MODEL PENELITIAN TAFSIR
Makalah
ini disusun
untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Metodologi Studi Islam

Disusun
Oleh :
Hanum Nurrikatus Sholichah (1114117)
Dosen Pengampu:
Imam Mutaqin, M.Pd.I
PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA
ISLAM
UNIVERSITAS
PESANTREN TINGGI DARUL ULUM
JOMBANG
2015
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, taufiq serta hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
penulisan makalah ini dengan tepat waktu. Sholawat serta
salam tetap tercurah limpahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW,
beserta keluarga, sahabat, kerabat, tabi’in tabi’it hingga akhir kelak. Semoga
kita dapat mengikuti sunnah dan meneladani beliau dalam segala aktivitas
kehidupan, Aamiin.
Berikut ini penulis
mempersembahkan sebuah makalah dengan judul ”MODEL PENELITIAN TAFSIR”, yang
menurut kami dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk
mempelajari ilmu-ilmu hadits.
Melalui kata pengantar
ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi
makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang saya buat kurang tepat atau menyinggung perasaan pembaca.
Dengan
ini saya mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga
Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.
Jombang, 18 Mei 2015
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tafsir adalah ilmu yang menjelaskan makna ayat sesuai dengan adalah
(petunjuk) yang zhahir dalam batas kemampuan manusia. Tafsir tersebut
bertujuan agar ayat-ayat Alquran dapat dijelaskan dengan sebaik-baiknya. Dan
sesuai dengan kehendak Allah Swt, sebatas yang dapat ditangkap oleh seorang mufassir.[1]
Upaya menafsirkan Alquran dengan benar merupakan pembukaan tentang
seruan, risalah dan syariat Islam. Dengan menghadirkan gagasan yang dilontarkan
para pakar dalam bentuk untuk kembali menelaah Alquran dan tafsirnya adalah
salah satu indikator luapan perhatian untuk kembali bersandar ke Alquran (al-Ruju’
ila AlQur’an) dengan menggali ke-hidayahannya berupa ilmu dan amaliyahnya.[2]
Untuk memenuhi maksud tersebut, tafsir Alquran dengan menggunakan
metode yang tepat dan langkah-langkah yang sistematis didasari niat suci,
secara ideal akan mampu mendapatkan kehidayaan Alquran, ilmu dan amaliyahnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaiman
pengertian Tafsir dan fungsinya?
2.
Apa
yang melatar belakangi penelitian Tafsir?
3.
Apa
saja model-model penelitian Tafsir?
C.
Tujuan
1.
Agar
mengerti pengertian Tafsir dan fungsinya.
2.
Agar
mengetahui latar belakang penelitian Tafsir.
3.
Agar
mengetahui model-model penelitian Tafsir.
D.
Manfaat
Makalah ini penulis susun bertujuan agar
penulis khususnya, mahasiswa dan pembaca umumnya dapat menguasai dan memahami
tentang metodologi studi Islam, terutama dalam model penelitian Tafsir.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tafsir dan Fungsinya
Kata "model" yang terdapat pada judul di atas berarti
contoh, acuan, ragam, atau macam. Sedangkan penelitian berarti pemeriksaan,
penyelidikan yang dilakukan dengan berbagai cara secara seksama dengan tujuan
mencari kebenaran-kebenaran objektif yang disimpulkan melalui data-data yang
terkumpul.[3]
Adapun tafsir bersal dari bahasa arab, fassara, yufassir, tafsiran yang berarti penjelasan, pemahaman, dan secara
perincian. Selain itu, tafsir dapat pula berarti al-idlah wa at-thabyin, yaitu
penjelasan dan keterangan. Pendapat lain mengatakan bahwa kata tafsir
sejajar dengan timbangan (wazan) kata taf’il, diambil dari kata al-fasr
yang berarti al-bayan (penjelasan) dan al-kasyf yang berarti
membuka atau menyingkap; dan dapat pula diambil dari kata al-tafsarah,
yaitu istilah yang digunakan untuk suatu alat yang biasa digunakan oleh dokter
untuk mengetahui penyakit.[4]
Dengan demikian, secara singkat dapat diambil
suatu pengertian bahwa yang dimaksud dengan model penelitian Tafsir adalah
suatu contoh, ragam, acuan atau macam dari penyelidik secara seksama terhadap
penafsiran Al-Qur’an yang pernah dilakukan generasi terdahulu untuk diketahui
secara pasti tentang berbagai hal yang terkait denganya. Obejek pembahasan
tafsir, yaitu Al-Qur’an merupakan sumber ajaran Islam.[5]
B.
Latar Belakang Penelitian Tafsir
Dilihat dari segi usianya, penafsiran al-Qur’an termasuk yang
paling tua dibandingkan dengan kegiatan ilmiah lainya dalam Islam. Pada saat
Al-Qur’an diturunkan lima belas abad yang lalu, Rasululloh SAW. yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan)
telah menjelaskan arti dan kandungan Al-Qur’an kepada sahabat-sahabatnya,
khusus menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau sama artinya.
Kalau pada masa Rasulullah SAW., para sahabat menanyakan persoalan
yang tiadak jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya mereka terpaksa
melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam Ali bin
Abi Thalib, Ibn Abbas, Ubay bin Ka’ab dan Ibn Mas’ud.
Menurut Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan
Al-Qur’an: Sementara
itu ada pula sahabat yang menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah nabi-nabi atau
kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Qur’an kepada tokoh-tokoh Ahlul kitab
(kaum Yahudi dan dan Nasrani) yang telah memeluk agama Islam, seperti Abdullah
bin Salam, Ka’ab Al-Akhbar. Inilah yang selanjutnya merupakan benih lahirnya
Israailiyat.
Para
tokoh tafsir dari kalangan para sahabat yang telah disebutkan diatas mempunyai
murid-murid dari para tabi’in khususnya dikota-kota tempat mereka tinggal,
sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dikalangan tabi’in. Misalnya, Sa’id
bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah yang ketika itu berguru kepada Ubay bin
Ka’ab dan Al-Hasan Al-Bashriy, Amir al-Sya’bi di Irak yang ketika itu berguru
kepada Abdullah bin Mas’ud.[6]
Berakhirnya masa
tabi’in, sekitar 150 Hijriyah, yang merupakan periode kedua dari sejarah
perkembangan tafsir. Pada periode ini, hadist-hadist sudah berkembang dengan sangat
pesat dan banyak bermunculan hadist palsu ditengah-tengah masyarakat. Sementara
itu, persolan umat semakin berkembang seiring dengan perubahan dan tuntutan
kemajuan zaman. Kondisi ini yang semakin mendorong berkembangnya tafsir
al-Quran. Tafsir berkembang menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri,
terpisah dari hadist. Pada masa itu, kajian tafsir yang membahas seluruh ayat
al-Quran ditulis dan disusun sesuai dengan susunan yang terdapat di dalam al-Mushaf.[7]
Pada
mulanya, usaha penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan ijtihad masih sangat
terbatas dan terikat kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang terkandung oleh
satu kosakata. Namun, sejalan dengan lajunya
perkembangan masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad
dalam penafsiran ayat-ayat Al-Qur'an, sehingga bermunculan berbagai kitab atau
penafsiran yang beraneka ragam coraknya. Keragaman tersebut ditunjang pula oleh
Al-Qur'an, yang keadaanya seperti dikatakan oleh 'Abdullah Darraz dalam Al-Naba'
Al-Azhim: "Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang
berbeda dengan apa yang yang terpancar dari sudut-sudut lain, dan tidak
mustahil jika anda mempersilahkan orang lain memandangnya, ia akan melihat
lebih banyak dari apa yang anda lihat".[8]
Dapat
ditarik kesimpulan bahwasanya yang melatarbelakangi penelitian tafsir ialah
wafatnya rasulullah yang memberikan penjelasan arti dan kandungan al-Quran yang
membuat para sahabat melakukan ijitihad untuk menafsirkan al-Quran sebagaimana
yang dilakukan oleh Ali bin Thalib serta adanya indikasi persoalan umat semakin
berkembang seiring dengan perubahan dan tuntutan kemajuan zaman.
C.
Model-Model
Penelitian Tafsir
1.
Model Quraish Shihab
H.M Quraish Shihab
(lahir th. 1944)- pakar di bidang tafsir dan hadis se-Asia Tenggara-, telah
banyak melakukan penelitian terhadap berbagai karya ulama terdahulu di bidang
tafsir. Ia misalnya, telah meneliti tafsir karangan Muhammad Abduh dan H.
Rasyid Ridha dengan judul Studi Kritis Tafsir Al-Manar karya
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang telah diterbitkan dalam bentuk buku oleh
pustaka Hidayah pada tahun 1994. Model penelitian tafsir yang dikembangkan oleh
H.M Quraish Shihab lebih banyak bersifat eksploratif, deskriptif, analitis, dan
perbandingan. Yaitu model penelitian yang
berupaya menggali sejauh mungkin produk tafsir yang dilakukan ulama-ulama
tafsir terdahulu berdasarkan berbagai literatur tafsirbaik yang tafsir primer,
yakni yang ditulis oleh ulama tafsir
yang bersangkutan, maupun lainya.[9]
Selanjutnya, dengan
tidak memfokuskan pada tokoh tertentu, Quraish Shihab telah meneliti hampir
seluruh karya tafsir yang dilakukan para ulama terdahulu. Dari penelitian
tersebut telah dihasilkan beberapa kesimpulan yang berkenaan dengan tafsir.
Antara lain tentang : (1) periodesasi pertumbuhan dan perkembangan tafsir, (2)
corak-corak penafsiran, (3) macam-macam metode penafsiran
Al-qur'an, (4) syarat-syarat dalam menafsirkan Al-Qur'an, dan (5) hubungan
tafsir modernisasi. Berbagai aspek yang berkaitan dengan penafsiran Al-Qur'an
ini dapat dikemukakan secara singkat sebagai berikut.[10]
a. Periodesasi
Pertumbuhan dan Perkembangan Tafsir
Pada saat al-Quran diturunkan, Rasul
SAW, yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan
kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan al-Quran, khususnya
menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya. Keadaan ini
berlangsung sampai dengan wafatnya Rasul SAWW, walaupun harus diakui bahwa
penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak sampainya
riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang Rasul SAW sendiri tidak
menjelaskan semua kandungan Al-Quran.[11]
Sementara sahabat ada pula yang
menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang
tercantum dalam al-Quran kepada tokoh-tokoh Ahlul-Kitab yang telah memeluk
agama Islam, seperti 'Abdullah bin Salam, Ka'ab al-Ahbar, dan lain-lain. Inilah
yang merupakan benih lahirnya Israiliyat.[12]
Gabungan dari tiga sumber di atas,
yaitu penafsiran Rasul SAWW, penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsiran
tabi'in, dikelompokkan menjadi satu kelompok yang dinamai Tafsir bi
al-Ma'tsûr.Dan masa ini dapat dijadikan periode pertama dari perkembangan
tafsir. Berlakunya periode pertama tersebut dengan berakhirnya masa tabi'in,
sekitar tahun 150 H, merupakan periode kedua dari sejarah perkembangan tafsir.[13]
Menurut hasil penelitian Quraish, jika tafsir dilihat dari segi
penulisannya (kodifikasi), perkembangan tafsir dapat di bagi menjadi
tiga periode, Periode I, yaitu Masa Rasulullah, sahabat, dan permulaan tabi'in,
di mana tafsir belum tertulis dan secara umum periwayatan ketika itu tersebar
secara lisan. Periode II, bermula dengan kodifikasi hadis secara resmi
pada masa pemerintahan 'Umar bin Abdul Aziz (99-101) di mana tafsir ketiak itu
ditulis bergabung dengan penulisan hadis, dan dihimpun dalam satu bab seperti
bab-bab hadis walaupun tentunya penafsiran yang ditulis itu umumnya adalah
Tafsir bi al-Ma'tsur. Periode III, dimulai dengan penyusunan kitab-kitab
tafsir secara khusus dan berdiri sendiri, oleh sementara ahli menduga dimulai
oleh Al-Farra' (w.207) dengan kitabnya berjudul ma'ani Al-Qur'an.[14]
b. Corak-corak Penafsiran
Berdasarkan hasil penelitianya. Quraish Shihab mengatakan bahwa
corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini antara lain: Corak-corak penafsiran yang dikenal
selama ini antara lain: (a) Corak Sastra Bahasa, yang timbul akibat
banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama Islam, serta akibat
kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan
kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman
arti kandungan al-Quran di bidang ini. (b) Corak filsafat dan teologi,
akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak, serta
akibat masuknya penganut agama; agama lain ke dalam Islam yang dengan sadar
atau tanpa sadar masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka.
Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang tecermin dalam
penafsiran mereka. (c) Corak penafsiran ilmiah, akibat kemajuan ilmu
pengetahuan dan usaha penafsir untuk memahami ayat-ayat al-Quran sejalan dengan
perkembangan ilmu. (d) Corak fiqih atau hukum, akibat berkembangnya ilmu
fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang setiap golongan berusaha
membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka
terhadap ayat-ayat hukum. (e) Corak tasawuf, akibat timbulnya
gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap
materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan. (f) Bermula
pada masa Syaikh Muhammad 'Abduh (1849-1905 M), corak-corak tersebut mulai
berkurang dan perhatian lebih banyak tertuju kepada corak sastra budaya
kemasyarakatan. Yakni satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk
ayat-ayat al-Quran yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta
usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka
berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut
dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar[15]
c. Macam-macam Metode Penafsiran Alqur'an
Metode penafsiran Alqur'an secara garis besar dibagi menjadi dua,
yakni corak ma'tsur (riwayat), dan corak penalaran. Kedua corak tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut.
1)
Corak
Ma'tsur (riwayat)
Tafsir bilma’tsur adalah tafsir yang berdasarkan pada
Alquran atau riwayat shohih. Empat hal yang menjadi sumber penafsiran Alqur’an[16]
;
a) Alqur’an dengan Alqur’an.
b) Alqur’an dengan hadist.
c) Atsar para sahabat, contoh
penafsiran Ibnu Abbas pada surat An Nasr.
d)
Pendapat tokoh-tokoh tabi’in yang dianggap sebagai yang
bertemu langsung dengan para sahabat. Contoh Penafsiran As-shoffat ayat 65
dentgan syair Imr Al Qays. Namun, mengenai para tabi’in ini ada yang
memperdebatkan karena mereka tidak bertemu langsung dengnan rosululloh SAW.
Keistimewaan metode tafsir bi
al-Ma'tsur antara lain :
a)
Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Alquran
b)
Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan
pesan-pesanya
c)
Mengikat mufassir dalam teks ayat-ayat agar tidak terjerumus
dalam subjektifitas berlebihan.[17]
2)
Metode
Penalaran: Pendekatan dan Corak-coraknya
Banyak cara, pendekatan dan corak tafsir yang mengandalkan nalar,
sehingga akan sangat luas pembahasannya apabila kita bermaksud menelusurinya
satu per satu. Menurut Al-Farmawi metode tafsir di bagi menjadi empat macam
yakni tahlily, ijmaly, muqrin, dan maudhu'i.[18]
a)
Metode
Tahlily
Metode Tafsir Tahlîliy adalah
suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Quran
dari seluruh aspeknya.Di dalam tafsirnya, penafsir mengikuti runtutan ayat
sebagaimana yang telah tersusun di dalam mush-haf.Penafsir memulai uraiannya
dengan mengemukakan arti kosa kata diikuti dengan penjelasan mengenai arti
global ayat.Ia juga mengemukakan munâsabah (korelasi) ayat-ayat serta
menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain. Begitu pula,
penafsir membahas mengenai sabab al-nuzûl (latar belakang turunnya ayat)
dan dalil-dalil yang berasal dari Rasulullah s.a.w., sahabat, atau para
tabi’in, yang kadang-kadang bercampur-baur dengan pendapat para penafsir itu
sendiri dan diwarnai oleh latar belakang pendidikannya, dan sering pula
bercampur baur dengan pembahasan kebahasaan dan lainnya yang dipandang dapat
membantu memahami nash (teks) al-Quran tersebut.[19]
Muhammad Baqir ash-Shadr menyebut
tafsir metode tahlîliy ini dengan tafsir tajzî’iy, yang secara
harfiah berarti “tafsir yang menguraikan berdasarkan bagian-bagian atau tafsir
parsial”.[20]
Kelebihan Metode Tahlîliy antara
lain adanya potensi untuk memperkaya arti kata-kata melalui usaha penafsiran
terhadap kosakata ayat, syair-syair kuno dan kaidah-kaidah ilmu nahwu.[21] Dan dapat mengetahui dengan mudah tafsir
suatu surat atau ayat, karena susunan tertib ayat atau surat mengikuti susunan
sebagaimana terdapat dalam mushaf; mudah mengetahui relevansi/munâsabah
antara suatu surat atau ayat dengan surat atau ayat lainnya; memungkinkan untuk
dapat memberikan penafsiran pada semua ayat, meskipun inti penafsiran ayat yang
satu merupakan pengulangan dari ayat yang lain, jika ayat-ayat yang ditafsirkan
sama atau hampir sama; mengandung banyak aspek pengetahuan, meliputi hukum,
sejarah, sains, dan lain-lain.[22]
Itulah kelebihan dari metode tafsir tahlily, yang mana kita bisa lebih
banyak mengerti kosa kata dalam menafsirkan suatu ayat.
Kelemahan metode Tahlily
antara lain dapat menghasilkan pandangan-pandangan yang parsial dan
kontradiktif dalam kehidupan umat Islam; faktor subjektivitas tidak mudah
dihindari misalnya adanya ayat yang ditafsirkan dalam rangka membenarkan
pendapatnya; terkesan adanya penafsiran berulang-ulang, terutama terhadap
ayat-ayat yang mempunyai tema yang sama masuknya pemikiran isrâîliyyât.[23]
b)
Metode Ijmaly
Metode ini disebut juga dengan
metode global. Cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan menunjukkan
kandungan secara global. Dalam praktiknya metode ini sering terintegrasi dengan
metode tahlily karena itu seringkali
metode ini tidak dibahas secara tersendiri. Dengan metode ini seorang
mufassir cukup dengan menjelaskan kandungan yang terkandung dala ayat tersebut
secara garis besar saja.[24]
Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran
dengan metode ini, mufassir juga meneliti, mengkaji dan menyajikan asbâb
al-nuzûl atau peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat, dengan cara
meneliti Hadis-Hadis yang berhubungan dengannya.[25]
c)
Metode Muqarin
Metode muqarin adalah suatu
metode tafsir Al-Qur'an yang dilakukakan denga cara membandingkan ayat
Al-Qur'an yang satu denga yang lainnya, yaitu ayat-ayat yang mempunyai
kemiripan redaksi dalam dua atau lebih kasus yang berbeda, dan atau yang
memiliki redaksi yang berbeda untuk masalah atau kasus yang sama atau diduga
sama, dan atau membandingkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan hadis Nabi Muhammad
SAW., yang tampak bertentangan, serta membandingkan pendapat-pendapat ulama
tafsir menyangkut penafsiran Al-Qur'an.[26]
Sejalan
dengan kerangka tersebut di atas, maka prosedur penafsiran denga cara muqarin tersebut
dilakukan sebagai brikut.[27]
(1)
Menginventarisasi ayat-ayat yang mempunyai
kesamaan dan kemiripan redaksi.
(2)
Meneliti kasus yang berkaitan denga ayat-ayat
tersebut
(3)
Mengadakan penafsiran.
وَمَا جَعَلَهُ اللهُ إِلاَّ
بُشْرَى وَلِتَطْمَئِنَّ بِهِ قُلُوْبُكُمْ وَمَا النَّصْرُ اِلاَّ مِنْ عِنْدِ
اللهِ إِنَّ اللهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ ( الانفال : 10)
وَمَا جَعَلَهُ اللهُ إِلاَّ
بُشْرَى لَكُمْ وَلِتَطْمَئِنَّ قُلُوْبُكُمْ وَمَا النَّصْرُ اِلاَّ مِنْ عِنْدِ
اللهِ الْعَزِيْزِ الْحَكِيْمٌ (ال عمران : 162)
Dua ayat
tersebut redaksinya kelihatan mirip, bahkan sama-sama menjelasakan pertolongan
Allah kepada kaum Muslimin ketika melawan musuh-musuhnya, namun berbeda pada
hal-hal sebagai berikut. Surat Al-Anfal (1) mendahulukan بِهِ daripada قُلُوْبُكُمْ (2) memakai kata إِنَّ (3) berbicara
mengenai prang Badar. Surat Ali Imran: (1) memakai kata لَكُمْ (2) berbicara
tentang perang uhud.[28]
Keterdahuluan
kata بِهِ
dan penambahan kata إِنَّ dalam ayat pertama diduga keras sebagai tauhid terhadap
kandungan utama ayat, yakni bantuan dari Allah pada perang Badar, mengingat
perang itu yang pertama, dan jumlah kaum muslimin sedikit.[29]
Dalam perang uhud, tauhid itu tidak diperlukan, sebab
pengalaman perang sudah ada, dan umat islam sudah banyak, dan pemakaian kata di
sini menandakan kegembiraan itu hanya bagi sahabat, bukan kegembiraan seperti
kasus ayat pertama.[30]
d) Metode Maudhu'i
Metode tafsir maudhû’iy
juga disebut dengan dengan metode tematik yaitu menghimpun ayat-ayat al-Quran
yang mempunyai maksud yang sama, dalam arti, sama-sama membicarakan satu topik
masalah dan menyusunnya berdasar kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat
tersebut., Kemudian penafsir mulai memberikan keterangan dan penjelasan serta mengambil
kesimpulan. Secara khusus, penafsir melakukan studi tafsirnya ini dengan metode
maudhû’iy, dimana ia melihat ayat-ayat tersebut dari seluruh seginya,
dan melakukan analisis berdasar ilmu yang benar, yang digunakan oleh pembahas
untuk menjelaskan pokok permasalahan, sehingga ia dapat memahami permasalahan
tersebut dengan mudah dan betul-betul menguasainya, sehingga memungkinkan
baginya untuk memahami maksud yang terdalam dan dapat menolak segala kritik.[31]
Metode
mawadhu’i adalah cara menafsirkan al-Quran dengan menghimpun ayat-ayat yang
mempunyai maksud yang sama atau ayat-ayat yang membicrakan tentang topik yang
sama dan menyusunnya berdasarkan kronologi serta sebab-sebab turunnya ayat
tersebut. Salah satu pesan Ali bin Abi Thalib: “Ajaklah al-Quran berbicara atau
biarkan ia menguraikan maksudnya”. Pesan ini antara lain mengharuskan penafsiran
merujuk kepada al-Quran dalam rangka memahami kandungannya. Dari sini lahir
metode maudlu’ iy dimana mufasirnya berupaya menghimpun ayat-ayat al-Quran dari
berbagai surat yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan
sebelumnya. Kemudian penafsir membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat
tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.[32]
2. Model
Ahmad Al-Syarbasi
Ahmad ays-Syarbashi
melakukan penelitian tentang tafsir pada tahun 1985 dengan menggunaan metode
deskriptif, eksploratif , dan analisis sebagai mana dilakukan oleh Quraish
Shihab.[33] Menurut Al-Syarbashi
penelitian ini di bagi menjadi tiga bidang. Pertama, mengenai sejarah
penafsirn Al-Qur'an yang dibagi kedalam tafsir masa sahabat Nabi. Kedua,
mengenai corak tafsir, yaitu tafsir ilmiah, tafsir sufi dan tafsir politik. Ketiga,
mengenai gerakan pembaharuan di bidang tafsir.[34]
Menurutnya, tafsir
pada zaman Rasulullah SAW., pada awal mula pertumbuhan Islam disusun pendek dan
tampak ringkas karena penguasaan bahasa Arab yang murni pada saat itu cukup
untuk memahami gaya dan susunan kalimat Al-Qur'an. Pada masa-masa sesudah
itu penguasaan bahasa Arab yang murni tadi
mengalami kerusakan akibat percampuran masyarakat Arab dengan bangsa-bangsa
lain, yaitu ketika pemeluk Islam berkembang meluas ke berbagai negeri. Untuk
memelihara keutuhan bahasanya, orang-orang Arab mulai meletakkan kaidah-kaidah
bahasa Arab seperti ilmu Nahwu(gramatika) dan
Balaghah (retorika).[35]
Tentang Tafsir Ilmiah,
Al-syarbashi mengatakan, sudah dapat kita pastikan bahwa dalam Al-Qur'an tidak
terdapat suatu teks induk yang bertentangan dengan bermacam kenyataan ilmiah.
Ini merupakan satu segi dari kedudukannya sebagai mu'jizat. Munculnya istilah
tafsir ilmiah yang dikemukakan Al-Syarbashi tersebut antara lain didasarkan
data pada kitab Tafsir Ar-Razi.[36]
Selanjutnya, tentang
tafsir sufi, Al-Syarbashi mengatakan ada kaum sufi yang sibuk menafsirkan huruf-huruf
Al-Qur'an dan berusaha menerangkan hubungannya yang satu dengan yang lainnya.
Adanya tafsir sufi tersebut, Al-Syarbashi mendasarkan kepada kitab-kitab tafsir
yang dikarang para Ulama' sufi.[37]
Selanjutnya, mengenai
gerakan pembaharuan di bidang tafsir, Ahmad Al-Syarbashi mendasarkan pad
beberapa karya ulama yang muncul pada awal abda ke-20. Ia menyebutkan Sayyid
Ridha –murid Syekh Muhammad Abduh yang mencatat dan menuangkan kuliah-kuliah
gurunya kedalam majalah Al-Manar. Itu merupakan langkah pertama. Langkah
selanjutnya, ia menghimpun dan menambah penjelasan seperlunya dalam sebuah
kitab tafsir yang diberi nama Tafsur Al-Manar, yaitu kitab tafsir yang
mengandung pembaharuan dan sesuai dengan perkembangan zaman.[38]
3.
Model Syekh Muhammad Al-Ghazali
Syaikh Muhammad
Al-Ghazali dikenal dengan sebagai tokoh pemikir Islam Abad modern yang
produktif. Salah satu hasil penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Al-Ghazali
adalah berjudul Berdialog dengan Al-Qur'an.[39]
Tentang macam-macam
metode memahami Al-Qur'an, Al-Ghazali membaginya ke dalam metode klasik dan
modern. Modern dalam memahami Al-Qur'an menurutnya dalam berbagi kajian tafsir
, kita banyak menemukan metode memahami Al-Qur'an yang berawal dari ulama generasi
terdahulu. Mereka memahami Al-Qur'an, sehingga lahirlah yang kita kenal dengan
metode memahami Al-Qur'an.[40]
Berbagai macam metode
atau kajian yang dikemukakan Muhammad Al-Ghazali tersebut oleh ulama lainya
diesebut sebagai pendekatan, dan bukan metode. Selanjutnya Muhammad Al-Ghazali
mengemukakan adanya metode modern dalam memahami Al-Qur'an . metode modern ini
timbul sebagi akibat dari adanya kelemahan pada berbagi metode yang telah
disebutkan di atas.[41]
Berangkat dari adanya
berbagai kelemahan yang terkandung dalam metode penafsiran masa lalu, terutama
jika dikaitkan dengan keharusan memberikan jawaban terhadap berbagi masalah
kontemporer dan modern.[42]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di
atas dapat disimpulkan bahwa tafsir bersal dari bahasa arab, fassara, yufassir, tafsiran yang berarti penjelasan, pemahaman, dan secara
perincian. Selain itu, tafsir dapat pula berarti al-idlah
wa at-thabyin, yaitu penjelasan dan keterangan.
Dan
yang melatarbelakangi penelitian tafsir ialah wafatnya rasulullah yang
memberikan penjelasan arti dan kandungan al-Quran yang membuat para sahabat
melakukan ijitihad untuk menafsirkan al-Quran sebagaimana yang dilakukan oleh
Ali bin Thalib serta adanya indikasi persoalan umat semakin berkembang seiring
dengan perubahan dan tuntutan kemajuan zaman.
Adapun
model-model penelitian tafsir yakni adalah model Model Quraish Shihab, model Ahamad
Al-Syarbashi, dan Model Muhammad Imam Al-Ghazali. Yang sudah dijelaskan pada
bab sebelumya.
B. Saran
Kritik dan saran yang bersifat
membangun selalu kami harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan Makalah kami.
Dan menjadikan Makalah ini sebagai sarana yang dapat mendorong para
mahasiswa berfikir aktif dan kreatif. Bagi para pembaca jika ingin menambah
wawasan dan mengetahui lebih jauh, maka penulis mengharapkan dengan rendah hati
agar lebih membaca buku-buku lainnya yang berkaitan dengan Metodologi Studi
Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, Dudung "Penelitian Tafsir Sebagai
Penelitian Ilmiah" http://www.uin-alauddin.ac.id/download-1.Penelitian%20Dudung%2053-67.pdf diakses pada 02 Mei 2015.
Abuddin Nata. 2012.Metodologi
Studi Islam.Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Muhsin, "Metode Tafsir
Al-Quran", http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/metode-tafsir-al-quran/ diakses pada 14 Mei 2015.
Oviyanti, Fitri.2014.Metodolgi Studi Islam.Palembang:
Noer Fikri Offset.
Shihab,
Quraish "Sejarah Perkembangan Tafsir" http://quran.al-shia.org/id/tafsir/tarikh-e-tafsir/sejarah-Tafsir02.htm diakses pada 14 Mei 2015.
Sukoco
"Pendekatan dan Corak Tafsir" http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/01/khasanah-keimuan-islam
tentang-study-al-quran-390819.html diakses pada 14 mei 2015.
[1] Dudung
Abdullah, "Penelitian Tafsir Sebagai Penelitian Ilmiah" http://www.uin-alauddin.ac.id/download-1.Penelitian%20Dudung%2053-67.pdf diakses pada 02 Mei 2015.
[2] Ibid.
[3] Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012), 209
[8] Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam, 213.
[9] Ibid,
214.
[10] Ibid,215.
[11]Quraish
Shihab, "Sejarah
Perkembangan Tafsir" http://quran.al-shia.org/id/tafsir/tarikh-e-tafsir/sejarah-Tafsir02.htm diakses pada 14 Mei 2015.
[12] Ibid,
[13] Ibid,
[14] Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam, 215-216.
[15] Ibid,
216-217.
[16]Sukoco,
"Pendekatan dan
Corak Tafsir" http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/01/khasanah-keimuan-islam-tentang-study-al-quran-390819.html diakses pada 14 mei 2015.
[17] Ibid,
[18] Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam, 218-219.
[19]
Muhsin, "Metode Tafsir
Al-Quran", http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/metode-tafsir-al-quran/
diakses pada 14 Mei 2015.
[20] Ibid,
[21] Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam, 219.
[22] Muhsin, "Metode Tafsir Al-Quran", http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/metode-tafsir-al-quran/ diakses pada
14 Mei 2015.
[23] Ibid,
[24] Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam, 220.
[25] Muhsin, "Metode Tafsir Al-Quran", http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/metode-tafsir-al-quran/ diakses pada
14 Mei 2015.
[26] Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam, 220.
[27] Ibid,
221
[31] Muhsin, "Metode Tafsir Al-Quran", http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/metode-tafsir-al-quran/ diakses pada 14 Mei 2015.
[32] Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam, 222.
[33] Ibid,
224.
[34] Ibid, 224.
[35] Ibid, 224
[36] Ibid, 225
[37] Ibid, 225
[38] Ibid, 226.
[39] Ibid,
227.
[40] Ibid, 227.
Bagus sekali, dan sangat membantu :))
BalasHapusterima Kasih banyak.