَ الْلَّهَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا
Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An Nisa’ 111)

B.     Saran
Sudah sepantasnya kita sebagai orang Islam mengetahui adanya aliran-aliran dalam Islam, dan mungkin makalah ini sangat bermanfaat bagi kita untuk dijadikan sebagai pegangan dalam pembelajaran tentang ilmu kalam atau tentang ketuhanan, apalagi kita berada di lingkungan bebas yang terdapat banyak aliran-aliran dan pemikiran menyimpang.



DAFTAR PUSTAKA

Al Asy’ari. 2000. Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Teologi Islam, buku 2. (Terj.) Rosihon Anwar dan Taufiq Rohman. Bandung: Pustaka Setia

Ar Raziq, Mustofa Abd. 1959. Tahmid Lil Tarikh Al Falsafah Al Islamiyah. tk.: Lajnah Wa At Tha’lif Wa At Tarjamah Wa An Nasy

Asy-Syahratsani. t.th. Al Milal Wa An Nihal. Beirut: Darul Fikr

Rozaq, Abdul, Rosihan Anwar. 2012. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia

Watt, W. Montgomery. t.th.  Pemikiran Teologi Dan Filsafat Islam. (Terj.) Umar Basalim. Jakarta: P2M.

Yusuf, M. Yunan. 1990. Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam. tk.: Perkasa Jakarta



[1]  Mustofa Abd Ar Raziq, Tahmid Lil Tarikh Al Falsafah Al Islamiyah, (tk.: Lajnah Wa At Tha’lif Wa At Tarjamah Wa An Nasy, 1959), 265
[2]  Ibid., 268
[3]  W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi Dan Filsafat Islam, (Terj.) Umar Basalim, (Jakarta: P2M, t.th) , 9
[4] Abdul Rozaq, Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2012) , 171
[5] Ibid., 172
[6] M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam, (tk.: Perkasa Jakarta, 1990), 101
[7] Abdul Rozaq, op. cit, 129
[8] Maksudnya setiap orang yang memandang Nabi Musa as akan merasa kasih sayang kepadanya.
[9]  Al Asy’ari, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Teologi Islam, buku 2, (terj.) Rosihon Anwar dan Taufiq Rohman, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 204
[10] Abdul rozaq, op. cit., 68
[11] Asy-Syahratsani, Al Milal Wa An Nihal, (Beirut: Darul Fikr, t.th), 89

Tidak ada komentar:

Posting Komentar