Rabu, 06 Desember 2017

THAHARAH



WUDLU, MANDI, DAN TAYAMMUM
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Fiqih”



Disusun oleh :
Hanum Nurrikatus Sholichah: 1114117
Oktafiani Kartika Nur Huda: 1114110


Dosen Pengampu:
M. Dahlan Bisri, H. Lc. M

 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI DARUL ULUM
JOMBANG
2015



KATA PENGANTAR

الحمد لله وحده, القاْئل "فلو لا نفر من كل فرقة منهم طائفة ليتفقهوا فى الدين".  الصلاة والسلام على من
 لا نبي بعده, القائل فيما اوتي من جوامع الكلم: ( من يرد الله خيرا يفقهه فى الدين ) وعلى اله وصحبه و
من تبعهم باحسن اجمعين. اما بعد.
Sejenak kami panjatkan bingkaian syukur kepada Allah Asy-Syakur, atas nikmat-Nya yang tak terukur sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini meski masih ada kekurangan yang tak terhimpun.
Shalawat dan salam semoga tetap terhadiahkan kepada sang revolusioner umat, pemimpin himpunan rakyat dan masyarakat, pemberi syafa’at kelak fil yaumil ma’ad. Beliau Nabi Muhammad SAW yang tiada letihnya memperjuangkan panji keagamaan hingga sampai saat ini mampu kita rasakan manisnya iman dan islam.
Selanjutnya kami menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan banyak kekurangan yang sangat membutuhkan revisi atau pembenahan, sehingga kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif demi kesempurnaan dalam penulisan makalah selanjutnya.
Akhirnya kami berharap semoga makalah ini akan membawa manfaat pada kami khususnya dan para pembaca yang budiman pada umumnya.




                      Penulis



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Thaharah menurut bahasa artinya sama dengan kata “Nadzafah” (bersih dari kotoran). Adapun menurut syara’ banyak ulama’ yang berpendapat. Di antara mereka yang berpendapat “suatu perbuatan yang karenanya seseorang diperbolehkan mengerjakan sholat.”[1] Seperti wudlu, mandi, dan tayammum.
Pada dasarnya, thaharah merupakan kebersihan lahir yang mempunyai kedududkan penting. Namun, selain itu, terdapat kebersihan batin yang harus dimiliki oleh seseorang yaitu berupa keikhlasan hati tanpa adanya kesombongan, hasud, ‘ujub, dan sifat-sifat tercela lainnya yang merusak akhlak.[2] Sabda Nabi SAW: النظافة من الايمان . Maksudnya adalah kebersihan secara maknawi. Karena seorang muslim yang mempunyai sifat tercela akan bisa melemahkan imannya, tapi bila batinnya terlepas dari sifat-sifat tersebut, rohnya bersih dan jiwanya suci, maka sempurnalah imannya. Jadi maksud hadits yang mempunyai arti “kebersihan adalah sebagian dari iman” itu bukan hanya kebersihan lahir tapi juga kebersihan batin. Disebutkan dalam kitab al-Bada’I sebagai berikut:
1.   Thaharah ada 2 macam, yaitu: thaharah hakkiyah yang merupakan suci pakaian, badan, dan tempat sholat dari najis hakiki. Dan najis hukmiyah yaitu suci anggota wudlu dari hadats kecil dan seluruh anggota tubuh dari janabat.
2.   Perintah mandi dari hadats dan janabat merupakan pensucian batin dari penipuan, hasu, sombong, su’udzon, dan sifat tercela lain penyebab dosa.
3.   Mensucikan anggota badan adalah merupakan rasa terima kasih atas nikmat di atas nikmat melalui sholat.
4.   Perintah mensucikan anggota badan berguna untuk membebaskannya dari dosa-dosa yang telah dilakukan.
Dalam pembahasan ini, lebih difokuskan pada thaharah jasmani yang dilakukan melalui wudlu, mandi, dan tayammum.
Seperti yang telah diketahui bersama, jika seseorang memiliki anggota badan atau pakaian yang kotor, jiwa akan jijik, hati dan matapun akan berpaling darinya. Begitu pula jika seorang ingin menghadap pada atasan atau pimpinan pasti memilih pakaian terbersih dan terbaik, sehingga sang pemimpin tidak murka karena mersa dihargai. Kalau aturan pergaulan sesama manusia saja layaknya demikian, apalagi jika berhubungan dengan Allah, rajanya semua raja yang ada, raja yang menguasai semesta, dan raja yang tak ada bandingan baginya.
Allah yang Maha Bijaksana mewajibkan wudlu dan mandi serta tayammum sebagai pengganti agar manusia terbebas dari kotoran yang menjadi hambatan tidak sah dan tidak nyamannya ketika melaksanakan kewajiban ibadah.[3] Para malaikat membenci hamba yang ketika sholat memakai pakaian kotor dan dekil serta berbau, apalagi ketika sholat jama’ah bershaf-shaf, akan bisa mengganggu orang lain. Memang kalau kotor belum tentu najis, sebaliknya kalau najis sudah pasti kotor. Tapi setidaknya kita mampu memposisikan di mana kondisi kita berada. Fiqih memang penting tapi belum afdlal jika tidak diimbangi dengan akhlak. Oleh karena itu, Allah Al-Hakim mensunnahkan mandi pada hari jum’at dan hari raya, karena pada waktu itu kaum muslimin berkumpul beramai-ramai, berjajar-jajar, asmping menyamping. Bila ada di antara mereka yang membawa kotoran dan kehadirannya menimbulkan bau tak sedap, maka akan mengganggu kekhusyu’an jama’ah lain yang sedang sholat juga.
Di antara ayat al-qur’an dan hadits yang berkaitan dengan thaharah, antara lain:
فيه رجال يحبون ان يتطهروا والله يحب المطهرين ( التوبة: 108)
Artinya:”Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (QS. At-Taubah: 108)
مفتاح الصلاة الطهور
“Kunci sholat adalah bersuci.”

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian wudlu, mandi, dan tayammum?
2.      Bagaimana hukum yang mendasari wudlu, mandi, dan tayammum?
3.      Apa saja yang termasuk syarat dan rukun dalam wudlu, mandi, dan tayammum?
4.      Apa saja perkara yang membatalkan dan yang mewajibkan wudlu, mandi, dan tayammum?

C.    Tujuan
1.   Untuk memahami pengertian wudlu, mandi, dan tayammum.
2.   Untuk memahami hukum yang mendasari wudlu, mandi, dan tayammum.
3.   Untuk mengetahui apa saja yang termasuk syarat dan rukun dalam wudlu, mandi, dan tayammum.
4.   Untuk mengetahui apa saja perkara yang membatalkan dan yang mewajibkan wudlu, mandi, dan tayammum.

D.    Manfaat
Manfaat yang diharapkan dalam makalah ini dapat ditinjau secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis, makalah ini diharapkan dapat memberikan sumbangan motivasi kepada segenap kaum muslimin Indonesia khususnya dan bagi seluruh umat muslim di dunia umumnya agar lebih memahami hakikat sebenarnya dalam berthaharah untuk menyempurnakan ibadah yang dilakukan.
 Sedangkan secara praktis, makalah ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada jami’ul ‘abidin untuk bersikap ihthiyath dalam melakukan ritual terhadap Sang Khaliq hingga mencapai derajat kamal dalam peribadahan.

















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Wudlu, Mandi, Dan Tayammum.
1.   Wudlu
Kata “wudlu”  (وُضوء) dengan dibaca dlammah huruf wawunya menurut pendapat yang lebih masyhur menunjukkan nama bagi suatu perbuatan. Pengertian inilah yang dimaksudkan di sini. Dan dengan dibaca fathah huruf wawunya (وَضوء)  menunjukkan nama suatu benda yang dipakai untuk berwudlu, yaitu air.[4]
2.   Mandi
Mandi menurut bahasa ialah mengalirnya air pada sesuatu (baik di badan maupun lainnya) secara mutlak (baik disertai niat atau tidak). Adapun menurut tinjauan syara’, mandi ialah mengalirnya air pada seluruh anggota badan mulai ujung kepala sampai ujung kaki disertai denagn niat yang dikhususkan.[5]
3.   Tayammum
Menurut etimologi, tayammum ialah kesengajaan, maksud. Sedangkan tayammum menurut terminologi adalah mendatangkan debu yang suci sampai ke wajah dan kedua tangan, sebagai gantinya wudlu atau mandi.[6]

B.    Hukum Yang Mendasari Wudlu, Mandi, Dan Tayammum.
الطهور شطر الايمان ... ( رواه المسلم )
“Kesucian itu sebagian dari iman … (HR. Muslim).”
Sesuai hadits di atas, jelas adanya bahwa thaharah (bersuci) merupakan ciri terpenting dalam islam. Bersih atau suci ini tidak hanya lahir tapi juga batin. Hal ini berarti secara tersirat kewajiban wudlu, mandi, dan tayammum itu memang benar kebenarannya. Karena wudlu, mandi, dan tayammum termasuk cara melakukan thaharah yang menjadi syarat diterimanya ibadah hamba oleh Sang Khaliq, termasuk sholat.


1.   Wudlu
Menelusuri bahwa syarat sholat yaitu syarat yang harus dilakukan ketika hendak melakukan sholat adalah termasuk sucinya beberapa anggota badan, baik dari hadats kecil maupun hadats besar, maka dalam hal ini wudlu hukumnya wajib selama ia mampu melakukannya (ketika dalam situasi dan kondisi yang normal).
Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
ياْيها الذين امنوا اذا قمتم الى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وايديكم الى المرافق وامسحوا برئوسكم وارجلكم الى الكعبين ( المائدة:6 )
Artinya:”Hai orang-orang ang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku, serta usaplah kepala dan basuh kakimu sampai mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)
Demikian pula diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa nabi SAW pernah bersabda:
لايقبل الله صلاة احدكم اذا احدث حتى يتوضأ ( رواه البخارى )
“Allah tidak akan menerima sholat seseorang di antara kalian apabila berhadats, sehingga ia berwudlu.” (HR. Bukhari)
2.   Mandi
Layaknya wudlu, mandi pun diwajibkan untuk menghilangkan hadats besar yang menjadi penghalang tidak sahnya melakukan ibadah mahdlah.
Allah SWT berfirman:
وان كنتم جنبا فالطهروا ( المائدة: 6 )
 “Dan jika kamu junub, maka mandilah.” (QS. Al-Maidah:6)
Rasulullah SAW pun bersabda:
مفتاح الصلاة الطهور.
“Kunci sholat adalah bersuci.”
3.   Tayammum
Jika wudlu dan mandi diwajibkan sebagai syarat sahnya melakukan ibadah mahdlah termasuk sholat, maka tayammum di sini pun hukumnya wajib karena ia sebagai badal (pengganti) karena keterhalangan seseorang dalam melakukan wudlu dan mandi, baik karena sakit atau memang keberadaan air tak mendukungnya.
وان كنتم مرضى او على سفر او جاء احد منكم من الغائط او لمستم النساء فلم تجد ماء فتيمموا صعيدا طيبا فامسحوا بوجوهكم وايديكم ... (النساء: 43)
Artinya:”Dan jika kamu sakit atau sedang dalam keadaan musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayammumlah kamu dengan tanah yang baik (suci), usaplah mukamu dan tanganmu...” (QS. An-Nisa’:43).

C.    Syarat Dan Rukun Dalam Wudlu, Mandi, Dan Tayammum.
1.   Wudlu
Wudlu dalam arti suatu perbuatan yang menjadi syarat sahnya melakukan ibadah memiliki beberapa syarat dan rukun. Di antara syarat wudlu yaitu:
a.    Islam.
b.   Tamyiz (sudah mulai mengerti baik dan buruk).
Tamyiz ditandai dengan pengetahuan anak akan hal-hal yang bermanfaat dan berbahaya, kemampuan anak untuk makan, minum, membersihkan kotoran, dan lain sebagainya. Biasanya tamyiz terjadi pada usia 6-7 tahun.
c.    Suci dari haid dan nifas.
d.   Bersih dari hal-hal yang menghalangi sampainya air ke kulit.
e.    Tidak ada sesuatu yang dapat mengubah kemutlakan air pada anggota wudlu.
f.    Mengetahui kefardluan wudlu.
g.   Tidak meyakini sunnah pada hal-hal yang bersifat fardlu.
h.   Air yang dipakai adalah air yang suci dan mensucikan.
i.     Sudah masuk waktu sholat.
Syarat dukhulul waqti ini hanya berlaku bagi daimul hadats dan wanita mustahadlah. Sebab kesucian dua orang ini disebut suci darurat. Sedang darurat tidak terjadi sebelum masuk waktu sholat.
j.     Berturut-turut wudlu bagi daimul hadats (orang yang selalu mengalami hadats, seperti beser).[7]
Sedangkan rukun atau fardlunya wudlu itu ada 6, antara lain:
a.    Niat.
Menurut pandangan syara’, hakikat niat adalah (di dalam hati) bermaksud sesuatu dengan disertai pekerjaan. Jadi, jika maksud tadi tidak disertai sekaligus dengan mengerjakan sesuatu maka hal ini tidak bisa dinamakan niat, melainkan “Azam.”
Dalam hal ini, niat wudlu dilakukan saat membasuh permulaan sebagian dari wajah, yakni niat dibarengkan dengan membasuh sebagian wajah bukan sebelum selesai secara keseluruhan, bukan sebelumnya, bukan pula sesudahnya.
Bagi orang yang sedang berwudlu, harus niat menghilangkan hadats yang ditanggungnya, atau niat menunaikan syarat diperkenankannya mengerjakan sesuatu yang membutuhkan wudlu, atau niat menunaikan fardlunya wudlu, atau niat bersuci menghilangkan hadats.
Jadi, apabila orang yang sedang berwudlu tidak niat menghilangkan hadats maka dianggap tidak sah wudlunya. Jika ada mutawadli’ (orang yang wudlu) berniat dengan menggunakan niat yag sudah lazim dan disertakan pula niat membersihkan badan atau niat agar badan terasa segar maka wudlunya tetap dianggap sah.
b.   Membasuh bagian muka secara keseluruhan.
Adapun batas wajah yang harus dibasuh yaitu dari atas ke bawah mulai tempat tumbuhnya rambut kepala menurut ukuran umumnya orang, sampai pada bagian bawah kedua dagu (dua tulang yang padanya tumbuh gigi bagian bawah, yang bagian awalnya berkumpul di dagu dan bagian akhirnya berkumpul di telinga).
Sedangkan batas lebarnya wajah yaitu batas antara kedua telinga (mulai dari telinga kanan hingga telinga kiri).
Apabila pada bagian wajah terdapat rambut yang tumbuh, baik rambut itu jarang maupun lebat, maka wajib membasuhnya hingga air sampai pada kulit di mana rambut itu tumbuh.
Adapun jenggot laki-laki yang tumbuh lebat, sekiranya orang yang berbicara di depannya tak dapat melihat kulit dari sela jenggot, maka cukup membasuh bagian yang tampak saja. Jika jenggot lelaki tumbuh tipis, maka dalam hal ini wajib membasuh hingga air mengena pada bagian kulit.
Berbeda dengan persoalan jenggot yang dimiliki perempuan maupun orang banci, wajib bagi mereka membasuhnya hingga air mengena pada kulit sekalipun jenggot tersebut lebat.
c.    Membasuh kedua tangan sampai siku.
Jika ada seseorang yang tidak memiliki siku maka yang dibasuh adalah bagian yang diperkirakan sebagai siku. Wajib juga membasuh bagian-bagian yang ada pada kedua tangan seperti rambut (bulu), uci-uci (daging yang tumbuh di badan), jari-jari tambahan dan kuku-kuku sekalipun panjang, juga wajib menghilangkan kotoran yang ada di bawah kuku karena bisa menghalangi air sampai pada kuku.
d.   Mengusap sebagian kepala.
Selama masih dalam batasan kepala, pengusapan tetap dianggap sah meskipun ang diusap hanya sehelai rambut. Demikian juga bila ada orang yang hanya meletakkan tangan yang sudah dibasahi tanpa mengerak-gerakkannya, maka sah pula hukumnya.
e.    Membasuh kedua kaki beserta mata kaki.
Selama mutawadli’ tidak memakai dua muzah, jika memakai muzah maka wajib mengusap kedua muzah tersebut.
Seperti halnya membasuh tangan, dalam pembasuhan kaki juga wajib membasuh segala hal yang ada pada kedua kaki.
f.    Tertib.
Dalam wudlu diharukan tertib sesuai ketentuan urutan pada fardlu-fardlunya wudlu. Jika ada mutawadli’ yang lupa akan tertib maka tidak sah wudlunya.
2.   Mandi
Rukun (syarat yang harus dipenuhi sewaktu sedang mandi) ada 3, antara lain:
a.    Niat.
Seperti halnya dalam wudlu ataupun ritual yang lainnya, niat dalam mandi juga dibarengkan dengan awal melakukan fardlu mandi, yaitu ketika mulai melakukan pembasuhan yang pertama.jika ada seseorang setelah ia membasuh sebagian anggota tubuh, maka wajib mengulang basuhan yang telah dilakukan tersebut.
b.   Menghilangkan najis.
Menurut Imam Rafi’I, wajib menghilangkan najis jika memang terdapat najis pada anggota badan mughtasil (orang yang mandi). Menurut beliau pula, tidak cukup basuhan sekali untuk menghilangkan najis.
Adapun Imam Nawawi mengatakan bahwa “sekali basuhan untuk menghilangkan najis sudah dianggap sah jika najisnya berupa najisnya berupa najis hukmiyah. Jika najis yang terdapat pada anggota tubuh berupa najis ainiyah, maka wajib melakukan dua kali basuhan untuk menghilangkan najis.”
c.    Meratakan air ke seluruh anggota badan.
Angota badan yang dimaksud adalah seluruhya, termasuk seluruh rambut dan kulit. Tak ada perbedaan antara rambut yang tumbuh di kepala atau yang tumbuh di anggota tubuh lainnya. Tak ada perbedaan juga antara rambut yang tumbuh jarang maupun yang lebat. Semuanya wajib terkena basuhan air.
Adapun kulit ang wajib dibasuh yaitu semua yang tampak kelihatan oleh mata. Termasuk lubang kedua telinga, hal-hal yang tampak pada hidung yang terpotong, bagian tubuh yang terbelah, bagian bawah penis dzakar (kulup dzakar), termasuk juga hal-hal yang tampak di bagian kemaluan wanita saat duduk untuk menjalankan hajatnya (buang air besar).
3.   Tayammum
Adapun syarat-syarat tayammum itu ada 5 perkara, yaitu:
a.  Terdapat halangan, baik sebab bepergian maupun sebab sakit.
b. Masuk waktunya sholat.
Oleh karena itu tidak sah tayammumnya seseorang yang dilakukan sebelum masuknya waktu sholat.
c.  Harus mencari air terlebih dahulu sesudah masuk waktu sholat.
Baik mutayammim (orang yang tayammum) mencari air sendiri, maupun dilakukan oleh orang lain yang telah diberi izin.
Apabila seseorang dalam keadaan sendiri dan berada di tanah yang datar, maka hendaklah ia melihat ke kanan kiri dan dari berbagai arah untuk mencari air. Sedangkan apabila dia berada di tanah yang naik turun, maka hendaklah berupaya ke sana ke mari menurut kadar kemampuan jangkauan pandangan matanya.
d.       Keterhalangan menggunakan air.
Misalnya karena ada kekhawatiran menggunakan air akan melenyapkan nyawa atau menghilangkan fungsi anggota badan.
 Termasuk juga dalam hal keterhalangan menggunakan air ialah apabila di dekat seseorang itu ada air sedangkan apabila air itu diambil ia takut terancam jiwanya oleh binatang buas atau musuh, atau mengkhawatirkan harta bendanya akan dicuri atau dighashab. Atau apabila ada air tersebut untuk memberi minum binatang yang tidak boleh dibiarkan mati kehausan.
e.  Memakai debu yang suci.
Yang dimaksud debu suci di sini adalah debu suci yang tidak basah. Debu suci itu bisa jadi dari debu hasil ghashaban atau debu tanah kuburan yang belum digali. Menurut Imam Nawawi dalam kitab Syarah Muhadzab dan Tash-hih “tanah yang berdebu tapi bercampur dengan kapur atau kerikil maka tidak  bisa digunakan untuk tyammum.” Tapi dalam kitab Raudlah dan Fatawa, Imam Nawawi memperbolehkan penggunaan debu suci yang terdapat campuran.
Adapun debu musta’mal (sudah pernah dipakai) tidak sah menggunakannya untuk tayammum.
Fardlu atau rukun yang merupakan sesuatu yang harus dikerjakan sewaktu sedang taymmum, antara lain:
a.    Niat.
Wajib hukumnya niat taymmum dilakukan bersama pemindahan debu untuk mengusap wajah dan kedua tangan. Serta harus senantiasa menyertakan niat sampai mengusap sebagian wajah.
Seandainya mutayammim berhadats sesudah ia memindah debu, maka ia tidak diperkenankan mengusap wajah dan kedua tangan dengan menggunakan debu tersebut, tapi ia harus pindah mengambil debu yang lain.
Adapun lafadz niat tayammum adalah:
نويت اتيمم لاستباحة الصلاة فرضا لله تعالى.
atau
نويت استباحة مفتقر الى طهر فرضا لله تعالى.
b.   Mengusap wajah dan kedua tangan sampai siku.
Pengusapan kedua tangan ini dilakukan dengan dua kali pukulan. Seandainya mutayammimmeletakkannya di atas debu yang halus, lalu melekatlah debu lain apa tangannya tanpa melalui pukulan, maka hal ini dianggap cukup (sah hukumnya).
c.    Tertib.
Jadi, wajib hukumnya mendahulukan mengusap wajah daripada kedua tangan. Baik ia taymmum untuk bersuci dari hadats kecil maupun hadats besar. Apabila tertib ini ditinggalkan, maka belum dianggap sah tayammumnya.
D.    Perkara Yang Membatalkan Dan Yang Mewajibkan Wudlu, Mandi, Dan Tayammum.
1.   Wudlu
Beberapa perkara yang merusak (membatalkan) wudlu, yaitu biasa disebut juga dengan sebab-sebab hadats, antara lain:
a.    Adanya sesuatu yang keluar dari salah satu dua jalan yaitu qubul dan dubur.
Di mana keluarnya sesuatu tersebut dari seseorang yang telah melakukan wudlu, dia dalam keadaan hidup, dan sesuatu yang keluar itu jelas. Baik yang keluar itu hal yang biasa seperti air kencing dan kotoran buang air besar, atau hal yang jarang terjadi (langka) seperti darah dan kerikil.baik yang keluar berupa barang najis ataupun berupa barang yang suci seperti ulat (cacing), kecuali air sperma (mani).
b.   Tidur pada posisi pantat tidak menetap di atas tanah yang ia duduki.
c.    Hilangnya akal.
Yang dimaksud hilang akal di sini yaitu tidak sadarkan diri sebab mabuk atau sakit, gila, ayan, ataupun sebab lainnya.
d.   Bersentuhannya laki-laki dengan perempuan yang bukan muhrim, walaupun perempuan itu tidak bernyawa.
e.    Menyentuh alat kelamin manusia dengan bagian dalam telapak tangan.


2.   Mandi
Adapun perkara yang mewajibkan seseorang untuk mandi itu ada 6. Tiga di antaranya sama-sama terdapat pada laki-laki dan perempuan, yaitu:
a.    Bertemunya dua alat kelamin.
b.   Keluarnya mani.
Meskipun mani (sperma) yang keluar itu sedikit seperti setetes dan meskipun ia berupa warna darah.
Juga walaupun sperma yang keluar disebabkan oleh senggama ataupun tidak, baik dalam keadaan tidur maupun sadar, baik disertai syahwat atau tidak, dan baik dengan cara yang wajar ataupun tidak, seperti jika tulang rusuk seseorang pecah, lalu karenanya keluar air maninya.
c.    Meninggal.
Di sini terdapat pengecualian bagi yang mati syahid (semua orang yang mati wajib dimandikan kecuali mati syahid).
Adapun tiga (dari 6 hal yang menyebabkan mandi) yang lain, khusus terdapat pada perempuan, yaitu:
a.    Haidl.
Yaitu keluarnya darah dari puncak rahim seorang wanita yang sudah mencapai usia 9 tahun dalam keadaan sehat.
b.   Nifas.
Yaitu keluarnya darah dari puncak rahim seorang wanita, beriringan sehabis ia melahirkan anak.
c.    Melahirkan.
Melahirkan anak yang dibarengi basah-basah itu mewajibkan mandi (tidak ada perselisihan antar ulama’ fiqih). Sedang, melahirkan anak yang tidak dibarengi basah-basah menurut pendapat tershahih mewajibkan seseorang untuk mandi pula.
3.   Tayammum
Perkara yang membatalkan tayammum ada 3, yaitu:
a.    Segala perkara yang membatalkan wudlu.
b.   Melihat air.
Barang siapa melakukan tayammum karena tidak adanya air, kemudian ia melihat air atau hanya menduga-duga akan adanya air sebelum masuk waktu sholat, maka batallah tayammumnya.
Adapun apabila ia melihat air melihat air sesudah masuknya waktu sholat, maka seketika itu batal sholatnya jika sholat yag dilakukan itu temasuk sholat yang tidak bisa gugur kewajiban menunaikannya sebab tayammum, sebab sebagaimana sholatnya orang yang muqim.
Apabila seseorang melakukan tayammum karena sakit atau alasan lain yang semisal, kemudian tiba-tiba ia mellihat air, maka melihatnya orang itu akan adanya air tersebut tidak berpengaruh apa-apa. Bahkan, tayammumnya tetap sah seperti sedia kala.
c.    Murtad.
Demikian juga terdapat 3 perkara yang menyebabkan tayammum diperbolehkan (bersuci dengan debu sebagai ganti wudlu), diantara 3 perkara tersebut adalah:
a.    Tidak tersedianya air.
b.   Sakit.
c.    Ada hewan muhtaram.
Yakni hewan yang dimuliakan oleh islam yang membutuhkan air karena kehausan, sedangkan air itu terbatas jumlahnya.
Adapun hewan yang tidak muhtaram ada 6, yaitu:
a.    Orang yang meninggalkan sholat.
b.   Orang zina muhshon.
Yakni perzinaan yang dilakukan oleh orang yang sudah bersuami atau beristri.
c.    Orang murtad.
Yakni orang yang keluar dari agama islam (terputus keislamannya).
d.   Orang kafir harbi.
Yakni mereka golongan orang kafir yang jelas memusuhi orang islam.
e.    Anjing liar.
f.    Babi.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Thaharah diwajibkan sebagai syarat sahnya melakukan ibadah termasuk sholat salah satunya. Thaharah yang dimaksud tidak hanya suci lahir tapi juga suci batin. Suci batin dari sifat-sifat tercela dan suci lahir dari hadats kecil dan besar yang harus dihilangkan dengan ritual yang telah diajarkan syari’at yaitu wudlu, mandi dan tayammum.
Mengenai syarat dan rukun syari’at telah mengajarkan. Sedangkan kaifiyah (tata cara)nya pun telah dijelaskan. Bahkan terdapat begitu banyak rukhshoh (keringanan) yang disediakan untuk mempermudah kaum muslimin sebagai lantaran tetap melakukan kewajibannya sebagai hamba Sang Khaliq yang bertakwa dengan selalu menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.

B.     Saran
Sudah sepantasnya kita sebagai kaum muslimin mengetahui akan kewajiban thaharah dan kaifiyahnya, dan mungkin makalah ini sangat bermanfaat bagi kita untuk dijadikan sebagai pegangan dalam pembelajaran tentang fiqih, apalagi fiqih merupakan bagian terpenting dalam islam. Seperti halnya diterangkan dalam kitab ta’limul muta’allim, “seribu orang bodoh lebih mudah diganggu dan digoda syetan daripada satu orang yang ahli fiqih.”


















DAFTAR PUSTAKA
Muhammad bin Qasim Al-Ghazy. 1991.  Fathul Qorib, Juz 1, (Terj.) Ahmad Sunarto. Surabaya: Al-Hidayah.
Salim bin Samir. 1995. Safinatun Najah, (Terj.) Labib Asrori. Magelang: Pelita Dunia Surabaya.
Syeikh Ali Ahmad. 1992.  Falsafah dan Hikmah Hukum Islam, (Terj.) Syeikh Ali Ahmad Al-Jurjawi. Semarang: Asy- Syifa’.



[1], Muhammad bin Qasim Al-Ghazy, Fathul Qorib, Juz 1, (Terj.) Ahmad Sunarto (Surabaya: Al-Hidayah, 1991), 20.
[2] Syeikh Ali Ahmad, Falsafah dan Hikmah Hukum Islam, (Terj.), Syeikh Ali Ahmad Al-Juyrjawi (Semarang: Asy- Syifa’, 1992), 76.
[3] Ibid., 75.             
[4] Muhammad bin Qasim Al-Ghazy, “Fathul Qorib, Juz 1, (Terj.)”, 35.
[5] Ibid., 57.
[6] Ibid., 76.
[7] Salim bin Samir, Safinatun Najah, (Terj.) Labib Asrori (Magelang: Pelita Dunia Surabaya, 1995), 17.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar