Rabu, 17 Februari 2016

Akhlak Islami Penghias 2 Mei yang Suci


“… Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani…”
Sebuah semboyan yang tak asing dari pendengaran kita. Semboyan suci itu lahir dari Bapak pelopor pendidikan, Ki Hajar Dewantara, yang karenanyalah kita mampu merasakan manisnya pendidikan hingga saat ini.
Di zaman sekarang pendidikan bukan sebuah kebutuhan yang susah dimiliki. Berbeda dengan 70 tahun silam. Saat itu, tak ada rakyat pribumi yang berpendidikan selain putra pejabat ataupun konglomerat. Itu pun hanya golongan pria yang diijinkan mengenyam pendidikan. Karena perjuangan gigih Ki Hajar Dewantara-lah kita mampu memilikinya dan karena usaha keras Ibunda Kartini pula, kaum Hawa pun kini tak hanya diam tanpa alasan di dalam rumah. Bahkan saat ini banyak kemudahan untuk dapat menikmati pendidikan itu sendiri. Bila pemerintah telah menggalakkan sistem wajib belajar 12 tahun, maka pemerintah juga telah menyediakan fasilitas-fasilitas yang memudahkan anak bangsa untuk tetap berpendidikan.
Selain itu, salah satu tujuan bangsa Indonesia yang tertera dalam pembukaan UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini berarti pendidikan bukan suatu hal yang langkah, tapi telah menjadi kewajiban setiap warga untuk dapat mengenyamnya.
Dengan adanya kemudahan-kemudahan dalam memperoleh pendidikan, maka telah  terbentuk begitu banyak jenis civitas akademika yang lihai di bidang pendidikan. Naasnya, subyek-subyek pendidikan di negeri ini justru tidak mampu memanfaatkan apa yang telah dimiliki. Mereka lebih banyak terlena dengan kesenangan dunia hingga melupakan apa yang menjadi kewajibannya.
Seperti yang kita ketahui bahwa pendidikan merupakan sebuah upaya seorang pendidik untuk membuat seorang anak didik bisa mengembangkan potensi diri mereka yang diberikan oleh sang khaliq secara terencana. Potensi tersebut bisa berupa kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Untuk mewujudkan subyek-subyek pendidikan dengan kualitas yang tinggi, kita dapat mengubah pemikiran tentang tanggal 2 Mei yang akan datang esok hari. Hari suci di mana pendidikan terpancar elok, laksana mentari dengan cahaya keabadiannya. Seperti kata bijak dari Ilmuwan fisika termasyhur di abad 20, Albert Einstein, betapa indahnya diri seorang ilmuan bila berhias akhlak dalam pancaran aura kepribadiannya. Siapa pun orangnya bila berakhlak, akan mencapai hasil terbaik di titik penghujungnya. Dan dengan akhlak pula, seorang akan mampu menahan dirinya dan menghindar dari sesuatu tidak diinginkan yang justru akan merugikan dirinya dan orang lain. Misalnya, realita telah banyak mengatakan bila kasus korupsi sedang membahana di era ini. Parahnya, pelaku-pelaku perbuatan dosa ini bukan berasal dari rakyat-rakyat jelata ataupun masyarakat bodoh yang tak pernah singgah di bangku sekolah. Justru tokoh utama yang terlibat dalam kasus ini adalah mereka-mereka yang memiliki jabatan tinggi, pendidikan tinggi, dan golongan berdasi. Lantas, siapa yang salah atas terjadinya kasus prilaku atasan yang menyimpang seperti ini?
Tidak ada yang patut disalahkan dalam suatu kasus permasalahan seperti ini. Bila dianggap salah semua pun akan terlibat dalam lingkaran kesalahan. Satu yang terpenting, kesadaran diri untuk melakukan yang terbaik.
Pemerintah telah menggalakkan pendidikan berkarakter di tiap mata pelajaran pada semua tingkat pendidikan. Hal ini sangat mendukung pembentukan akhlak seorang anak sejak usia dini. Pendidikan karakter mengajarkan anak berlaku atau berakhlak semestinya. Di mana akhlak itu diperuntukkan tak hanya terhadap Allah yang berbasis keimanan, tapi juga terhadap diri sendiri, sesama, bahkan juga terhadap lingkungan. Jadi, tak hanya hablun minallah saja yang diperbaiki tapi harus dijalankan secara seimbang dengan hablun min an-naas. Intinya, dunia akhirat mampu diperoleh keduanya.
Dengan demikian, 2 Mei esok ini dapat kita sambut dengan pemandangan baru, pemandangan langkah yang akan membuat perubahan untuk dunia pendidikan pada umumnya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: من لا أدب له كالذّباب. Yang artinya: “Barang siapa yang tak memiliki tata krama, maka ia diibaratkan seperti lalat”. Begitu hinanya mereka-mereka yang tak berakhlak hingga diumpamakan dengan binatang sehina lalat yang tak tahu malu menginjak-injak kepala setiap orang tak peduli pejabat mapun rakyat.
Dalam kitab ‘alala juga dijelaskan:
فساد كبير عالم متهتّك ° وأكبر منه جاهل متنسّك
Kerusakan besar adalah orang berilmu yang tidak mau mengamalkan ilmunya,
Dan kerusakan terbesar adalah orang bodoh yang tak mau berusaha menghapus kebodohannya.
Dari sini sudah jelas bila keindahan ilmu akan dapat dirasakan jika ahlul ‘ilmi atau shahibul ‘ilmi dihiasi dengan akhlak islami. Di mana akhlak tersebut diatur berdasarkan pada ajaran islam, yaitu Al-qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Bila semua civitas akademika yang ada di bangsa ini mampu mewujudkan program pendidikan yang menggalakkan pendidikan karakter itu, kenyamanan dan kesejahteraan bangsa akan mampu terwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi membawa pendidikan Indonesia mampu bersaing di kancah Internasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar