WUDLU, MANDI, DAN TAYAMMUM
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Fiqih”

Disusun oleh :
Hanum Nurrikatus Sholichah: 1114117
Oktafiani Kartika Nur Huda: 1114110
Dosen Pengampu:
M. Dahlan Bisri, H. Lc. M
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS
PESANTREN TINGGI DARUL ULUM
JOMBANG
2015
KATA PENGANTAR
الحمد لله وحده, القاْئل "فلو لا
نفر من كل فرقة منهم طائفة ليتفقهوا فى الدين". الصلاة والسلام على من
لا نبي بعده, القائل فيما اوتي من جوامع الكلم:
( من يرد الله خيرا يفقهه فى الدين ) وعلى اله وصحبه و
من تبعهم باحسن اجمعين. اما بعد.
Sejenak
kami panjatkan bingkaian syukur kepada Allah Asy-Syakur, atas nikmat-Nya yang
tak terukur sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini meski
masih ada kekurangan yang tak terhimpun.
Shalawat
dan salam semoga tetap terhadiahkan kepada sang revolusioner umat, pemimpin
himpunan rakyat dan masyarakat, pemberi syafa’at kelak fil yaumil ma’ad. Beliau
Nabi Muhammad SAW yang tiada letihnya memperjuangkan panji keagamaan hingga
sampai saat ini mampu kita rasakan manisnya iman dan islam.
Selanjutnya
kami menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan
banyak kekurangan yang sangat membutuhkan revisi atau pembenahan, sehingga kami
sangat mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif demi kesempurnaan dalam
penulisan makalah selanjutnya.
Akhirnya
kami berharap semoga makalah ini akan membawa manfaat pada kami khususnya dan
para pembaca yang budiman pada umumnya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Thaharah menurut bahasa artinya sama dengan kata “Nadzafah”
(bersih dari kotoran). Adapun menurut syara’ banyak ulama’ yang berpendapat. Di
antara mereka yang berpendapat “suatu perbuatan yang karenanya seseorang
diperbolehkan mengerjakan sholat.”[1]
Seperti wudlu, mandi, dan tayammum.
Pada dasarnya, thaharah merupakan kebersihan lahir yang mempunyai
kedududkan penting. Namun, selain itu, terdapat kebersihan batin yang harus
dimiliki oleh seseorang yaitu berupa keikhlasan hati tanpa adanya kesombongan,
hasud, ‘ujub, dan sifat-sifat tercela lainnya yang merusak akhlak.[2]
Sabda Nabi SAW: النظافة من الايمان
. Maksudnya adalah kebersihan secara maknawi. Karena seorang muslim yang
mempunyai sifat tercela akan bisa melemahkan imannya, tapi bila batinnya
terlepas dari sifat-sifat tersebut, rohnya bersih dan jiwanya suci, maka
sempurnalah imannya. Jadi maksud hadits yang mempunyai arti “kebersihan adalah
sebagian dari iman” itu bukan hanya kebersihan lahir tapi juga kebersihan
batin. Disebutkan dalam kitab al-Bada’I sebagai berikut:
1.
Thaharah
ada 2 macam, yaitu: thaharah hakkiyah yang merupakan suci pakaian, badan, dan
tempat sholat dari najis hakiki. Dan najis hukmiyah yaitu suci anggota wudlu
dari hadats kecil dan seluruh anggota tubuh dari janabat.
2.
Perintah
mandi dari hadats dan janabat merupakan pensucian batin dari penipuan, hasu,
sombong, su’udzon, dan sifat tercela lain penyebab dosa.
3.
Mensucikan
anggota badan adalah merupakan rasa terima kasih atas nikmat di atas nikmat
melalui sholat.
4.
Perintah
mensucikan anggota badan berguna untuk membebaskannya dari dosa-dosa yang telah
dilakukan.
Dalam pembahasan ini, lebih difokuskan pada thaharah jasmani yang
dilakukan melalui wudlu, mandi, dan tayammum.
Seperti yang telah diketahui bersama, jika seseorang memiliki
anggota badan atau pakaian yang kotor, jiwa akan jijik, hati dan matapun akan
berpaling darinya. Begitu pula jika seorang ingin menghadap pada atasan atau
pimpinan pasti memilih pakaian terbersih dan terbaik, sehingga sang pemimpin
tidak murka karena mersa dihargai. Kalau aturan pergaulan sesama manusia saja
layaknya demikian, apalagi jika berhubungan dengan Allah, rajanya semua raja
yang ada, raja yang menguasai semesta, dan raja yang tak ada bandingan baginya.
Allah yang Maha Bijaksana mewajibkan wudlu dan mandi serta tayammum
sebagai pengganti agar manusia terbebas dari kotoran yang menjadi hambatan
tidak sah dan tidak nyamannya ketika melaksanakan kewajiban ibadah.[3]
Para malaikat membenci hamba yang ketika sholat memakai pakaian kotor dan dekil
serta berbau, apalagi ketika sholat jama’ah bershaf-shaf, akan bisa mengganggu
orang lain. Memang kalau kotor belum tentu najis, sebaliknya kalau najis sudah
pasti kotor. Tapi setidaknya kita mampu memposisikan di mana kondisi kita
berada. Fiqih memang penting tapi belum afdlal jika tidak diimbangi dengan
akhlak. Oleh karena itu, Allah Al-Hakim mensunnahkan mandi pada hari jum’at dan
hari raya, karena pada waktu itu kaum muslimin berkumpul beramai-ramai,
berjajar-jajar, asmping menyamping. Bila ada di antara mereka yang membawa
kotoran dan kehadirannya menimbulkan bau tak sedap, maka akan mengganggu
kekhusyu’an jama’ah lain yang sedang sholat juga.
Di antara ayat al-qur’an dan hadits yang berkaitan dengan thaharah,
antara lain:
فيه رجال يحبون
ان يتطهروا والله يحب المطهرين ( التوبة: 108)
Artinya:”Di dalamnya ada orang-orang yang
ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (QS.
At-Taubah: 108)
مفتاح الصلاة الطهور
“Kunci sholat adalah bersuci.”
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian wudlu, mandi, dan tayammum?
2.
Bagaimana hukum yang mendasari wudlu, mandi,
dan tayammum?
3.
Apa saja yang termasuk syarat dan rukun dalam wudlu,
mandi, dan tayammum?
4.
Apa saja perkara yang membatalkan dan yang
mewajibkan wudlu, mandi, dan tayammum?
C.
Tujuan
1.
Untuk memahami pengertian wudlu, mandi, dan
tayammum.
2.
Untuk memahami hukum yang mendasari wudlu,
mandi, dan tayammum.
3.
Untuk mengetahui apa saja yang termasuk syarat
dan rukun dalam wudlu, mandi, dan tayammum.
4.
Untuk mengetahui apa saja perkara yang
membatalkan dan yang mewajibkan wudlu, mandi, dan tayammum.
D.
Manfaat
Manfaat yang diharapkan dalam makalah ini
dapat ditinjau secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis, makalah
ini diharapkan dapat memberikan sumbangan motivasi kepada segenap kaum muslimin
Indonesia khususnya dan bagi seluruh umat muslim di dunia umumnya agar lebih
memahami hakikat sebenarnya dalam berthaharah untuk menyempurnakan ibadah yang
dilakukan.
Sedangkan secara praktis, makalah ini
diharapkan dapat memberikan masukan kepada jami’ul ‘abidin untuk
bersikap ihthiyath dalam melakukan ritual terhadap Sang Khaliq hingga
mencapai derajat kamal dalam peribadahan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Wudlu, Mandi, Dan Tayammum.
1.
Wudlu
Kata “wudlu” (وُضوء) dengan dibaca dlammah huruf wawunya menurut pendapat
yang lebih masyhur menunjukkan nama bagi suatu perbuatan. Pengertian inilah
yang dimaksudkan di sini. Dan dengan dibaca fathah huruf wawunya (وَضوء) menunjukkan nama suatu benda yang dipakai
untuk berwudlu, yaitu air.[4]
2.
Mandi
Mandi menurut bahasa ialah mengalirnya air
pada sesuatu (baik di badan maupun lainnya) secara mutlak (baik disertai niat
atau tidak). Adapun menurut tinjauan syara’, mandi ialah mengalirnya air pada
seluruh anggota badan mulai ujung kepala sampai ujung kaki disertai denagn niat
yang dikhususkan.[5]
3.
Tayammum
Menurut etimologi, tayammum ialah kesengajaan, maksud. Sedangkan tayammum
menurut terminologi adalah mendatangkan debu yang suci sampai ke wajah dan
kedua tangan, sebagai gantinya wudlu atau mandi.[6]
B.
Hukum
Yang Mendasari Wudlu, Mandi, Dan Tayammum.
الطهور شطر
الايمان ... ( رواه المسلم )
“Kesucian itu sebagian dari iman … (HR. Muslim).”
Sesuai hadits di atas, jelas adanya
bahwa thaharah (bersuci) merupakan ciri terpenting dalam islam. Bersih
atau suci ini tidak hanya lahir tapi juga batin. Hal ini berarti secara
tersirat kewajiban wudlu, mandi, dan tayammum itu memang benar kebenarannya.
Karena wudlu, mandi, dan tayammum termasuk cara melakukan thaharah yang menjadi
syarat diterimanya ibadah hamba oleh Sang Khaliq, termasuk sholat.
1.
Wudlu
Menelusuri bahwa syarat sholat yaitu syarat yang harus dilakukan
ketika hendak melakukan sholat adalah termasuk sucinya beberapa anggota badan,
baik dari hadats kecil maupun hadats besar, maka dalam hal ini wudlu hukumnya
wajib selama ia mampu melakukannya (ketika dalam situasi dan kondisi yang
normal).
Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
ياْيها
الذين امنوا اذا قمتم الى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وايديكم الى المرافق وامسحوا
برئوسكم وارجلكم الى الكعبين ( المائدة:6 )
Artinya:”Hai orang-orang ang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku, serta
usaplah kepala dan basuh kakimu sampai mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)
Demikian pula diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa nabi SAW
pernah bersabda:
لايقبل
الله صلاة احدكم اذا احدث حتى يتوضأ ( رواه البخارى )
“Allah
tidak akan menerima sholat seseorang di antara kalian apabila berhadats,
sehingga ia berwudlu.” (HR. Bukhari)
2.
Mandi
Layaknya wudlu, mandi pun diwajibkan untuk menghilangkan hadats
besar yang menjadi penghalang tidak sahnya melakukan ibadah mahdlah.
Allah SWT berfirman:
وان كنتم جنبا
فالطهروا ( المائدة: 6 )
“Dan jika kamu junub,
maka mandilah.” (QS. Al-Maidah:6)
Rasulullah SAW pun bersabda:
مفتاح الصلاة
الطهور.
“Kunci sholat adalah bersuci.”
3.
Tayammum
Jika wudlu dan mandi diwajibkan sebagai syarat sahnya melakukan
ibadah mahdlah termasuk sholat, maka tayammum di sini pun hukumnya wajib karena
ia sebagai badal (pengganti) karena keterhalangan seseorang dalam
melakukan wudlu dan mandi, baik karena sakit atau memang keberadaan air tak
mendukungnya.
وان كنتم مرضى
او على سفر او جاء احد منكم من الغائط او لمستم النساء فلم تجد ماء فتيمموا صعيدا
طيبا فامسحوا بوجوهكم وايديكم ... (النساء: 43)
Artinya:”Dan jika kamu sakit atau sedang dalam
keadaan musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh
perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayammumlah kamu dengan
tanah yang baik (suci), usaplah mukamu dan tanganmu...” (QS. An-Nisa’:43).
C.
Syarat Dan Rukun Dalam Wudlu, Mandi, Dan
Tayammum.
1.
Wudlu
Wudlu dalam arti suatu perbuatan yang menjadi syarat sahnya
melakukan ibadah memiliki beberapa syarat dan rukun. Di antara syarat wudlu
yaitu:
a.
Islam.
b.
Tamyiz
(sudah mulai mengerti baik dan buruk).
Tamyiz ditandai dengan pengetahuan anak akan hal-hal yang
bermanfaat dan berbahaya, kemampuan anak untuk makan, minum, membersihkan
kotoran, dan lain sebagainya. Biasanya tamyiz terjadi pada usia 6-7 tahun.
c.
Suci
dari haid dan nifas.
d.
Bersih
dari hal-hal yang menghalangi sampainya air ke kulit.
e.
Tidak
ada sesuatu yang dapat mengubah kemutlakan air pada anggota wudlu.
f.
Mengetahui
kefardluan wudlu.
g.
Tidak
meyakini sunnah pada hal-hal yang bersifat fardlu.
h.
Air
yang dipakai adalah air yang suci dan mensucikan.
i.
Sudah
masuk waktu sholat.
Syarat dukhulul waqti ini hanya berlaku bagi daimul
hadats dan wanita mustahadlah. Sebab kesucian dua orang ini disebut
suci darurat. Sedang darurat tidak terjadi sebelum masuk waktu sholat.
j.
Berturut-turut
wudlu bagi daimul hadats (orang yang selalu mengalami hadats, seperti beser).[7]
Sedangkan rukun atau fardlunya wudlu itu ada 6, antara lain:
a.
Niat.
Menurut pandangan syara’, hakikat niat adalah (di dalam hati)
bermaksud sesuatu dengan disertai pekerjaan. Jadi, jika maksud tadi tidak
disertai sekaligus dengan mengerjakan sesuatu maka hal ini tidak bisa dinamakan
niat, melainkan “Azam.”
Dalam hal ini, niat wudlu dilakukan saat membasuh permulaan
sebagian dari wajah, yakni niat dibarengkan dengan membasuh sebagian wajah
bukan sebelum selesai secara keseluruhan, bukan sebelumnya, bukan pula
sesudahnya.
Bagi orang yang sedang berwudlu, harus niat menghilangkan hadats
yang ditanggungnya, atau niat menunaikan syarat diperkenankannya mengerjakan
sesuatu yang membutuhkan wudlu, atau niat menunaikan fardlunya wudlu, atau niat
bersuci menghilangkan hadats.
Jadi, apabila orang yang sedang berwudlu tidak niat menghilangkan
hadats maka dianggap tidak sah wudlunya. Jika ada mutawadli’ (orang yang
wudlu) berniat dengan menggunakan niat yag sudah lazim dan disertakan pula niat
membersihkan badan atau niat agar badan terasa segar maka wudlunya tetap
dianggap sah.
b.
Membasuh
bagian muka secara keseluruhan.
Adapun batas wajah yang harus dibasuh yaitu dari atas ke bawah
mulai tempat tumbuhnya rambut kepala menurut ukuran umumnya orang, sampai pada
bagian bawah kedua dagu (dua tulang yang padanya tumbuh gigi bagian bawah, yang
bagian awalnya berkumpul di dagu dan bagian akhirnya berkumpul di telinga).
Sedangkan batas lebarnya wajah yaitu batas antara kedua telinga
(mulai dari telinga kanan hingga telinga kiri).
Apabila pada bagian wajah terdapat rambut yang tumbuh, baik rambut
itu jarang maupun lebat, maka wajib membasuhnya hingga air sampai pada kulit di
mana rambut itu tumbuh.
Adapun jenggot laki-laki yang tumbuh lebat, sekiranya orang yang
berbicara di depannya tak dapat melihat kulit dari sela jenggot, maka cukup
membasuh bagian yang tampak saja. Jika jenggot lelaki tumbuh tipis, maka dalam
hal ini wajib membasuh hingga air mengena pada bagian kulit.
Berbeda dengan persoalan jenggot yang dimiliki perempuan maupun
orang banci, wajib bagi mereka membasuhnya hingga air mengena pada kulit
sekalipun jenggot tersebut lebat.
c.
Membasuh
kedua tangan sampai siku.
Jika ada seseorang yang tidak memiliki siku maka yang dibasuh
adalah bagian yang diperkirakan sebagai siku. Wajib juga membasuh bagian-bagian
yang ada pada kedua tangan seperti rambut (bulu), uci-uci (daging yang tumbuh
di badan), jari-jari tambahan dan kuku-kuku sekalipun panjang, juga wajib
menghilangkan kotoran yang ada di bawah kuku karena bisa menghalangi air sampai
pada kuku.
d.
Mengusap
sebagian kepala.
Selama masih dalam batasan kepala, pengusapan tetap dianggap sah
meskipun ang diusap hanya sehelai rambut. Demikian juga bila ada orang yang
hanya meletakkan tangan yang sudah dibasahi tanpa mengerak-gerakkannya, maka
sah pula hukumnya.
e.
Membasuh
kedua kaki beserta mata kaki.
Selama mutawadli’ tidak memakai dua muzah, jika memakai
muzah maka wajib mengusap kedua muzah tersebut.
Seperti halnya membasuh tangan, dalam pembasuhan kaki juga wajib
membasuh segala hal yang ada pada kedua kaki.
f.
Tertib.
Dalam wudlu diharukan tertib sesuai ketentuan urutan pada
fardlu-fardlunya wudlu. Jika ada mutawadli’ yang lupa akan tertib maka
tidak sah wudlunya.
2.
Mandi
Rukun
(syarat yang harus dipenuhi sewaktu sedang mandi) ada 3, antara lain:
a.
Niat.
Seperti halnya dalam wudlu ataupun ritual yang lainnya, niat dalam
mandi juga dibarengkan dengan awal melakukan fardlu mandi, yaitu ketika mulai
melakukan pembasuhan yang pertama.jika ada seseorang setelah ia membasuh
sebagian anggota tubuh, maka wajib mengulang basuhan yang telah dilakukan
tersebut.
b.
Menghilangkan
najis.
Menurut
Imam Rafi’I, wajib menghilangkan najis jika memang terdapat najis pada anggota
badan mughtasil (orang yang mandi). Menurut beliau pula, tidak cukup basuhan
sekali untuk menghilangkan najis.
Adapun
Imam Nawawi mengatakan bahwa “sekali basuhan untuk menghilangkan najis sudah
dianggap sah jika najisnya berupa najisnya berupa najis hukmiyah. Jika najis
yang terdapat pada anggota tubuh berupa najis ainiyah, maka wajib melakukan dua
kali basuhan untuk menghilangkan najis.”
c.
Meratakan
air ke seluruh anggota badan.
Angota badan yang dimaksud adalah seluruhya, termasuk seluruh
rambut dan kulit. Tak ada perbedaan antara rambut yang tumbuh di kepala atau
yang tumbuh di anggota tubuh lainnya. Tak ada perbedaan juga antara rambut yang
tumbuh jarang maupun yang lebat. Semuanya wajib terkena basuhan air.
Adapun kulit ang wajib dibasuh yaitu semua yang tampak kelihatan
oleh mata. Termasuk lubang kedua telinga, hal-hal yang tampak pada hidung yang
terpotong, bagian tubuh yang terbelah, bagian bawah penis dzakar (kulup
dzakar), termasuk juga hal-hal yang tampak di bagian kemaluan wanita saat duduk
untuk menjalankan hajatnya (buang air besar).
3.
Tayammum
Adapun
syarat-syarat tayammum itu ada 5 perkara, yaitu:
a.
Terdapat halangan, baik sebab bepergian maupun
sebab sakit.
b. Masuk waktunya sholat.
Oleh karena itu tidak sah tayammumnya seseorang yang dilakukan
sebelum masuknya waktu sholat.
c.
Harus mencari air terlebih dahulu sesudah
masuk waktu sholat.
Baik
mutayammim (orang yang tayammum) mencari air sendiri, maupun dilakukan
oleh orang lain yang telah diberi izin.
Apabila
seseorang dalam keadaan sendiri dan berada di tanah yang datar, maka hendaklah
ia melihat ke kanan kiri dan dari berbagai arah untuk mencari air. Sedangkan
apabila dia berada di tanah yang naik turun, maka hendaklah berupaya ke sana ke
mari menurut kadar kemampuan jangkauan pandangan matanya.
d.
Keterhalangan menggunakan air.
Misalnya karena ada kekhawatiran menggunakan air akan melenyapkan nyawa
atau menghilangkan fungsi anggota badan.
Termasuk juga dalam hal
keterhalangan menggunakan air ialah apabila di dekat seseorang itu ada air
sedangkan apabila air itu diambil ia takut terancam jiwanya oleh binatang buas
atau musuh, atau mengkhawatirkan harta bendanya akan dicuri atau dighashab.
Atau apabila ada air tersebut untuk memberi minum binatang yang tidak boleh
dibiarkan mati kehausan.
e.
Memakai debu yang suci.
Yang dimaksud debu suci di sini adalah debu suci yang tidak basah.
Debu suci itu bisa jadi dari debu hasil ghashaban atau debu tanah kuburan yang
belum digali. Menurut Imam Nawawi dalam kitab Syarah Muhadzab dan Tash-hih
“tanah yang berdebu tapi bercampur dengan kapur atau kerikil maka tidak bisa digunakan untuk tyammum.” Tapi dalam
kitab Raudlah dan Fatawa, Imam Nawawi memperbolehkan penggunaan debu suci yang
terdapat campuran.
Adapun debu musta’mal (sudah pernah dipakai) tidak sah
menggunakannya untuk tayammum.
Fardlu atau rukun yang merupakan sesuatu yang harus dikerjakan
sewaktu sedang taymmum, antara lain:
a.
Niat.
Wajib hukumnya niat taymmum dilakukan bersama pemindahan debu untuk
mengusap wajah dan kedua tangan. Serta harus senantiasa menyertakan niat sampai
mengusap sebagian wajah.
Seandainya mutayammim berhadats sesudah ia memindah debu,
maka ia tidak diperkenankan mengusap wajah dan kedua tangan dengan menggunakan
debu tersebut, tapi ia harus pindah mengambil debu yang lain.
Adapun lafadz niat tayammum adalah:
نويت اتيمم
لاستباحة الصلاة فرضا لله تعالى.
atau
نويت استباحة
مفتقر الى طهر فرضا لله تعالى.
b.
Mengusap
wajah dan kedua tangan sampai siku.
Pengusapan kedua tangan ini dilakukan dengan dua kali pukulan.
Seandainya mutayammimmeletakkannya di atas debu yang halus, lalu
melekatlah debu lain apa tangannya tanpa melalui pukulan, maka hal ini dianggap
cukup (sah hukumnya).
c.
Tertib.
Jadi, wajib hukumnya mendahulukan mengusap wajah daripada kedua
tangan. Baik ia taymmum untuk bersuci dari hadats kecil maupun hadats besar.
Apabila tertib ini ditinggalkan, maka belum dianggap sah tayammumnya.
D.
Perkara Yang Membatalkan Dan Yang Mewajibkan
Wudlu, Mandi, Dan Tayammum.
1.
Wudlu
Beberapa perkara yang merusak (membatalkan) wudlu, yaitu biasa
disebut juga dengan sebab-sebab hadats, antara lain:
a.
Adanya
sesuatu yang keluar dari salah satu dua jalan yaitu qubul dan dubur.
Di mana keluarnya sesuatu tersebut dari seseorang yang telah
melakukan wudlu, dia dalam keadaan hidup, dan sesuatu yang keluar itu jelas.
Baik yang keluar itu hal yang biasa seperti air kencing dan kotoran buang air
besar, atau hal yang jarang terjadi (langka) seperti darah dan kerikil.baik
yang keluar berupa barang najis ataupun berupa barang yang suci seperti ulat
(cacing), kecuali air sperma (mani).
b.
Tidur
pada posisi pantat tidak menetap di atas tanah yang ia duduki.
c.
Hilangnya
akal.
Yang dimaksud hilang akal di sini yaitu tidak sadarkan diri sebab
mabuk atau sakit, gila, ayan, ataupun sebab lainnya.
d.
Bersentuhannya
laki-laki dengan perempuan yang bukan muhrim, walaupun perempuan itu tidak
bernyawa.
e.
Menyentuh
alat kelamin manusia dengan bagian dalam telapak tangan.
2.
Mandi
Adapun perkara yang mewajibkan seseorang untuk mandi itu ada 6.
Tiga di antaranya sama-sama terdapat pada laki-laki dan perempuan, yaitu:
a.
Bertemunya
dua alat kelamin.
b.
Keluarnya
mani.
Meskipun mani (sperma) yang keluar itu sedikit seperti setetes dan
meskipun ia berupa warna darah.
Juga walaupun sperma yang keluar disebabkan oleh senggama ataupun
tidak, baik dalam keadaan tidur maupun sadar, baik disertai syahwat atau tidak,
dan baik dengan cara yang wajar ataupun tidak, seperti jika tulang rusuk
seseorang pecah, lalu karenanya keluar air maninya.
c.
Meninggal.
Di sini terdapat pengecualian bagi yang mati syahid (semua orang
yang mati wajib dimandikan kecuali mati syahid).
Adapun tiga (dari 6 hal yang menyebabkan mandi) yang lain, khusus
terdapat pada perempuan, yaitu:
a.
Haidl.
Yaitu keluarnya darah dari puncak rahim seorang wanita yang sudah
mencapai usia 9 tahun dalam keadaan sehat.
b.
Nifas.
Yaitu keluarnya darah dari puncak rahim seorang wanita, beriringan
sehabis ia melahirkan anak.
c.
Melahirkan.
Melahirkan anak yang dibarengi basah-basah itu mewajibkan mandi
(tidak ada perselisihan antar ulama’ fiqih). Sedang, melahirkan anak yang tidak
dibarengi basah-basah menurut pendapat tershahih mewajibkan seseorang untuk
mandi pula.
3.
Tayammum
Perkara yang membatalkan tayammum
ada 3, yaitu:
a.
Segala
perkara yang membatalkan wudlu.
b.
Melihat
air.
Barang siapa melakukan tayammum karena tidak adanya air, kemudian
ia melihat air atau hanya menduga-duga akan adanya air sebelum masuk waktu
sholat, maka batallah tayammumnya.
Adapun apabila ia melihat air melihat air sesudah masuknya waktu
sholat, maka seketika itu batal sholatnya jika sholat yag dilakukan itu temasuk
sholat yang tidak bisa gugur kewajiban menunaikannya sebab tayammum, sebab
sebagaimana sholatnya orang yang muqim.
Apabila seseorang melakukan tayammum karena sakit atau alasan lain
yang semisal, kemudian tiba-tiba ia mellihat air, maka melihatnya orang itu
akan adanya air tersebut tidak berpengaruh apa-apa. Bahkan, tayammumnya tetap
sah seperti sedia kala.
c.
Murtad.
Demikian juga terdapat 3 perkara yang menyebabkan tayammum
diperbolehkan (bersuci dengan debu sebagai ganti wudlu), diantara 3 perkara
tersebut adalah:
a.
Tidak
tersedianya air.
b.
Sakit.
c.
Ada
hewan muhtaram.
Yakni hewan yang dimuliakan oleh islam yang membutuhkan air karena
kehausan, sedangkan air itu terbatas jumlahnya.
Adapun hewan yang tidak muhtaram ada 6, yaitu:
a.
Orang
yang meninggalkan sholat.
b.
Orang
zina muhshon.
Yakni perzinaan yang dilakukan oleh orang yang sudah bersuami atau
beristri.
c.
Orang
murtad.
Yakni orang yang keluar dari agama islam (terputus keislamannya).
d.
Orang
kafir harbi.
Yakni
mereka golongan orang kafir yang jelas memusuhi orang islam.
e.
Anjing
liar.
f.
Babi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Thaharah diwajibkan
sebagai syarat sahnya melakukan ibadah termasuk sholat salah satunya. Thaharah
yang dimaksud tidak hanya suci lahir tapi juga suci batin. Suci batin dari
sifat-sifat tercela dan suci lahir dari hadats kecil dan besar yang harus
dihilangkan dengan ritual yang telah diajarkan syari’at yaitu wudlu, mandi dan
tayammum.
Mengenai syarat dan
rukun syari’at telah mengajarkan. Sedangkan kaifiyah
(tata cara)nya pun telah dijelaskan. Bahkan terdapat begitu banyak rukhshoh (keringanan) yang disediakan
untuk mempermudah kaum muslimin sebagai lantaran tetap melakukan kewajibannya
sebagai hamba Sang Khaliq yang bertakwa dengan selalu menjalankan perintah dan
menjauhi larangan-Nya.
B.
Saran
Sudah sepantasnya kita sebagai kaum muslimin mengetahui akan kewajiban thaharah dan kaifiyahnya, dan mungkin makalah ini sangat
bermanfaat bagi kita untuk dijadikan sebagai pegangan dalam pembelajaran
tentang fiqih, apalagi fiqih merupakan
bagian terpenting dalam islam. Seperti halnya diterangkan dalam kitab ta’limul
muta’allim, “seribu orang bodoh lebih mudah diganggu dan digoda syetan daripada
satu orang yang ahli fiqih.”
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad bin Qasim Al-Ghazy. 1991. Fathul
Qorib, Juz 1, (Terj.) Ahmad Sunarto. Surabaya: Al-Hidayah.
Salim bin Samir. 1995. Safinatun Najah,
(Terj.) Labib Asrori. Magelang: Pelita Dunia Surabaya.
Syeikh Ali Ahmad. 1992. Falsafah
dan Hikmah Hukum Islam, (Terj.) Syeikh Ali Ahmad Al-Jurjawi. Semarang: Asy-
Syifa’.
[1], Muhammad bin Qasim Al-Ghazy, Fathul
Qorib, Juz 1, (Terj.) Ahmad Sunarto (Surabaya: Al-Hidayah, 1991), 20.
[2] Syeikh Ali
Ahmad, Falsafah dan Hikmah Hukum Islam, (Terj.), Syeikh Ali Ahmad
Al-Juyrjawi (Semarang: Asy- Syifa’, 1992), 76.
[4] Muhammad bin Qasim Al-Ghazy, “Fathul Qorib, Juz 1, (Terj.)”, 35.
[7] Salim bin Samir, Safinatun Najah, (Terj.) Labib Asrori (Magelang:
Pelita Dunia Surabaya, 1995), 17.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar