Jumat, 12 Februari 2016

"SERPIHAN DOA DI PUNCAK BROMO "




Rintikan hujan tiada hentinya menutupi tirai alam. Guyuran air rahmat itu terus berdentang menjatuhi atap rumah hingga terdengar membisingkan. Tak tahu kenapa, kota tempat aku singgah yang terkenal dengan polusi dan suhu panasnya, belakangan ini hampir menyaingi Bogor, kota hujan. Rasanya, mulai tumbuh bibit-bibit kerinduanku pada sang mentari. Mentari yang sering menghiburku dengan kemilau sinarnya yang mungkin justru dihindari oleh setiap manusia, terutama mereka yang berwujud remaja. Aku pun heran. Ke mana mentari itu menghilang, ataukah hanya sekedar bersembunyi, tapi di mana juga. Tak ku temukan sedikit pun jejaknya di setiap penantianku, di ujung fajar. Kadang pernah sesekali ku pergoki setitik cahayanya yang menembus jendela kamarku, tapi itu hanya setitik yang ku harap mampu berkembang menyinari cakrawala tapi justru setelah itu hilang, mengecewakan. Kini, hati dan perasaan serta fikiranku mulai berkolaborasi untuk mendoktrin semua karena mentari. Karena ia bersembunyi, jemuran kami tak ada yang mau mengering, terus mengembun dan baru beberapa hari kemudian agak terasa sudah tidak basah, namun itu pun menghalau hadirnya bau tak sedap. Karena mentari pula yang menghilang dari kehidupan, kami harus berpenampilan kusut saat berangkat kuliah, bahkan tak jarang kami terjebak tak bisa pulang menunggu sekian lama dan hanya mampu berharap hujan segera berlalu.
Suasana seperti itulah yang kini menyelimuti setiap celah kehidupan. Hingga membuat diriku pribadi, merasa bosan bila harus menanti dan menanti untuk sekedar melangkah beraktifitas ketika hujan benar-benar mengguyur tempat ku singgah.
Aku adalah anak kost yang tengah menempuh studi jenjang kuliah semester 3 di fakultas hukum. Meski di sini sudah semester 3, aku tergolong masih asing dengan suasana sekitar. Entah kenapa hatiku belum bisa menyatu dengan kehidupan ini, kehidupan baru yang telah ku jalani sekitar setahun lebih 3 bulan ini. Mungkin karena di sini bukan tempat pilihanku ataukah keramaian yang membuatku selalu merasa bising dan sulit menemukan setitik ketenangan. Jika aku tergolong keras memberi dan membuat keputusan, begitulah sepantasnya. Karena mereka di luar sana pun sudah tak asing bahwa seperti itulah memang karakteristik anak hukum. Tapi, setidaknya aku selalu membutuhkan untaian ketenangan untuk sejenak merefresh tumpukan problema yang membuatku berhati kalut, karena tak ku temukan ketenangan itu di tengah kebisingan kota ini.
Tepat di menit ke 25 ini, fikiranku mulai kacau. Ya, aku telah mematung di sini, di depan kantor fakultas, menunggu rintikan hujan itu segera berhenti agar aku bisa melangkah ke kostan yang memang tak jauh tapi mungkin akan membasahi sekujur tubuhku jika aku menerjangnya. Kekacauan itu berawal dari kata “UAS” yang terlintas sejenak di benakku. Ya, sepuluh hari lagi aku menjalani UAS semester ini. Dan sangat tak mungkin bagiku dituntut dengan jutaan soal yang menyebalkan jika perasaanku masih belum disinggahi ketenangan. Mendaki. Kata itu yang selanjutnya mengiringi keputusanku. Aku benar-benar ingin melakukan pendakian, entah di gunung mana. Intinya aku harus tetap mendaki. Jika ini dibilang pendakian perdana, memang iya. Karenanya, wajar bila ketakutan dan keraguan hadir menghantui jiwaku. Tapi obor semangat yang ku miliki mampu mematikan percikan  kelemahan yang hampir membuatku menyerah.
Satu hal yang paling ku benci, belum ada satu pun pihak yang mengiyakan keputusanku saat aku meminta ijin. Termasuk Ayah dan Ibuku di sana yang ku minta ijin lewat telfon serta Ibu kostku yang ku nilai agak killer. Begitu pula teman-temanku. Hanya ada tujuh orang yang setuju dengan planningku. Dan yang lain hanya melontarkan celoteh berupa ejekan yang menandakan ketidak setujuannya.
Di puncak klimaks kekacauan fikiranku, semua membaur menjadi satu. Antara takut, menyerah, gagal, dan ragu. Bahkan suasana malam ini pun seakan turut tidak mendukung keinginanku dalam pendakian. Purnama tiada menunjukkan keelokannya meski malam ini tepat tanggal 15 dan tanpa ku sadari derai tetes hujan itu kembali terjun saat ku rasa ia membasahi ujung hidungku. Fenomena ini membuatku terusir dari lamunan di teras kostan. Jujur, memang ku sadari aku paling tidak suka dengan kedinginan. Dan mungkin itulah satu-satunya argumen yang mereka angkat untuk tidak mengijinkanku pergi. Bagi mereka aku adalah manusia panas. Selalu merasa dingin di suhu sepanas apa pun. Apa jadinya nanti saat pendakian, saat kabut tebal menghalangi pandangan, saat rintikan embun membasahi segalanya, dan saat cuaca buruk menahan kaki untuk tetap melangkah. Ah, entahlah. Aku semakin bingung. Langkahku gontai menuju tempat tidur, ingin segera ku melepas lelah dengan bergelut sama makhluk-makhluk kapuk bernama bantal. Besok aku tetap harus pergi, gumamku dalam hati yang selanjutnya membuat katup mataku mulai tenggelam.
Fajar belum menyingsing, tapi hembusan angin yang menelisik ventilasi kamarku membuatku terjaga. Dingin. Dingin sekali. Tak ada yang mampu ku lakukan dalam kedinginan selain menangis dan berusaha mencari kehangatan. Dan saat seperti inilah aku terlihat sangat lemah, seakan membutuhkan seseorang di sampingku tapi kenyataannya aku hanya sendiri di kamar ini. Rencana pendakian itu kembali menghantui setiap sudut fikiranku. Aku takut. Ya, jiwaku telah terkalahkan dengan ketakutan itu. Aku tak yakin tetap pergi tanpa ijin dari mereka semua. Ku raih handphone di ujung meja. Ku hubungi Ayah dan Ibuku di sana. Sekali lagi yang ku bahas adalah permohonan ijin perihal rencana pendakianku, dan ternyata mereka benar-benar mengiyakanku tentunya dengan diiringi jutaan nasihat sebagai bekal untuk ku pergi. Berakhirnya telfonku dengan Ayah dan Ibu sekaligus berakhir pula dingin yang menyelimuti sekujur tubuhku. Semangatku kembali membuncah saat restu Ayah Ibu mengiringi kepergianku. Soal Ibu kost, biarlah. Yang penting aku berniat baik, ingin mencari ketenangan demi kenyamanan ujian sekaligus bertafakkur pada ciptaan Tuhan.
Ku hubungi ke tujuh temanku bahwa hari ini juga kita akan segera berangkat menuju puncak itu. Tak lagi mampu ku menunda planning ini, melihat ujian pun tinggal menghitung hari. Kami berangkat dengan jeep dengan muatan 6 cewek serta seorang cowok sebagai sopir sekaligus pendamping kami. Alam seakan sangat bersahabat. Hujan yang selama ini sempat menguasai jatah mentari, kini ia mampu tersingkirkan dengan pancaran senyum mentari yang seakan sangat merestui jurney ini. Bromo... I’m coming... Lirihku dalam hati.
Udara dingin semakin menelisik di setiap pori-pori kulit. Suasana malam yang semakin mencekam membuat batinku seakan tergoyah. Tapi aku masih sadar. Aku harus menang dengan dingin ini. Ya, malam ini, tepat pukul 11 lebih 50 menit kami sampai di kawasan wisata gunung Bromo. Gemuruh detak jantungku semakin menggelegar saat perasaan senang ini tiba-tiba dikejutkan oleh gonggongan anjing di sana sini. Namun, rasa khawatir akan keberadaan anjing di sekitar akhirnya berhasil ku tepis saat kantuk benar-benar  mengharuskan katup mataku menutup. Bukan keinginan tapi memang tuntutan. Bagaimana tidak, sepanjang perjalanan tak satupun dari kami mampu tertidur menikmati kenyamanan perjalanan. Justru ketegangan yang menghiasi perjalanan ini karena jalanan yang penuh tanjakan dan tikungan serta kedalaman jurang yang mengiringi sepanjang jalan itu. Di dukung suasana malam yang semakin kelam membuat kami semakin diliputi perasaan takut, gundah, gelisah, dan semuanya. Apalagi sempat terlintas di sebelah jeep kami, bus kosang. Entah memang benar atau hanya halusinasi dari kami yang membuat bibir ini terus komat kamit membaca berbagai jenis do’a dan sholawat.
Mata menutup tapi tubuh masih terus bergerak-gerak layaknya ikan lele, antara hidup dan mati. Dinginnya mengalahkan berbagai jenis atribut. Topi, syall, jaket tebal, sarung tangan, kaos kaki, semua terasa tak mampu menghalau dinginnya malam di kawasan Bromo ini. Hingga membuat tidur pun miris dan memaksa kami untuk bangun sebelum fajar benar-benar menyingsing. Sekalian menanti adzan shubuh, segelas pop mie dan secangkir kopi menemani kedinginan kami. Tapi ternyata adzan shubuh tak kunjung berkumandang. Baru ku tersadar bila di sini, di kawasan Bromo ini adalah mayoritas mereka dari suku tengger. Pantas saja jutaan anjing berkeliaran. Bahkan untuk menuju mushollah pun kami harus berjalan kurang lebih 100 meter, itu pun masih ada jarak agak jauh antara tempat wudlu dan mushollah. Huft, melelahkan. Mau sholat saja repot sekali. Tapi seru juga saat kita berhasil mengelabuhi anjing-anjing menakutkan yang tak ku tahu sedang apa di lapangan dekat mushollah.
Acara inti akan segera berlangsung. Ya, tepat setelah menghadap Sang Pencipta alam di waktu shubuh, kami akan langsung tancap kaki menuju puncak. Kabut tebal menyelimuti alam perjalanan kami. Aku sempat sempoyongan saat pandanganku berkunang-kunang dengan pengaturan nafas yang tak lancar karena bertahan bersama kedinginan di atas rata-rata. Fikirku pun melayang, mulai kacau dengan hadirnya berbagai perkataan mereka di sana yang mencibirku bahwa aku tak kan mampu mencapai puncak. Hingga membuatku berjalan agak jauh terpisah dengan teman-teman. Ku sandarkan diriku sejenak di balik batuan besar dan kembali tersadar saat teman-teman akhirnya menghampiriku, dan itulah yang ku harapkan. Aku dipeluk. Kehangatan mulai menjalar dan tawa lepas akhirnya mampu mencairkan ketegangan kami saat kami sadar bila nafas kami menguap, layaknya berada di daratan Eropa, menyenangkan.
     ... SUBHANALLAH ...
Tuhan.. Negeri ini sangat indah, bantu kami untuk bisa menjaga dan melestarikannya.

Terkagum menyaksikan panorama yang biasanya hanya mampu kami lihat di layar televisi atau sekedar di internet dan berbagai gambar di buku bacaan tapi saat ini benar-benar berada di depan mata. Sungguh besar kuasa-Mu, Yaa Rabb. Tak terasa perjalanan yang penuh halang rintang itu mulai membawa hasil. Mulai kabut tebal yang menutup pandangan, angin yang terus berhembus kencang, hingga bau butiran belerang yang melayang-layang. Dan kini, kami bertujuh, termasuk aku, gadis yang mereka bilang tak kan mampu melawan suhu di atas rata-rata tapi saat ini sejarah telah mencatat bahwa aku dan ke tujuh sahabatku benar-benar berada di puncak Bromo. Bukan seberapa memang, tapi merupakan suatu kebanggaan bagi yang mampu mewujudkannya. Tak mudah menjalani, mereka yang mencibir pun belum tentu mampu melalui. Dan pagi ini pula, kami menyaksikan mentari akhir tahun, matahari 24 Desember. Teringat wajah mereka di sana, hatiku berbisik, hai kalian... terbukti aku bukan yang lemah, setidaknya aku mampu selangkah lebih tinggi dari kalian, justru kalian yang tergolong pecundang hanya mampu berucap di balik tembok kokohnya kelemahan yang kalian miliki... satu ucapanku buat kalian “Kalian semua dapat salam dari Indonesia.”
Tak mampu berucap saat kaki kami benar-benar menancap di puncak. Jutaan kata menari-nari dalam fikiran, seakan ikut tersenyum bersama butiran air mata yang mengiringi haru dalam bahagiaku. Serasa mimpi tapi ini memang terjadi.
Tuhan...
Terima kasih atas limpahan Rahmat-Mu yang terus mengiringi langkah kami.
Terima kasih atas iringan Ridlo-Mu yang terus menghiasi setiap denyut nadi kami.
Dan terima kasih pula atas Karunia Inayah-Mu yang  menyelimuti hembusan nafas kami.
Pagi ini, ku rangkaikan do’a di atas keindahan ciptaan-Mu
Ijinkan kami merajut kebahagiaan bersama orang-orang yang kami sayang
Meski saat ini kita jauh terbentang jarak terhalang waktu
Kami akan kembali di pangkuan mereka
membawa segenggam asa yang selama ini hanya berwujud imajinasi
suatu hari nanti kami akan mengalahkan waktu
yang saat ini sangat berkhianat pada pengorbanan yang kami jalani
di tanah rantau yang kami singgahi
aku yakin
aku percaya
aku bisa karena aku berusaha
dan aku bisa karena Engkau ada
demi orang-orang yang kami sayang
Restui perjungan yang kami jalani ini
Berubah wujud menjadi kesuksesan hakiki nantinya, Yaa Rabb...

Ada suatu histori di kawasan Bromo, di sebuah tangga keberuntungan. Barang siapa mampu melalui tangga tersebut dengan hitungan sama saat naik dan turun, maka diprediksikan ia adalah orang hebat yang mampu mewujudkan kesuksesan. 242. Angka cantik yang menjadi milikku saat naik dan turun. Tak ku sangka aku mampu mewujudkan kesamaan angka itu meski di tengah perjalanan naik aku sempat tak mampu melangkah, capek. Tapi ku ingat dengan iming-iming di puncak sana. Akhirnya aku mampu. Ku harap ini adalah serpihan jawaban dari untaian bait do’aku yang membuat kesuksesan itu berpihak padaku di masa depan nanti. Dan senangnya lagi, saat ku tahu bahwa hanya diriku seorang yang mampu menemukan kesamaan angka itu. Ku peluk semua sahabatku, biar sejarah yang mencatat kebahagiaan kita di sini dan Tuhan yang mewujudkan asa yang belum menjadi milik kita seutuhnya saat ini.
Takdir adalah catatan soal yang harus dikerjakan.
Begitu para pujangga mengatakannya. Kita memang punya takdir. Dan semuanya akan terjadi tinggal bagaimana kita mampu mengolahnya. Takdir memang ada yang murni dari Sang Khaliq tapi di sisi lain kita diberi kewenangan pada seutas takdir di mana ketidak nyamanannya mampu kita atur dengan do’a dan ikhtiar yang kita jalani.
Jangan pernah lengah hanya dengan cibiran manusia-manusia bodoh tanpa dosa. Mereka hanya mampu bersembunyi di balik kerapuhan jiwa yang tiga ratus enam puluh darajat jauh lebih buruk dari jiwa juang yang kita miliki. Terkadang kita terlihat bodoh saat harus meluangkan waktu hanya untuk meladeni sikap mereka. Dan kita tak pernah sadar akan itu. Sekali lagi, jangan pernah takut melangkah. Biarkan anjing menggonggong, tapi kita tetap berlalu. Ingat, kita punya Allah yang lebih dekat dari urat nadi.

                                                                                                          H. NOER. SH
Jombang, 16 Januari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar