SEPUCUK SURAT UNTUKMU, SAHABATKU…
“Ambil kantong
plastik itu ukhty[1],
buat mengantongi sepatu kita,” teriak sahabatku di tengah gelapnya gemuruh
rinai hujan.
“Kita singgah
sholat ashar dulu ukhty, takutnya nanti sampe rumah waktunya sudah habis,” sela
sahabatku ketika kita berjalan melintasi masjid.
“Ukhty, besok
main ke rumah ya, ditunggu sama Ibu.”
Suara-suara
itu. Ya, di balik cahaya purnama malam ini, aku mengenang masa itu. Masa di
mana kita selalu bersama, menggugah keramaian dunia, menantang cakrawala dengan
asa di genggaman tangan kita.
Pagi itu
mentari tersenyum sumringah, seakan ingin menghibur jutaan makhluk di belahan
bumi dengan kemilau sinarnya. Namun, tidak untuk aku dan teman-temanku. Pagi
ini juga, pesta perpisahan kita digelar. Acara berjalan khidmat, hadirin
terlihat tenang. Sambutan perwakilan siswa kelas XII SMA Negeri Surakarta,
sambutan kepala sekolah, ketua yayasan, semua terlewati sudah. Namun tangis
membuncah saaat tim paduan suara mendendangkan lagu-lagu melankolisnya. Seakan
bah air mata sedang singgah di sekolah yang masyhur dengan kualitas siswanya di
bidang scientice ini. Semua terasa terlihat lemah, kalah dengan keadaan yang
akan memisahkan tembok kenangan yang telah terbangun semasa sekolah.
Tak lama sudah,
ada secercah senyuman di balik rinai air mata kesedihan, saat dengan lantangnya
wakil kepala sekolah mengumumkan 10 siswa terbaik. Dan empat di antara sepuluh
itu adalah kita. Aku dan ketiga sahabatku. Setitik kebahagiaan itu hadir meski tetap
dengan iringan air mata.
Dari sinilah
semua berakhir. Persahabatan yang selama ini kita bangun seakan benar-benar
telah terkalahkan dengan perubahan sikapnya. Dianggap benci, tidak mungkin, dia
sahabatku. Tapi yang dirindukan tak pernah merasa. Keterlaluan!
Ku tanyakan
kabar tentangnya. Nomor ponselnya masih aktif, masih sama seperti nomor yang
dipakai ketika SMA. Tapi tak pernah ada satu pun sms balasan ketika aku
mengirim satu pesan ke nomor ponselnya itu.
Panggilan pun terasa diabaikan. Aku mulai bosan dengan perkataan orang
di seberang. Nomor yang anda tuju tidak dapat menerima panggilan anda,
cobalah beberapa saat lagi. Tuut,,, tuutt,,, tuuuttt. Bahkan yang paling
menyakitkan. Ketika jelas-jelas dia sedang online di facebook, kiriman pesan
dariku tak pernah sedikit pun tersentuh oleh tangannya. Benar-benar membuat
geram!
“Mawar,
sudahkah kamu tau tentang keadaannya di sana?”
“Entahlah Yasmin,
capek aku.”
“Aku sakit hati, masak teman-teman
lain tanya padaku tentang dia yang sekarang telah berubah.”
“Berubah gimana
maksudmu, Dahlia.”
“Kawan, tidak hanya kita yang
diperlakukan seperti ini olehnya, dia yang dulu terkenal ramah dengan semuanya,
mereka pun menjadi korban kecuekannya. Apalagi mereka semua pun tau tentang
perilakunya di sana, bahkan cara berpakaiannya pun telah berubah.”
“Benarkah? Dari
mana mereka tahu?”
“Banyak, ada di
postingan facebooknya.”
“Bener-bener
sudah melampaui batas dia.”
Kita kembali
merenung, disibukkan dengan pikiran tentang satu sahabat yang telah jauh dari
pandangan. Rintik gerimis tak henti-hentinya membasahi bumi yang kami injak,
membuat suasana semakin mencekam perasaan. Antara benci, gamang, dan sayang.
Surakarta
mempertemukan kita. 6 tahun di masa biru dan abu-abu putih yang menyelimuti
kita. Tapi, pesta perpisahan pagi itu, seakan mengakhiri semuanya. Kini, kita
dipisahkan tidak hanya oleh batas kota tapi jutaan samudera membentang di
antara kita. Aku sekarang berada di Sumatera, Mawar ikut orang tuanya ke
Kalimantan, Yasmin tetap berada di Jawa, dan Dara, dia melanjutkan studinya ke
Sulawesi.
Dari dulu
perbedaan memang sudah nampak dalam persahabatan kita. Sejak SMP aku, Mawar,
dan Yasmin selalu sekelas, tapi tidak untuk Dara. Kita pernah sekelas hanya ketika
kelas delapan. Bahkan, ketika SMA pun kita dibatasi oleh tembok jurusan. Kita
bertiga ada di jurusan IPA. Sedangkan Dara, namanya tercantum bersama puluhan deret
nama di jurusan IPS. Meski pertentangan selalu ada di antara jurusan kita, tapi selama itu pula,
kita mampu menepis perbedaan yang ada menjadi untaian Rahmat yang membuat
setiap mata iri melihat kebersamaan kita. Tapi, kenapa kini semua jadi begini?!
Perpisahan
memang menjauhkan jarak kita, tapi tidak untuk hubungan kita. Setiap saat kita
tetap saling bertukar kabar. Via sms, facebook, bahkan sebulan sekali kita
menyempatkan untuk melakukan telfon sambungan tapi hanya bertiga, bukan berniat
untuk tidak menambahkan Dara dalam obrolan kami, tapi lagi-lagi Nomor yang
anda tuju tidak dapat menerima panggilan anda, cobalah beberapa saat lagi.
Tuut,,, tuutt,,, tuuuttt.
“Yasmin, ini
siapa saja yang terhubung dalam obrolan kita?”
“Ya, Cuma kamu
sama Mawar.”
“Lho, kok gk
sekalian sama Dara.”
“Udah ku
sambungkan, tapi tetap gk ada jawaban.”
“Sampai kapan
dia akan seperti ini?”
“Buat planning
liburan, yuk!”
“Kan, masih
lama.”
“Biarlah,
setidaknya kita harus kumpul sekalipun hanya setahun sekali.”
“Gimana kalau
Dara gk mau ikut, kan jadi gk seru nanti jika cuma bertiga.”
“Kalau dia benar-benar gk mau ya memang keterlaluan, tapi kita
husnudzan[2]
aja deh, siapa tau nanti dia dapat Hidayah.”
Ha… ha… ha…
Gelak tawa itu
tetap serenyah dulu. Hanya saja jumlah kita sedang berkurang tapi bukan untuk
selamanya, hanya sementara. Kebersamaan kita sedang diuji dengan jarak dan
sikap Dara yang kini telah berubah.
⃰
_11 Nopember 2014_
Assalaamu’alaikum
ukhty…
Selamat
ulang tahun ya,,
semoga
tetep jadi yg trbaik buat semuanya,
Barakallah
fii ‘umrik
Miss
you so much ({}), Ukhty.
_Dahlia_
Aku mengirim
sms di hari ulang tahun Dara. Sengaja ku cantumkan namaku, takutnya dia tak
lagi menyimpan nomor ponsel yang kumiliki. Satu jam, dua hari, seminggu, tak ada
satu balasan pun darinya. Bahkan ku titipkan salam untuknya lewat temanku yang
sekampus dengannya. Yaa Rabb, apa yang terjadi dengan sahabatku yang satu ini.
⃰
Malam ini, kita
kembali disibukkan dengan obrolan lintas pulau, tetap bertiga.
“Yasmin, kamu
udah ngucapin?”
“Nggak, males,
ngapain juga, dia aja udah gk ingat sama kita.”
“Eh, jangan
ngomong gt donk,,, dia sahabat kita.”
“Ngucapin apa,
Dahlia?”
“Lho, malah
kamu nggak ingat Mawar, Dara kan ultah, kemarin tanggal 11.”
“Yaa Rabb, aku
lupa, beneran aku gk inget sama sekali.”
“Malah seneng
lah, lupa, udah gk usah di bahas…”
“Mawar, Yasmin,
kita kan sayang dia, kenapa kalian tiba-tiba jadi gini?”
“Sayang? Kamu
aja tuh, aku gk.”
Klik. Panggilan
diakhiri. Sikap Dara memang telah membuat kita benar-benar emosi. Hanya saja
aku berusaha mengimbangi keegoan ini, kalau tidak, dari dulu sudah tak ada lagi
yang namanya “kita selamanya”.
⃰
Ponselku berdering
di atas meja belajarku. Nomor tanpa nama. Tak biasa aku mengangkatnya, takut
diteror orang. Tapi kali ini ku urungkan ketakutanku.
“Assalaamu’alaikum,,,
Bisa bicara dengan Dahlia?”
Yaa Rabb, suara
cowok, dan aku tak mengenalnya. Rasa takut semakin mengahantuiku.
“Iya, anda
sedang bicara sama Dahlia.”
“Ini ada yang
mau ngomong sama kamu.”
“Siapa?!”
“Assalaamu’alaikum, Ukhtyyy, ini aku
Dara, kangen ukhtyyy,,,” Suaranya bahagia kegirangan.
Tes… Tak ku
rasa, cairan hangat yang berusaha ku tahan, kini keluar tanpa permisi. Ini
suara Dara, sahabatku. Aku masih mengingatnya persis.
“Dahlia, kamu
mendengarku, kan.”
“E… Ehm… I…
Iya… Dara,,, Aku merindukanmu, kita semua merindukanmu.”
“Iya aku juga kangen sama kalian
semua, salam ya buat Mawar sama Yasmin, maaf aku gk bisa menelfonnya, ini juga
aku pinjem ponsel temenku, gk usah di save y nomernya.”
“Iya Dara,
selamat ulang tahun ya, buat tanggal 11 kemaren,,, Barakallah fii ‘umrik.”
“Makasih
Dahlia, udah inget. Jadi pengen ketemu nih.”
“Kapan Dara
pulang?”
“Nggak tau juga ya, padat banget jadwal di sini. Tapi y diusahakan
bisa balik ke Jawa setahun sekali lah.”
“Lebaran besok,
pulang ya, kita semua mengharapkan kedatanganmu.”
“Okelah, kalo
bisa ku usahakan, tapi jangan terlalu berharap ya, takut gk bisa dateng.”
Suaranya
diiringi gelak tawa yang selama ini ku rindukan. Dan di seberang, aku hanya
bisa tersenyum getir, mendengar celotehnya.
“Dahlia, udah dulu ya, gk enak sama yg punya ponsel ini, aku lagi gk
ada pulsa, maaf ya, jangan lupa salamku buat yang lain, miss kalian so much…
Assalaamu’alaikum…”
“Wa’alaikumussalam.”
Suara itu sudah
hilang. Padahal aku masih kangen. Hanya 5 menit. Padahal dulu, tiada waktu yang
terlewati tanpa kebersamaan. Semudah itu Dara melupakan kenangan kita. Dari
kita berempat, memang aku yang lebih dekat dengan Dara. Awalnya memang semua
biasa, tapi sejak aku dan Dara mendapat beasiswa Bimbel ternama di pusat kota
Surakarta, kita semakin dekat. Kenangan selama bimbel memang sangat membekas,
karena mungkin itu merupakan akhir dari cerita kita di sekolah.
“Ambil kantong plastik itu ukhty, buat mengantongi sepatu kita.”Suara itu, adalah suara Dara. Ketika kita pulang Bimbel kehujanan.
“Kita singgah sholat ashar dulu ukhty, takutnya nanti sampe rumah
waktunya sudah habis.”Itu adalah
ajakan Dara ketika kita pulang Bimbel melewati masjid dan kita belum sholat
ashar.
“Ukhty, besok main ke rumah ya, ditunggu sama Ibu.” Kita memang sudah sering bermalam di rumah masing-masing dari kita.
Ibu kita pun mengetahui kedekatan kita. Bahkan, mereka menganggap kita seperti
anak sendiri.
Dan kini, aku
merindukan semua itu. Secepat itukah Dara melupakan semuanya. Hari ini, aku
berada di bilik masjid. Tepat di sudut di mana dulu aku dan Dara selalu melakukan
jama’ah sholat ashar selepas Bimbel. Aku masih mengingatnya persis. Senyumnya,
tingkahnya, caranya memakai mukena, anggun. Dulu semua orang memuji
keanggunannya yang kini sedang mulai memudar.
Ku lemparkan
pandanganku ke sekitar masjid. 11 bulan aku tidak lagi menginjakkan kaki di
masjid yang menjadi persinggahan setia kita sepulang bimbel. Hampir setahun,
aku tidak lagi melakukan sholat ashar berjama’ah dengan sahabatku, Dara. Dan
masjid ini, tidak banyak berubah. Hanya warna catnya yang bertambah terang.
Mungkin habis diperbarui menjelang lebaran yang kurang 2 mingguan. Sedangkan
aku dan Dara, bahkan kita berempat, terlihat ada perubahan di antara kita.
Akankah persahabatan kita kalah dengan kekokohan masjid yang sedang menaungiku
saat ini? Bukankah dulu kita pernah berjanji, jika persahabatan kita tidak
seperti pelangi, indah, namun kemudian menghilang karena datangnya cahaya.
Bukankah kita akan menunjukkan pada dunia, jika persahabatan kita tak akan
goyah hanya karena waktu yang memisahkan dan jarak yang terbentang.
Kertas di
tanganku ini, akan mewakili perasaanku, perasaan seorang sahabat yang sedang
merindukan sosok yang dulu pernah dikenal indah, dan sekarang mulai menjauhkan
diri dengan kehidupan masa lalu yang pernah berjuang bersamanya.
Teruntuk Dara-ku
Mujahidah Allah yang sedang Berjuang
Di Pulau Seberang
Assalaamu’alaikum…
Dara,,, aku merindukanmu…
Masih ingatkah dirimu dengan aku, dengan kita,
sahabat masa lalu yang menemani perjuanganmu dan mungkin yang mengantarkan
kesuksesanmu pula ke pulau yang kau singgahi saat ini. Dirimu yang dikenal
anggun, bukan hanya oleh kita, tapi oleh semua kalangan, caramu bicara,
berjalan, tersenyum, semua membuat orang terbius. Dan obat bius itu, kini mulai
tidak berefek samping lagi. Aku merindukan itu semua.
Secepat itukah kamu melupakan semua tentang kita,
Dara. Saat ini, aku sedang duduk manis di masjid Baiturrahman. Masjid tempat
persinggahan setia kita sepulang dari bimbel. Saat ini aku sedang bertopang
dagu persis di sudut tempat kita sering melakukan sholat jama’ah dulu. Aku tak
pernah menyangka akan cepatnya perubahan sikapmu. Tapi kabar yang terus simpang
siur dan berbagai postingan di akun facebookmu membuatku benar-benar yakin
bahwa dirimu telah berubah. Aku masih sabar menunggumu di sini. Di Surakarta.
Tempat kita mulai melangkah membangun asa. Aku pun sedang berusaha meyakinkan
Mawar dan Yasmin bahwa kamu di sana baik-baik saja, tetap seperti Dara yang
dulu kita kenal.
Bukan sok, tapi sekedar mengingatkan. Jika dirimu
bertemu banyak orang yang menjadi temanmu saat kau sukses, jangan pernah
lupakan orang-orang yang pernah berjuang bersamamu di masa lalu. Aku tau dirimu
telah selangkah lebih sukses dari kita. IPS mu telah menjanjikan impian yang
selama ini kau angankan. Tapi bukan itu yang kita inginkan. Bukankah kita semua
berharap perbedaan itu akan berubah menjadi Rahmat?
Ini ada pesan dari Yasmin buat kamu…
Aku memang mengenalkan persahabatan pada kalian di
atas nama perbedaan karena aku tau perbedaan itu bisa disatukan. Dari dulu aku
juga tau kita semua berbeda. Bukan hanya kamu atau aku. Tapi kita. Dan ternyata
6 tahun bersama, kita bisa berdiri tegak di antara sejuta perbedaan. Iri. Aku
juga pernah merasakannya. Kita bertiga memang selalu sama tapi tidak untuk
dirimu. Dan mungkin irimu itu wajar, menurutku. Aku hanya ingin kau tau, saat
ini perbedaan kita adalah ujian yang menjadi tolak ukur seberapa kuat
persahabatan. Kadang aku merasa bersalah, mengapa aku membiarkanmu menjauh dan
merasa berbeda di antara kita. Namun, aku tak bisa melarangmu memilih jalanmu.
Maafkan aku yang membuatmu merasa berbeda, merasa terkucilkan, dan hanya selalu
diam. Namun, aku tak pernah mengharap kediamanmu. Yang aku ingin adalah
senyuman. Senyum ceria setulus dulu. Selamanya kita memang akan selalu berbeda.
Tapi selamanya pula kita tetap sahabat. Bersama meraih mimpi, berdiri di atas
perbedaan, dan berpegang pada persahabatan.
Dara, salam dari Mawar untukmu. Pulanglah. Lebaran
depan kita jalan bareng. Setahun sudah kita tak bersua. Berharap keluangan
waktumu untuk memutar sedikit rekaman video yang dulu pernah tercipta.
Sekian dulu dariku. Maaf aku terlalu lancang
mengirim bait-bait kata tak bernyawa ini. Hanya demi mengharap akan perubahan
sikapmu pada yang terbaik. Sukses buat kita semua. Kamu dengan Geografimu. Yasmin
dengan Matematikanya. Mawar dengan hafalan qur’annya. Dan aku dengan Kimiaku.
Tahun 2018 kita bertemu bersama di hari di mana
topi bertali itu bertengger manis sebagai mahkota kita. Dan 2016 depan, kita
akan meluncur pada wisuda tahfidzul qur’annya Yasmin. Kita menunggumu di
Surakarta. Salam sayang dan sukses selalu.
Bangka Belitung, 14 Mei 2015
Tertanda,
Dahlia
Putri Sekar
⃰
Aku yakin
suratku sudah berada di pelukan Dara. Tapi pada hari ke 29 setelah
diterbangkannya suratku itu, tak ada segores tinta pun sebagai balasan akan
jawabannya. Dan hari ini, aku sedang melakukan perjalanan menuju alun-alun kota
Surakarta. Berusaha meyakinkan diri siapapun yang nantinya benar-benar datang,
kita tetap jalan, meskipun jumlah kita dianggap kurang. Cemas? Iya. Tapi aku
berusaha tetap tenang. Aku sudah janjian dengan Yasmin. Dan saat ini aku sedang
berada di belakangnya di atas sebuah motor Beet warna biru kesukaannya. Di
ujung alun-alun, ku dengar jeritan halus yang berbaur dengan kebisingan suara
kendaraan di pusat kota. “Uktyyy aku sudah menunggumu di sini, di alun-alun
kota Surakarta”. Dengan diiringi lambaian tangan serta seberkas senyum manis
dari seorang Mawar di sampingnya. Subhanallah, tangisku pecah mengetahui bahwa
suara itu adalah milik Dara. Ku hamburkan pelukanku seketika saat Beet biru
sudah mendarat di depannya persis. Tak bisa ku tahan air mata bahagia yang
menyatukan kita hari ini. Di Surakarta, 24 Juli 2015. Dan saat inilah perbedaan
itu sudah tak tampak adanya. Yaa Rabb, sungguh agung karunia-Mu.
Jombang,
5 September 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar