Kamis, 24 Januari 2019

KIMIA DI TANGAN, AGAMA DALAM PELUKAN

Kimia Di Tangan, Agama Dalam Pelukan

Sukses berharap dan berhasil lolos masuk jurusan favorit sekelas IPA tak lantas membuat hatiku bungah. Bahagia memang, tapi hanya sejenak. Selebihnya hatiku diliputi kegelisahan nyata bahwa perjuangan keras akan segera dimulai. Bagaimana tidak, dari awal aku tak menguasai pelajaran-pelajaran dengan berbagai rumus dan nama-nama ilmiah yang ku anggap mengerikan. Tapi entah sejak kapan aku memiliki harapan untuk menekuninya bahkan sangat didukung dengan perolehan skor tesku untuk masuk di jurusan tersebut. Jangankan menguasai pelajaran, melihat benda-benda mati di ruangan serba putih bertuliskan “Laboratorium IPA” itu, semacam jijik, merinding, dan seakan tercium aroma mistis di sana. Selanjutnya, dengan segala keterpaksaan aku harus benar-benar mengenal tentang vektor, integral, struktur atom, konfigurasi elektron, elektrokimia, polimer, biomolekul, dengan segala kerumitan lainnya.
“Jadi dapat kita saksikan bersama, menurut suara terbanyak maka ketua kelas terpilih adalah Sekar.”
Aku yang baru datang dari toilet kemudian memasuki ruang kelas kira-kira 2 sampai 3 langkah, tiba-tiba tersedak mendengar ucapan salah seorang teman yang memimpin proses pemilihan pengurus kelas, yang entah dia siapa, sama sekali aku tak ingin menoleh ke arahnya. Aku masih menunduk melanjutkan langkahku menuju bangku barisan depan ujung paling kanan ruang kelas itu. Aku terbelalak melihat coretan di papan bahwa pilihan suara yang ku peroleh berbanding jauh, lebih banyak dari 5 orang lainnya di bawahku. Dengan jumlah 30 siswa sekelas, hampir 20 dari mereka berpihak padaku. Hatiku bergemuruh, gemetar. Tapi dengan kuat ku coba menegaskan.
“Atas dasar apa kalian memilih namaku? Aku tak punya bekal untuk memimpin manusia-manusia berotak sejenis kalian.”
Seketika suasana kelas berubah riuh oleh gelak tawa. Tak ada jawaban dari mereka yang membuatku justru ingin meluapkan emosi.
“Kalimat bijakmu yang membuat kita sering terhipnotis dan akhirnya memutuskan memilihmu.”
Suara Dewi, yang sedari tadi berdiri di depan, memimpin proses pemilihan pengurus kelas, memecah kegaduhan. Setelahnya, hanya ada hening, yang akan disambut oleh gelak tawa selanjutnya, tapi kedatangan sosok pelopor jurusan ini membuat keheningan kembali mengarungi seisi ruangan. Beliau Ibu Wahyuni, guru kimia, sekaligus wali kelas di XI IPA ini.
“Sebelum guru masuk, diusahakan baca-baca ringan. Jangan biarkan buku-buku tebal itu jadi hiasan lemari dan selanjutnya jadi bantal.”
Kalimat pertama yang diucapkan beliau selepas salam dan membuka pelajaran itu, benar-benar menyentil kesadaran kami.
“Maafkan kami, Bu. Ini tadi kita pemilihan pengurus kelas.”
“Tapi saya nggak siap dipilih, Bu.”
“Sekar, menjadi pemimpin itu tidak boleh ambisi, tapi tidak boleh menolak jika diberi amanat.”
“Dan saya takut tidak bisa amanah, Bu. Saya nggak bisa apa-apa tentang dunia IPA.”
“Mereka memilihmu karena percaya dengan segala kemampuan dan kepribadianmu. Selanjutnya, mereka nggak bakal diam kok. Mereka akan turut andil dalam mensukseskan periode kepengurusanmu. Percayalah.”
Aku hanya diam, sesekali mengedarkan pandangan ke arah teman-teman. Mereka tersenyum meyakinkan, tepatnya menguatkan. Menanggapi itu, aku kembali menundukkan kepala, berusaha mencari letak kekuatan diriku.
“Saat kita belajar, kita harus yakin bahwa apa yang kita pelajari kelak akan bermanfaat. Selain itu, kita harus percaya bahwa tempat di mana kita belajar adalah tempat terbaik. Dari sana maka akan tertanam suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan.”
Dia, guru kimia sekaligus wali kelas kami. Ibu Sri Wahyuni, ST. Sosok pemikir ilmiah yang tak pernah meninggalkan pesan-pesan moral dan nilai-nilai kehidupan serta keagamaan di setiap sela materi pelajaran yang dijelaskan. Dia tak pernah lelah mengajarkan kami yang sebagian besar notabennya harus belajar dari nol tentang IPA, termasuk diriku. Jangankan untuk memahami seluruh unsur dalam tabel periodik kimia, air (H2O) berasal dari rumus molekul H+ + OH- saja aku baru mengetahuinya dari beliau beberapa hari yang lalu.
Baginya, kita hidup memang membutuhkan orang lain, tapi kita tidak boleh manja, menggantungkan hidup kita sepenuhnya pada orang lain. Berjuang sendiri mang sulit, tapi sebelum kita mencobanya sendri, jangan pernah mengganggu waktu orang lain hanya untuk memenuhi kesibukan yang seharusnya menjadi tuigas dan kewajiban kita.
Sebulan, dua bulan, aku mulai menikmati semuanya. Bergelut dengan rumus-rumus yang dulu aku hindari, bahasa-bahasa ilmiah yang justru dulu ku anggap konyol, memimpin orang-orang cerdas juga membuatku banyak belajar, mulai dari amandemen dan pengukuhan logo IPA angkatan kita, menyepakati dan mengukuhkan nama angkatan, hingga perjuangan bersama kita yang membuat nama kelas IPA mampu menyabet juara umum dalam classmeeting semester ini.
Segala sesuatu memang butuh dicoba agar kita mampu menemukan letak titik kenikmatannya. Aku merasakan itu dan Ibu Wahyuni-lah yang mengajarkan semuanya. Hingga pada suatu kesempatan kita dipercaya mengikuti berbagai olimpiade nasional baik dari bidang Biologi, Fisika, maupun Kimia, yang jarang meleset dari perkiraan menang. Semakin lama, kita semakin bangga dengan identitas IPA yang selalu kita jaga nama baiknya. Rasa cinta itu terbawa hingga kita hendak meninggalkan bangku SMA menuju jenjang selanjutnya. Hampir semua dari kita ingin melanjutkan ke dunia yang sama. Biologi murni, pendidikan fisika, teknik kimia, farmasi, perawat, kebidanan, pendidikan dokter, dan sejenisnya. Menanggapi segala cita yang sering kali kita curhatkan padanya, Bu Wahyuni selalu menanggapi dengan senyum khasnya kemudian mengaminkannya dengan tak pernah lupa memberi petuah-petuah indah dari kalimat-kalimat bijak miliknya.
*
“Bu, maafkan Sekar. Bukan Sekar tak ingin. Tapi Ayah dan Ibu minta Sekar melanjutkan kuliah di Kampus berbasis pesantren. Sekar masih mencintai kimia, Bu. Sekar belum bisa terima.”
“Sekar, segala yang kita ingin tak harus jadi nyata. Orang tuamu tau yang terbaik buat anaknya. Ikuti ya, Insyaallaah berkah.”
“Ibu tidak marah kalau saya meninggalkan kimia? Maafkan Sekar telah berkhianat, Bu.”
“Hei, ngomong apa kamu ini. Buat apa Ibu marah. Justru Ibu bersyukur, sekalipun Sekar tidak mampu melanjutkan setidaknya Sekar pernah mempelajari ilmu alam itu. Semua ilmu wajib dipelajari dan Sekar berkesempatan mempelajari dan mendalaminya selama kurang lebih dua tahun. Semoga bermanfaat dan cukup untuk melanjutkan perjalanan jenjang berikutnya.”
Aku mulai terisak hingga nyaris tak bersuara. Tapi Bu Wahyuni menguatkanku dengan satu pelukan yang entah sudah ke berapa dari semua pelukan yang pernah dia kasih padaku. Segala pelukan nyaman yang tak akan ku lupa adanya.
Aku banting setir, melanjutkan studi lawan arah, dari ingin kimia menuju dunia agama, dan Bu Wahyuni merestuinya.
*
“Bu, hari ini Sekar wisuda. Sekar sudah sarjana, Bu. Terima kasih atas segala doa dan motivasinya sejak awal hingga saat ini. Jangan pernah bosan mendoakan Sekar, ya Bu.”
“Syukurlah, Ibu bahagia mendengarnya. Selamat ya, Nak. Ibu yakin kamu pasti mendapat penghargaan lain selain ijazah, iya kan?”
Aku hanya meringis mengiyakan perkataan Bu Yuni via suara saat aku menelponnya lepas acara wisuda sarjanaku siang tadi.
”Sekali lagi maafkan sekar ya, Bu. Sekar nggak bisa jadi sarjana kimia buat Ibu.”
“Sekar hadir melengkapi Ibu. Ibu yang megang kimia, Sekar membantu perjalanan Ibu dengan arah mata angin berwujud agama.”
“Ibu bisa saja. Justru terbalik, Bu. Sejak awal Sekar mengenal Ibu, bagi Sekar, Bu Wahyuni menggenggam kimia, tapi tetap memeluk dan menjunjung tinggi nilai agama sebagai pedoman.”
“Loh bukankah itu suatu keharusan, dan memang harus diterapkan oleh siapa saja.”
“Iya memang Bu. Tapi tidak semua orang menerapkan itu dalam praktiknya, dan saya, Sekar Salsabilla sebagai saksi bahwa Ibu Sri Wahyuni, ST adalah guru pelopor dan pahlawan yang sesungguhnya di mata dunia, dunia pendidikan utamanya.”
Seketika kita tertawa bersamaan sebelum setelahnya aku mengakhiri percakapan via telepon tersebut.
Sampai saat ini aku masih mencintai kimia, Bu. Bisikku dalam hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar