Rabu, 06 Desember 2017

MODEL PENELITIAN TAFSIR



MODEL PENELITIAN TAFSIR
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Metodologi Studi Islam






Disusun Oleh :
Hanum Nurrikatus Sholichah  (1114117)

Dosen Pengampu:
 Imam Mutaqin, M.Pd.I




PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI DARUL ULUM
JOMBANG
2015




KATA  PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq serta hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini dengan tepat waktu. Sholawat serta salam tetap tercurah limpahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, kerabat, tabi’in tabi’it hingga akhir kelak. Semoga kita dapat mengikuti sunnah dan meneladani beliau dalam segala aktivitas kehidupan, Aamiin.
            Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah dengan judul ”MODEL PENELITIAN TAFSIR”, yang menurut kami dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajari  ilmu-ilmu hadits.
            Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang saya buat kurang tepat atau menyinggung perasaan pembaca.
            Dengan ini saya mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.


 Jombang, 18 Mei 2015

Penyusun




BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Tafsir adalah ilmu yang menjelaskan makna ayat sesuai dengan adalah (petunjuk) yang zhahir dalam batas kemampuan manusia. Tafsir tersebut bertujuan agar ayat-ayat Alquran dapat dijelaskan dengan sebaik-baiknya. Dan sesuai dengan kehendak Allah Swt, sebatas yang dapat ditangkap oleh seorang mufassir.[1]
Upaya menafsirkan Alquran dengan benar merupakan pembukaan tentang seruan, risalah dan syariat Islam. Dengan menghadirkan gagasan yang dilontarkan para pakar dalam bentuk untuk kembali menelaah Alquran dan tafsirnya adalah salah satu indikator luapan perhatian untuk kembali bersandar ke Alquran (al-Ruju’ ila AlQur’an) dengan menggali ke-hidayahannya berupa ilmu dan amaliyahnya.[2]
Untuk memenuhi maksud tersebut, tafsir Alquran dengan menggunakan metode yang tepat dan langkah-langkah yang sistematis didasari niat suci, secara ideal akan mampu mendapatkan kehidayaan Alquran, ilmu dan amaliyahnya.

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaiman pengertian Tafsir dan fungsinya?
2.      Apa yang melatar belakangi penelitian Tafsir?
3.      Apa saja model-model penelitian Tafsir?

C.      Tujuan
1.      Agar mengerti pengertian Tafsir dan fungsinya.
2.      Agar mengetahui latar belakang penelitian Tafsir.
3.      Agar mengetahui model-model penelitian Tafsir.

D.      Manfaat
Makalah ini penulis susun bertujuan agar penulis khususnya, mahasiswa dan pembaca umumnya dapat menguasai dan memahami tentang metodologi studi Islam, terutama dalam model penelitian Tafsir.



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Tafsir dan Fungsinya
Kata "model" yang terdapat pada judul di atas berarti contoh, acuan, ragam, atau macam. Sedangkan penelitian berarti pemeriksaan, penyelidikan yang dilakukan dengan berbagai cara secara seksama dengan tujuan mencari kebenaran-kebenaran objektif yang disimpulkan melalui data-data yang terkumpul.[3]
Adapun tafsir bersal dari bahasa arab, fassara, yufassir, tafsiran yang berarti penjelasan, pemahaman, dan secara perincian. Selain itu, tafsir dapat pula berarti al-idlah wa at-thabyin, yaitu penjelasan dan keterangan. Pendapat lain mengatakan bahwa kata tafsir sejajar dengan timbangan (wazan) kata taf’il, diambil dari kata al-fasr yang berarti al-bayan (penjelasan) dan al-kasyf yang berarti membuka atau menyingkap; dan dapat pula diambil dari kata al-tafsarah, yaitu istilah yang digunakan untuk suatu alat yang biasa digunakan oleh dokter untuk mengetahui penyakit.[4]
Dengan demikian, secara singkat dapat diambil suatu pengertian bahwa yang dimaksud dengan model penelitian Tafsir adalah suatu contoh, ragam, acuan atau macam dari penyelidik secara seksama terhadap penafsiran Al-Qur’an yang pernah dilakukan generasi terdahulu untuk diketahui secara pasti tentang berbagai hal yang terkait denganya. Obejek pembahasan tafsir, yaitu Al-Qur’an merupakan sumber ajaran Islam.[5]

B.       Latar Belakang Penelitian Tafsir
Dilihat dari segi usianya, penafsiran al-Qur’an termasuk yang paling tua dibandingkan dengan kegiatan ilmiah lainya dalam Islam. Pada saat Al-Qur’an diturunkan lima belas abad yang lalu, Rasululloh SAW. yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan) telah menjelaskan arti dan kandungan Al-Qur’an kepada sahabat-sahabatnya, khusus menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau sama artinya.
Kalau pada masa Rasulullah SAW., para sahabat menanyakan persoalan yang tiadak jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam Ali bin Abi Thalib, Ibn Abbas, Ubay bin Ka’ab dan Ibn Mas’ud.
Menurut Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan Al-Qur’an: Sementara itu ada pula sahabat yang menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Qur’an kepada tokoh-tokoh Ahlul kitab (kaum Yahudi dan dan Nasrani) yang telah memeluk agama Islam, seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab Al-Akhbar. Inilah yang selanjutnya merupakan benih lahirnya Israailiyat.
Para tokoh tafsir dari kalangan para sahabat yang telah disebutkan diatas mempunyai murid-murid dari para tabi’in khususnya dikota-kota tempat mereka tinggal, sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dikalangan tabi’in. Misalnya, Sa’id bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah yang ketika itu berguru kepada Ubay bin Ka’ab dan Al-Hasan Al-Bashriy, Amir al-Sya’bi di Irak yang ketika itu berguru kepada Abdullah bin Mas’ud.[6]
Berakhirnya masa tabi’in, sekitar 150 Hijriyah, yang merupakan periode kedua dari sejarah perkembangan tafsir. Pada periode ini, hadist-hadist sudah berkembang dengan sangat pesat dan banyak bermunculan hadist palsu ditengah-tengah masyarakat. Sementara itu, persolan umat semakin berkembang seiring dengan perubahan dan tuntutan kemajuan zaman. Kondisi ini yang semakin mendorong berkembangnya tafsir al-Quran. Tafsir berkembang menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri, terpisah dari hadist. Pada masa itu, kajian tafsir yang membahas seluruh ayat al-Quran ditulis dan disusun sesuai dengan susunan yang terdapat di dalam al-Mushaf.[7]
Pada mulanya, usaha penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang terkandung oleh satu kosakata. Namun, sejalan dengan lajunya  perkembangan masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat Al-Qur'an, sehingga bermunculan berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya. Keragaman tersebut ditunjang pula oleh Al-Qur'an, yang keadaanya seperti dikatakan oleh 'Abdullah Darraz dalam Al-Naba' Al-Azhim: "Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang yang terpancar dari sudut-sudut lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilahkan orang lain memandangnya, ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat".[8]
Dapat ditarik kesimpulan bahwasanya yang melatarbelakangi penelitian tafsir ialah wafatnya rasulullah yang memberikan penjelasan arti dan kandungan al-Quran yang membuat para sahabat melakukan ijitihad untuk menafsirkan al-Quran sebagaimana yang dilakukan oleh Ali bin Thalib serta adanya indikasi persoalan umat semakin berkembang seiring dengan perubahan dan tuntutan kemajuan zaman.

C.      Model-Model Penelitian Tafsir
1.      Model Quraish Shihab
H.M Quraish Shihab (lahir th. 1944)- pakar di bidang tafsir dan hadis se-Asia Tenggara-, telah banyak melakukan penelitian terhadap berbagai karya ulama terdahulu di bidang tafsir. Ia misalnya, telah meneliti tafsir karangan Muhammad Abduh dan H. Rasyid Ridha dengan judul Studi Kritis Tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang telah diterbitkan dalam bentuk buku oleh pustaka Hidayah pada tahun 1994. Model penelitian tafsir yang dikembangkan oleh H.M Quraish Shihab lebih banyak bersifat eksploratif, deskriptif, analitis, dan perbandingan. Yaitu model penelitian yang berupaya menggali sejauh mungkin produk tafsir yang dilakukan ulama-ulama tafsir terdahulu berdasarkan berbagai literatur tafsirbaik yang tafsir primer, yakni  yang ditulis oleh ulama tafsir yang bersangkutan, maupun lainya.[9]
Selanjutnya, dengan tidak memfokuskan pada tokoh tertentu, Quraish Shihab telah meneliti hampir seluruh karya tafsir yang dilakukan para ulama terdahulu. Dari penelitian tersebut telah dihasilkan beberapa kesimpulan yang berkenaan dengan tafsir. Antara lain tentang : (1) periodesasi pertumbuhan dan perkembangan tafsir, (2) corak-corak penafsiran, (3) macam-macam metode penafsiran Al-qur'an, (4) syarat-syarat dalam menafsirkan Al-Qur'an, dan (5) hubungan tafsir modernisasi. Berbagai aspek yang berkaitan dengan penafsiran Al-Qur'an ini dapat dikemukakan secara singkat sebagai berikut.[10]
a.    Periodesasi Pertumbuhan dan Perkembangan Tafsir
Pada saat al-Quran diturunkan, Rasul SAW, yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan al-Quran, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rasul SAWW, walaupun harus diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang Rasul SAW sendiri tidak menjelaskan semua kandungan Al-Quran.[11]
Sementara sahabat ada pula yang menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam al-Quran kepada tokoh-tokoh Ahlul-Kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti 'Abdullah bin Salam, Ka'ab al-Ahbar, dan lain-lain. Inilah yang merupakan benih lahirnya Israiliyat.[12]
Gabungan dari tiga sumber di atas, yaitu penafsiran Rasul SAWW, penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi'in, dikelompokkan menjadi satu kelompok yang dinamai Tafsir bi al-Ma'tsûr.Dan masa ini dapat dijadikan periode pertama dari perkembangan tafsir. Berlakunya periode pertama tersebut dengan berakhirnya masa tabi'in, sekitar tahun 150 H, merupakan periode kedua dari sejarah perkembangan tafsir.[13]
Menurut hasil penelitian Quraish, jika tafsir dilihat dari segi penulisannya (kodifikasi), perkembangan tafsir dapat di bagi menjadi tiga periode, Periode I, yaitu Masa Rasulullah, sahabat, dan permulaan tabi'in, di mana tafsir belum tertulis dan secara umum periwayatan ketika itu tersebar secara lisan. Periode II, bermula dengan kodifikasi hadis secara resmi pada masa pemerintahan 'Umar bin Abdul Aziz (99-101) di mana tafsir ketiak itu ditulis bergabung dengan penulisan hadis, dan dihimpun dalam satu bab seperti bab-bab hadis walaupun tentunya penafsiran yang ditulis itu umumnya adalah Tafsir bi al-Ma'tsur. Periode III, dimulai dengan penyusunan kitab-kitab tafsir secara khusus dan berdiri sendiri, oleh sementara ahli menduga dimulai oleh Al-Farra' (w.207) dengan kitabnya berjudul ma'ani Al-Qur'an.[14]
b.    Corak-corak Penafsiran
Berdasarkan hasil penelitianya. Quraish Shihab mengatakan bahwa corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini antara lain: Corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini antara lain: (a) Corak Sastra Bahasa, yang timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama Islam, serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan al-Quran di bidang ini. (b) Corak filsafat dan teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama; agama lain ke dalam Islam yang dengan sadar atau tanpa sadar masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang tecermin dalam penafsiran mereka. (c) Corak penafsiran ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsir untuk memahami ayat-ayat al-Quran sejalan dengan perkembangan ilmu. (d) Corak fiqih atau hukum, akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum. (e) Corak tasawuf, akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan. (f) Bermula pada masa Syaikh Muhammad 'Abduh (1849-1905 M), corak-corak tersebut mulai berkurang dan perhatian lebih banyak tertuju kepada corak sastra budaya kemasyarakatan. Yakni satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Quran yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar[15]
c.    Macam-macam Metode Penafsiran Alqur'an
Metode penafsiran Alqur'an secara garis besar dibagi menjadi dua, yakni corak ma'tsur (riwayat), dan corak penalaran. Kedua corak tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1)      Corak Ma'tsur (riwayat)
Tafsir bilma’tsur adalah tafsir yang berdasarkan pada Alquran atau riwayat shohih. Empat hal yang menjadi sumber penafsiran Alqur’an[16] ;
a)    Alqur’an dengan Alqur’an.
b)   Alqur’an dengan hadist.
c)    Atsar para sahabat, contoh penafsiran Ibnu Abbas pada surat An Nasr.
d)   Pendapat tokoh-tokoh tabi’in yang dianggap sebagai yang bertemu langsung dengan para sahabat. Contoh Penafsiran As-shoffat ayat 65 dentgan syair Imr Al Qays. Namun, mengenai para tabi’in ini ada yang memperdebatkan karena mereka tidak bertemu langsung dengnan rosululloh SAW.
Keistimewaan metode tafsir bi al-Ma'tsur antara lain :
a)    Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Alquran
b)   Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesanya
c)    Mengikat mufassir dalam teks ayat-ayat agar tidak terjerumus dalam subjektifitas berlebihan.[17]
2)      Metode Penalaran: Pendekatan dan Corak-coraknya
Banyak cara, pendekatan dan corak tafsir yang mengandalkan nalar, sehingga akan sangat luas pembahasannya apabila kita bermaksud menelusurinya satu per satu. Menurut Al-Farmawi metode tafsir di bagi menjadi empat macam yakni tahlily, ijmaly, muqrin, dan maudhu'i.[18]
a)    Metode Tahlily
Metode Tafsir Tahlîliy adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Quran dari seluruh aspeknya.Di dalam tafsirnya, penafsir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun di dalam mush-haf.Penafsir memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosa kata diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat.Ia juga mengemukakan munâsabah (korelasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain. Begitu pula, penafsir membahas mengenai sabab al-nuzûl (latar belakang turunnya ayat) dan dalil-dalil yang berasal dari Rasulullah s.a.w., sahabat, atau para tabi’in, yang kadang-kadang bercampur-baur dengan pendapat para penafsir itu sendiri dan diwarnai oleh latar belakang pendidikannya, dan sering pula bercampur baur dengan pembahasan kebahasaan dan lainnya yang dipandang dapat membantu memahami nash (teks) al-Quran tersebut.[19]
Muhammad Baqir ash-Shadr menyebut tafsir metode tahlîliy ini dengan tafsir tajzî’iy, yang secara harfiah berarti “tafsir yang menguraikan berdasarkan bagian-bagian atau tafsir parsial”.[20]
Kelebihan Metode Tahlîliy antara lain adanya potensi untuk memperkaya arti kata-kata melalui usaha penafsiran terhadap kosakata ayat, syair-syair kuno dan kaidah-kaidah ilmu nahwu.[21]  Dan dapat mengetahui dengan mudah tafsir suatu surat atau ayat, karena susunan tertib ayat atau surat mengikuti susunan sebagaimana terdapat dalam mushaf; mudah mengetahui relevansi/munâsabah antara suatu surat atau ayat dengan surat atau ayat lainnya; memungkinkan untuk dapat memberikan penafsiran pada semua ayat, meskipun inti penafsiran ayat yang satu merupakan pengulangan dari ayat yang lain, jika ayat-ayat yang ditafsirkan sama atau hampir sama; mengandung banyak aspek pengetahuan, meliputi hukum, sejarah, sains, dan lain-lain.[22] Itulah kelebihan dari metode tafsir tahlily, yang mana kita bisa lebih banyak mengerti kosa kata dalam menafsirkan suatu ayat.
Kelemahan metode Tahlily antara lain dapat menghasilkan pandangan-pandangan yang parsial dan kontradiktif dalam kehidupan umat Islam; faktor subjektivitas tidak mudah dihindari misalnya adanya ayat yang ditafsirkan dalam rangka membenarkan pendapatnya; terkesan adanya penafsiran berulang-ulang, terutama terhadap ayat-ayat yang mempunyai tema yang sama masuknya pemikiran isrâîliyyât.[23]
b)   Metode Ijmaly
Metode ini disebut juga dengan metode global. Cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan menunjukkan kandungan secara global. Dalam praktiknya metode ini sering terintegrasi dengan metode tahlily karena itu seringkali  metode ini tidak dibahas secara tersendiri. Dengan metode ini seorang mufassir cukup dengan menjelaskan kandungan yang terkandung dala ayat tersebut secara garis besar saja.[24]
Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan metode ini, mufassir juga meneliti, mengkaji dan menyajikan asbâb al-nuzûl atau peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat, dengan cara meneliti Hadis-Hadis yang berhubungan dengannya.[25]
c)    Metode Muqarin
Metode muqarin adalah suatu metode tafsir Al-Qur'an yang dilakukakan denga cara membandingkan ayat Al-Qur'an yang satu denga yang lainnya, yaitu ayat-ayat yang mempunyai kemiripan redaksi dalam dua atau lebih kasus yang berbeda, dan atau yang memiliki redaksi yang berbeda untuk masalah atau kasus yang sama atau diduga sama, dan atau membandingkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan hadis Nabi Muhammad SAW., yang tampak bertentangan, serta membandingkan pendapat-pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran Al-Qur'an.[26]
Sejalan dengan kerangka tersebut di atas, maka prosedur penafsiran denga cara muqarin tersebut dilakukan sebagai brikut.[27]
(1)     Menginventarisasi ayat-ayat yang mempunyai kesamaan dan kemiripan redaksi.
(2)     Meneliti kasus yang berkaitan denga ayat-ayat tersebut
(3)     Mengadakan penafsiran.
وَمَا جَعَلَهُ اللهُ إِلاَّ بُشْرَى وَلِتَطْمَئِنَّ بِهِ قُلُوْبُكُمْ وَمَا النَّصْرُ اِلاَّ مِنْ عِنْدِ اللهِ إِنَّ اللهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ ( الانفال : 10)
وَمَا جَعَلَهُ اللهُ إِلاَّ بُشْرَى لَكُمْ وَلِتَطْمَئِنَّ قُلُوْبُكُمْ وَمَا النَّصْرُ اِلاَّ مِنْ عِنْدِ اللهِ الْعَزِيْزِ الْحَكِيْمٌ (ال عمران : 162)

Dua ayat tersebut redaksinya kelihatan mirip, bahkan sama-sama menjelasakan pertolongan Allah kepada kaum Muslimin ketika melawan musuh-musuhnya, namun berbeda pada hal-hal sebagai berikut. Surat Al-Anfal (1) mendahulukan بِهِ daripada قُلُوْبُكُمْ (2) memakai kata إِنَّ (3) berbicara mengenai prang Badar. Surat Ali Imran: (1) memakai kata لَكُمْ (2) berbicara tentang perang uhud.[28]
Keterdahuluan kata بِهِ dan penambahan kata إِنَّ dalam ayat pertama diduga keras sebagai tauhid terhadap kandungan utama ayat, yakni bantuan dari Allah pada perang Badar, mengingat perang itu yang pertama, dan jumlah kaum muslimin sedikit.[29]
Dalam perang uhud, tauhid itu tidak diperlukan, sebab pengalaman perang sudah ada, dan umat islam sudah banyak, dan pemakaian kata di sini menandakan kegembiraan itu hanya bagi sahabat, bukan kegembiraan seperti kasus ayat pertama.[30]
d)   Metode Maudhu'i
Metode tafsir maudhû’iy juga disebut dengan dengan metode tematik yaitu menghimpun ayat-ayat al-Quran yang mempunyai maksud yang sama, dalam arti, sama-sama membicarakan satu topik masalah dan menyusunnya berdasar kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat tersebut., Kemudian penafsir mulai memberikan keterangan dan penjelasan serta mengambil kesimpulan. Secara khusus, penafsir melakukan studi tafsirnya ini dengan metode maudhû’iy, dimana ia melihat ayat-ayat tersebut dari seluruh seginya, dan melakukan analisis berdasar ilmu yang benar, yang digunakan oleh pembahas untuk menjelaskan pokok permasalahan, sehingga ia dapat memahami permasalahan tersebut dengan mudah dan betul-betul menguasainya, sehingga memungkinkan baginya untuk memahami maksud yang terdalam dan dapat menolak segala kritik.[31]
Metode mawadhu’i adalah cara menafsirkan al-Quran dengan menghimpun ayat-ayat yang mempunyai maksud yang sama atau ayat-ayat yang membicrakan tentang topik yang sama dan menyusunnya berdasarkan kronologi serta sebab-sebab turunnya ayat tersebut. Salah satu pesan Ali bin Abi Thalib: “Ajaklah al-Quran berbicara atau biarkan ia menguraikan maksudnya”. Pesan ini antara lain mengharuskan penafsiran merujuk kepada al-Quran dalam rangka memahami kandungannya. Dari sini lahir metode maudlu’ iy dimana mufasirnya berupaya menghimpun ayat-ayat al-Quran dari berbagai surat yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian penafsir membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.[32]
2.      Model Ahmad Al-Syarbasi
Ahmad ays-Syarbashi melakukan penelitian tentang tafsir pada tahun 1985 dengan menggunaan metode deskriptif, eksploratif , dan analisis sebagai mana dilakukan oleh Quraish Shihab.[33] Menurut Al-Syarbashi penelitian ini di bagi menjadi tiga bidang. Pertama, mengenai sejarah penafsirn Al-Qur'an yang dibagi kedalam tafsir masa sahabat Nabi. Kedua, mengenai corak tafsir, yaitu tafsir ilmiah, tafsir sufi dan tafsir politik. Ketiga, mengenai gerakan pembaharuan di bidang tafsir.[34]
Menurutnya, tafsir pada zaman Rasulullah SAW., pada awal mula pertumbuhan Islam disusun pendek dan tampak ringkas karena penguasaan bahasa Arab yang murni pada saat itu cukup untuk memahami gaya dan susunan kalimat Al-Qur'an. Pada masa-masa sesudah itu  penguasaan bahasa Arab yang murni tadi mengalami kerusakan akibat percampuran masyarakat Arab dengan bangsa-bangsa lain, yaitu ketika pemeluk Islam berkembang meluas ke berbagai negeri. Untuk memelihara keutuhan bahasanya, orang-orang Arab mulai meletakkan kaidah-kaidah bahasa Arab seperti ilmu Nahwu(gramatika) dan  Balaghah (retorika).[35]
Tentang Tafsir Ilmiah, Al-syarbashi mengatakan, sudah dapat kita pastikan bahwa dalam Al-Qur'an tidak terdapat suatu teks induk yang bertentangan dengan bermacam kenyataan ilmiah. Ini merupakan satu segi dari kedudukannya sebagai mu'jizat. Munculnya istilah tafsir ilmiah yang dikemukakan Al-Syarbashi tersebut antara lain didasarkan data pada kitab Tafsir Ar-Razi.[36]
Selanjutnya, tentang tafsir sufi, Al-Syarbashi mengatakan ada kaum sufi yang sibuk menafsirkan huruf-huruf Al-Qur'an dan berusaha menerangkan hubungannya yang satu dengan yang lainnya. Adanya tafsir sufi tersebut, Al-Syarbashi mendasarkan kepada kitab-kitab tafsir yang  dikarang para Ulama' sufi.[37]
Selanjutnya, mengenai gerakan pembaharuan di bidang tafsir, Ahmad Al-Syarbashi mendasarkan pad beberapa karya ulama yang muncul pada awal abda ke-20. Ia menyebutkan Sayyid Ridha –murid Syekh Muhammad Abduh yang mencatat dan menuangkan kuliah-kuliah gurunya kedalam majalah Al-Manar. Itu merupakan langkah pertama. Langkah selanjutnya, ia menghimpun dan menambah penjelasan seperlunya dalam sebuah kitab tafsir yang diberi nama Tafsur Al-Manar, yaitu kitab tafsir yang mengandung pembaharuan dan sesuai dengan perkembangan zaman.[38]

3.        Model Syekh Muhammad Al-Ghazali
Syaikh Muhammad Al-Ghazali dikenal dengan sebagai tokoh pemikir Islam Abad modern yang produktif. Salah satu hasil penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Al-Ghazali adalah berjudul Berdialog dengan Al-Qur'an.[39]
Tentang macam-macam metode memahami Al-Qur'an, Al-Ghazali membaginya ke dalam metode klasik dan modern. Modern dalam memahami Al-Qur'an menurutnya dalam berbagi kajian tafsir , kita banyak menemukan metode memahami Al-Qur'an yang berawal dari ulama generasi terdahulu. Mereka memahami Al-Qur'an, sehingga lahirlah yang kita kenal dengan metode memahami Al-Qur'an.[40]
Berbagai macam metode atau kajian yang dikemukakan Muhammad Al-Ghazali tersebut oleh ulama lainya diesebut sebagai pendekatan, dan bukan metode. Selanjutnya Muhammad Al-Ghazali mengemukakan adanya metode modern dalam memahami Al-Qur'an . metode modern ini timbul sebagi akibat dari adanya kelemahan pada berbagi metode yang telah disebutkan di atas.[41]
Berangkat dari adanya berbagai kelemahan yang terkandung dalam metode penafsiran masa lalu, terutama jika dikaitkan dengan keharusan memberikan jawaban terhadap berbagi masalah kontemporer dan modern.[42]



BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa tafsir bersal dari bahasa arab, fassara, yufassir, tafsiran yang berarti penjelasan, pemahaman, dan secara perincian. Selain itu, tafsir dapat pula berarti al-idlah wa at-thabyin, yaitu penjelasan dan keterangan.
Dan yang melatarbelakangi penelitian tafsir ialah wafatnya rasulullah yang memberikan penjelasan arti dan kandungan al-Quran yang membuat para sahabat melakukan ijitihad untuk menafsirkan al-Quran sebagaimana yang dilakukan oleh Ali bin Thalib serta adanya indikasi persoalan umat semakin berkembang seiring dengan perubahan dan tuntutan kemajuan zaman.
Adapun model-model penelitian tafsir yakni adalah model Model Quraish Shihab, model Ahamad Al-Syarbashi, dan Model Muhammad Imam Al-Ghazali. Yang sudah dijelaskan pada bab sebelumya.

B.  Saran
Kritik dan saran yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan Makalah kami. Dan menjadikan Makalah ini sebagai sarana yang dapat mendorong para mahasiswa berfikir aktif dan kreatif. Bagi para pembaca jika ingin menambah wawasan dan mengetahui lebih jauh, maka penulis mengharapkan dengan rendah hati agar lebih membaca buku-buku lainnya yang berkaitan dengan Metodologi Studi Islam.



DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Dudung "Penelitian Tafsir Sebagai Penelitian Ilmiah" http://www.uin-alauddin.ac.id/download-1.Penelitian%20Dudung%2053-67.pdf diakses pada 02 Mei 2015.
Abuddin Nata. 2012.Metodologi Studi Islam.Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Muhsin, "Metode Tafsir Al-Quran", http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/metode-tafsir-al-quran/ diakses pada 14 Mei 2015.
Oviyanti, Fitri.2014.Metodolgi Studi Islam.Palembang: Noer Fikri Offset.
Shihab, Quraish "Sejarah Perkembangan Tafsir" http://quran.al-shia.org/id/tafsir/tarikh-e-tafsir/sejarah-Tafsir02.htm diakses pada 14 Mei 2015.




[1] Dudung Abdullah, "Penelitian Tafsir Sebagai Penelitian Ilmiah" http://www.uin-alauddin.ac.id/download-1.Penelitian%20Dudung%2053-67.pdf diakses pada 02 Mei 2015.
[2] Ibid.
[3] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012), 209
[4] Ibid.210
[5] Ibid.211
[6] Fitri Oviyanti, Metodolgi Studi Islam, (Palembang: Noer Fikri Offset, 2014), 83.
[7] Ibid, 83-84.
[8] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 213.
[9] Ibid, 214.
[10] Ibid,215.
[11]Quraish Shihab, "Sejarah Perkembangan Tafsir" http://quran.al-shia.org/id/tafsir/tarikh-e-tafsir/sejarah-Tafsir02.htm diakses pada 14 Mei 2015.
[12] Ibid,
[13] Ibid,
[14] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 215-216.
[15] Ibid, 216-217.
[17] Ibid,
[18] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 218-219.
[19] Muhsin, "Metode Tafsir Al-Quran", http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/metode-tafsir-al-quran/ diakses pada 14 Mei 2015.
[20] Ibid,
[21] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 219.
[22] Muhsin, "Metode Tafsir Al-Quran", http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/metode-tafsir-al-quran/ diakses pada 14 Mei 2015.
[23] Ibid,
[24] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 220.
[25] Muhsin, "Metode Tafsir Al-Quran", http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/metode-tafsir-al-quran/ diakses pada 14 Mei 2015.
[26] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 220.
[27] Ibid, 221
[28] Ibid, 221.
[29] Ibid, 221.
[30] Ibid, 221.
[31] Muhsin, "Metode Tafsir Al-Quran", http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/metode-tafsir-al-quran/ diakses pada 14 Mei 2015.
[32] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 222.
[33] Ibid, 224.
[34] Ibid, 224.
[35] Ibid, 224
[36] Ibid, 225
[37] Ibid, 225
[38] Ibid, 226.
[39] Ibid, 227.
[40] Ibid, 227.
[41] Ibid, 228
[42] Ibid, 228.

1 komentar: