Kamis, 24 Januari 2019
IZINKAN AKU BAHAGIA
Izinkan Aku Bahagia
Jika hidup adalah puzzle, aku ingin menjadi satu keping yang menyempurnakan keutuhan gambar dan susunannya. Jika hidup adalah teka-teki, aku ingin menjadi jawaban yang melengkapi kekosongan setiap sudutnya. Dan jika hidup adalah putih, aku ingin menjadi satu dari jutaan uraian warna yang memaknai kepolosannya. Nyatanya, roda hidup tak berjalan sesuai apa yang ku angan. Yang ada hanya pedih, sakit, dan semuanya terkesan berantakan.
Aku adalah anak muda lulusan SMA 5 bulan yang lalu, Mei tepatnya. Aku bingung menyebut diriku dengan status yang lebih sedikit layak. Aku bukan pelajar, karena sudah lulus. Bukan pula mahasiswa, karena telah sekian kali gagal memasuki perguruan tinggi baik swasta apalagi negeri dengan berbagai alasan yang melatarbelakangi. sebut saja aku pengangguran dengan kerja serabutan. Menganggur tanpa kebebasan, kerja paksa ketika ada tugas. Mungkin seperti itu gambaran kasarnya.
“Pak, izinkan saya istirahat sejenak.”
“Kebiasaan, kerja belum selesai udah mau istirahat. Jangan manja jadi anak!”
Aku hanya menelan ludah dalam kegetiran. Perutku terasa melilit. Sedikitpun belum ada makanan yang masuk sejak tadi pagi. Hanya segelas teh hangat yang tadi sempat ku habiskan. Tubuhku mulai sempoyongan bersamaan keringat dingin yang terus bercucuran. Menjamu tamu dari pagi hingga lanjut proses pembuatan kue menyambut hari raya, membuat tenagaku benar-benar terkuras.
Aku memang dilahirkan sebagai lelaki, tapi bukankah lelah itu wajar. Dasar manusia tak punya hati. Ya, di sinilah aku. Rumah megah ini menjadi saksi perjuanganku 3 tahun belakangan. Aku berasal dari keluarga yang sangat tidak mampu, menengah ke bawah kategorinya. Ibuku meninggal sebulan setelah melahirkanku karena penyakit ganas yang kian tumbuh di rahimnya. Selanjutnya, aku hanya hidup bersama Bapak dan Mbak-ku. Kepahitan hidup yang telah mereka lewati, disusul dengan kematian Ibu semenjak kelahiranku, membuat mereka merasa bahwa hidup memang benar-benar kejam, seakan dunia tak memberi keadilan nyata pada mereka, dan ujungnya mereka menganggap hadirku adalah puncak dari segala petaka. Oh Ibu, andai Engkau masih hidup, mungkin tanganmu-lah yang akan merangkul segala pedihku.
Aku hidup dengan didikan Bapak yang keras dan Mbak yang hanya asyik dengan dunianya. Dari dulu aku berusaha memahami itu. Keluarga yang berantakan menjadikanku tumbuh menjadi anak nakal sebagai bentuk pelampiasan. Kecerdasanku memang bisa dibilang lumayan, tapi hampir seluruh guru tak mengakuinya. Bagi mereka, pandai selamanya tak berguna selama tak bermoral. Tapi aku menganggapnya wajar. Aku butuh kebebasan, di balik kuatku bertahan enghadapi jerat Bapak. Bapak yang selalu menyuruhku shalat dengan minimal satu cambukan, padahal Bapak sendiri tak pernah shalat. Bapak yang jarang memberiku uang saku saat berangkat sekolah, paling tidak seminggu hanya satu sampai dua kali Bapak memberi uang saku dengan nominal yang relatif sangat kecil bila dibanding teman-teman seumuranku pada umumnya.
“Arga, kamar mandi belakang apa sudah kamu kuras?”
“Masih belum pak. Saya baru selesai menguras kamar mandi tamu.”
“Segera selesaikan, kerja laki harus cekatan, jangan lelet kaya banci!”
Di rumah besar ini, yang ada hanya kekerasan dan otoritas. Semuanya serba tuntutan. Dulu aku mengira, dengan pindah ke tempat ini hidupku sedikit akan tertolong. Aku yang saat itu akan lulus SMP dibuat girang dengan kabar dari seorang guru bahwa aku akan dsekolahkan oleh teman beliau dari kota sebelah dengan syarat mau hidup bersamanya. Bukan syarat yang rumit menurutku, aku seketika mengiyakannya karena Bapak sudah pernah bilang kalau sudah tidak sanggup lagi membiayai sekolahku jika aku harus lanjut ke jenjang SMA. Pak Bakri yang dulu terlihat manis di depan guru dan Bapakku ketika mohon ijin membawaku, mengatakan segala jenis kenyamanan yang akan disuguhkan padaku di tempat baru nanti. Ya, Pak Bakri, salah satu guru Bahasa Inggris di sebuah sekolah ternama Ibukota. Kemampuan unggul bahasa Inggris yang dimiliknya, membuatnyapulang pergi luar negeri dengan mudah, hingga membuatnya kuwalahan jika harus menguras lembaga bimbel besar yang ia miliki di rumah. Itulah salah satu alasannya memintaku turut membantu. Aku justru semakin bangga dengan tawaran itu. Pak Bakri yang ku kenal hangat dan ramah di pertemuan pertama itu, saat sesekali diiringi tawa lepas ketika sedang berbincang dengan guru dan Bapakku. Sayangnya, di usia yang relatif sudah tidak muda itu, tak menggugah keinginan pak Bakri untuk membina rumah tangga. Ya, usia pak Bakri hampir kepala 5 tapi tak kunjung baginya memiliki niat untuk segera menikah.
Di rumah sama sekali keluargaku tak memiliki kendaraan bahkan untuk sejenis onthel pun tak ada. Tapi tinggal di rumah ini membuatku harus bisa segalanya meski berawal dari kata terpaksa dan nekat. Jangankan motor, mobil pun mampu ku lajukan dengan jalan otodidak.
“Tapi pak, habis ini saya sekolah, ada ulangan kimia, pak.”
“Sejak kapan kamu mementingkan urusan sekolah, tugas utamamu adalah memenuhi semua pintaku. Siapa guru kimiamu? Bu Ani? Bilang sama dia, ada urusan sama Pak Bakri, semua guru juga udah tau dan bakal memahami itu.”
Tidak ada lagi kalimat abntahan yang harus ku sampaikan, yang ada malah akan memperkeruh keadaan. Sejak SMA, seperti itulah nasib sekolahku. Jangankan ikut organisasi ini itu, bisa datang dan mengikuti pelajaran saja sudah syukur. Aku sering kali bolos hanya untuk urusan-urusan sepele atas permintaan Pak Bakri. Karena posisinya yang lumayan punya anma di sekolah, hampir semua guru menerimanya dengan lumrah. Bahkan ketika seorang guru memintaku untuk turut serta dalam kontes lomba debat Bahasa Inggris, Pak Bakri adalah orang yang pertama kali menolaknya. Entah dengan alasan apa ia lakukan itu. Bukankah akan menambah nama baik bagi lembaga bimbel Bahasa Inggrisnya.
“Arga ...”
“Iya, Eyang?”
Dia eyang puti, Ibu dari Pak Bakri. Beliau wanita yang ku segani di sini. Andaikan tidak ada eyang, aku akan terlihat lebih berantakan dari sebelumnya. Nasihat, saran, dan kalimat-kalimat indahnya yang menjadi alasanku kuat bertahan sejauh ini.
“Dari sekolahnya Shinta, ya?”
Shinta adalah gadis kecilku di rumah ini. Shinta, keponakan Pak Bakri yang diasuhnya sejak bayi. Bapaknya telah meninggal dalam kecelakaan dan setelah itu ibunya menjadi TKW di Singapura. Jadi sebelumnya, di rumah ini hanya ada Pak Bakri, eyang, dan si kecil Shinta. Setiap pagi aku mengantarnya ke sekolah, dialah hiburan gratisku sebelum menghadapi kerasnya hidup seharian. Sekitar jam 10an ketika aku sedang istirahat di sekolah, aku bergegas menjemputnya dan mengantarnya pulang ke rumah, baru setelahnya aku akan kembali ke sekolah.
“Iya, eyang.”
“Di dalam ada Mbakmu, ada perlu sama kamu katanya.”
Hahaha, jelas itu. Tidak mungkin mbak akan datang menemuiku tanpa alasan. Aku menemuninya di ruang tamu, mencium tangannya sebagai salah satu tanda hormatku padanya. Tapi yang punya tangan hanya tersenyum sinis.
“Aku ke sini mau ambil HP. Aku butuh HP itu buat penunjang tugas-tugas kuliahku.”
Aku tak menanggapinya. Aku melangkah ke dalam, mengambil HP dan chargernya.
“Terima kasih, mbak.”
“Yaudah aku langsung pamit.”
Seperti itulah mbak, tidak pernah peduli selain pada dunianya. Mbak memang cantik dan pandai, jauh lebih pandai dariku. Tapi, sikapnya yang membuatku tidak lagi menemukan kebaikan pada diri kakak kandungku sendiri.
“Oh ya, Ga, bulan depan Bapak nggak bisa hadir di wisudamu. Bapak sakit-sakitan. Kasian kalau harus jauh-jauh ke sini hanya untuk menghadiri wisuda. Mbak juga nggak bisa datang, ada ujian yang tak bisa ditinggalkan pada hari itu.”
Aku sudah biasa menerima pengabaian seperti itu. Setelahnya, semua hal terkesan menyebalkan bagiku. Bahkan setelah aku lulus dan tak bisa mengambil langkah lain selain tetap berada di sini, di bawah naungan pak Bakri. Berbagai kampus telah menolakku dari berbagai jalur. Mbak kemudian putus kuliah dan memilih ajakan menikah dari anak pak lurah. Bapak diajaknya ikut serta tinggal di rumah suaminya, dan yang paling miris, rumah kecil milik kita satu-satunya pun turut terjual untuk biaya pengobatan Bapak.
*
Burung di sangkar pun akan terbang saat sangkarnya terbuka, ia butuh bebas dengan dunianya. Begitupun aku, aku laki yang tidak sepatutnya menunggu kesempatan. Aku butuh tindakan untuk menyusul segala ketertinggalanku memenuhi masa depan.
Aku pulang. Lebih tepatnya kabur dan tidak kembali ke rumah itu lagi. Sesekali aku datang menemui Shinta di sekolahnya, menitipkan salam untuk eyang yang justru emndukung dan merestui langkahku. Eyang yang bahkan memberiku uang saku sebelum aku benar-benar pergi dari rumah itu. Selanjutnya, aku pergi ke kota dan bekerja di sana.
Tuhan, aku percaya Anugerah-Mu pasti nyata dan Engkau Maha Segala-Nya.
Tuhan, ku mohon. Izinkan aku bahagia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar