Rintikan hujan tiada
hentinya menutupi tirai alam. Guyuran air rahmat itu terus berdentang menjatuhi
atap rumah hingga terdengar membisingkan. Tak tahu kenapa, kota tempat aku
singgah yang terkenal dengan polusi dan suhu panasnya, belakangan ini hampir menyaingi
Bogor, kota hujan. Rasanya, mulai tumbuh bibit-bibit kerinduanku pada sang
mentari. Mentari yang sering menghiburku dengan kemilau sinarnya yang mungkin
justru dihindari oleh setiap manusia, terutama mereka yang berwujud remaja. Aku
pun heran. Ke mana mentari itu menghilang, ataukah hanya sekedar bersembunyi,
tapi di mana juga. Tak ku temukan sedikit pun jejaknya di setiap penantianku,
di ujung fajar. Kadang pernah sesekali ku pergoki setitik cahayanya yang
menembus jendela kamarku, tapi itu hanya setitik yang ku harap mampu berkembang
menyinari cakrawala tapi justru setelah itu hilang, mengecewakan. Kini, hati
dan perasaan serta fikiranku mulai berkolaborasi untuk mendoktrin semua karena
mentari. Karena ia bersembunyi, jemuran kami tak ada yang mau mengering, terus
mengembun dan baru beberapa hari kemudian agak terasa sudah tidak basah, namun
itu pun menghalau hadirnya bau tak sedap. Karena mentari pula yang menghilang
dari kehidupan, kami harus berpenampilan kusut saat berangkat kuliah, bahkan tak
jarang kami terjebak tak bisa pulang menunggu sekian lama dan hanya mampu
berharap hujan segera berlalu.
Suasana seperti itulah
yang kini menyelimuti setiap celah kehidupan. Hingga membuat diriku pribadi,
merasa bosan bila harus menanti dan menanti untuk sekedar melangkah
beraktifitas ketika hujan benar-benar mengguyur tempat ku singgah.
Aku adalah anak kost yang
tengah menempuh studi jenjang kuliah semester 3 di fakultas hukum. Meski di
sini sudah semester 3, aku tergolong masih asing dengan suasana sekitar. Entah
kenapa hatiku belum bisa menyatu dengan kehidupan ini, kehidupan baru yang
telah ku jalani sekitar setahun lebih 3 bulan ini. Mungkin karena di sini bukan
tempat pilihanku ataukah keramaian yang membuatku selalu merasa bising dan
sulit menemukan setitik ketenangan. Jika aku tergolong keras memberi dan membuat
keputusan, begitulah sepantasnya. Karena mereka di luar sana pun sudah tak
asing bahwa seperti itulah memang karakteristik anak hukum. Tapi, setidaknya
aku selalu membutuhkan untaian ketenangan untuk sejenak merefresh tumpukan
problema yang membuatku berhati kalut, karena tak ku temukan ketenangan itu di
tengah kebisingan kota ini.
⃰
Tepat di menit ke 25 ini,
fikiranku mulai kacau. Ya, aku telah mematung di sini, di depan kantor
fakultas, menunggu rintikan hujan itu segera berhenti agar aku bisa melangkah
ke kostan yang memang tak jauh tapi mungkin akan membasahi sekujur tubuhku jika
aku menerjangnya. Kekacauan itu berawal dari kata “UAS” yang terlintas sejenak
di benakku. Ya, sepuluh hari lagi aku menjalani UAS semester ini. Dan sangat
tak mungkin bagiku dituntut dengan jutaan soal yang menyebalkan jika perasaanku
masih belum disinggahi ketenangan. Mendaki. Kata itu yang selanjutnya
mengiringi keputusanku. Aku benar-benar ingin melakukan pendakian, entah di
gunung mana. Intinya aku harus tetap mendaki. Jika ini dibilang pendakian
perdana, memang iya. Karenanya, wajar bila ketakutan dan keraguan hadir
menghantui jiwaku. Tapi obor semangat yang ku miliki mampu mematikan percikan kelemahan yang hampir membuatku menyerah.
Satu hal yang paling ku
benci, belum ada satu pun pihak yang mengiyakan keputusanku saat aku meminta
ijin. Termasuk Ayah dan Ibuku di sana yang ku minta ijin lewat telfon serta Ibu
kostku yang ku nilai agak killer. Begitu pula teman-temanku. Hanya ada tujuh
orang yang setuju dengan planningku. Dan yang lain hanya melontarkan celoteh
berupa ejekan yang menandakan ketidak setujuannya.
Di puncak klimaks
kekacauan fikiranku, semua membaur menjadi satu. Antara takut, menyerah, gagal,
dan ragu. Bahkan suasana malam ini pun seakan turut tidak mendukung keinginanku
dalam pendakian. Purnama tiada menunjukkan keelokannya meski malam ini tepat
tanggal 15 dan tanpa ku sadari derai tetes hujan itu kembali terjun saat ku rasa
ia membasahi ujung hidungku. Fenomena ini membuatku terusir dari lamunan di
teras kostan. Jujur, memang ku sadari aku paling tidak suka dengan kedinginan.
Dan mungkin itulah satu-satunya argumen yang mereka angkat untuk tidak
mengijinkanku pergi. Bagi mereka aku adalah manusia panas. Selalu merasa dingin
di suhu sepanas apa pun. Apa jadinya nanti saat pendakian, saat kabut tebal
menghalangi pandangan, saat rintikan embun membasahi segalanya, dan saat cuaca
buruk menahan kaki untuk tetap melangkah. Ah, entahlah. Aku semakin bingung.
Langkahku gontai menuju tempat tidur, ingin segera ku melepas lelah dengan
bergelut sama makhluk-makhluk kapuk bernama bantal. Besok aku tetap harus pergi, gumamku dalam hati yang selanjutnya
membuat katup mataku mulai tenggelam.
⃰
Fajar belum menyingsing,
tapi hembusan angin yang menelisik ventilasi kamarku membuatku terjaga. Dingin.
Dingin sekali. Tak ada yang mampu ku lakukan dalam kedinginan selain menangis
dan berusaha mencari kehangatan. Dan saat seperti inilah aku terlihat sangat
lemah, seakan membutuhkan seseorang di sampingku tapi kenyataannya aku hanya
sendiri di kamar ini. Rencana pendakian itu kembali menghantui setiap sudut
fikiranku. Aku takut. Ya, jiwaku telah terkalahkan dengan ketakutan itu. Aku
tak yakin tetap pergi tanpa ijin dari mereka semua. Ku raih handphone di ujung
meja. Ku hubungi Ayah dan Ibuku di sana. Sekali lagi yang ku bahas adalah
permohonan ijin perihal rencana pendakianku, dan ternyata mereka benar-benar
mengiyakanku tentunya dengan diiringi jutaan nasihat sebagai bekal untuk ku
pergi. Berakhirnya telfonku dengan Ayah dan Ibu sekaligus berakhir pula dingin
yang menyelimuti sekujur tubuhku. Semangatku kembali membuncah saat restu Ayah
Ibu mengiringi kepergianku. Soal Ibu kost, biarlah. Yang penting aku berniat
baik, ingin mencari ketenangan demi kenyamanan ujian sekaligus bertafakkur pada
ciptaan Tuhan.
Ku hubungi ke tujuh
temanku bahwa hari ini juga kita akan segera berangkat menuju puncak itu. Tak
lagi mampu ku menunda planning ini, melihat ujian pun tinggal menghitung hari.
Kami berangkat dengan jeep dengan muatan 6 cewek serta seorang cowok sebagai
sopir sekaligus pendamping kami. Alam seakan sangat bersahabat. Hujan yang
selama ini sempat menguasai jatah mentari, kini ia mampu tersingkirkan dengan
pancaran senyum mentari yang seakan sangat merestui jurney ini. Bromo... I’m
coming... Lirihku dalam hati.
⃰
Udara dingin semakin
menelisik di setiap pori-pori kulit. Suasana malam yang semakin mencekam
membuat batinku seakan tergoyah. Tapi aku masih sadar. Aku harus menang dengan
dingin ini. Ya, malam ini, tepat pukul 11 lebih 50 menit kami sampai di kawasan
wisata gunung Bromo. Gemuruh detak jantungku semakin menggelegar saat perasaan
senang ini tiba-tiba dikejutkan oleh gonggongan anjing di sana sini. Namun, rasa
khawatir akan keberadaan anjing di sekitar akhirnya berhasil ku tepis saat
kantuk benar-benar mengharuskan katup
mataku menutup. Bukan keinginan tapi memang tuntutan. Bagaimana tidak,
sepanjang perjalanan tak satupun dari kami mampu tertidur menikmati kenyamanan
perjalanan. Justru ketegangan yang menghiasi perjalanan ini karena jalanan yang
penuh tanjakan dan tikungan serta kedalaman jurang yang mengiringi sepanjang
jalan itu. Di dukung suasana malam yang semakin kelam membuat kami semakin
diliputi perasaan takut, gundah, gelisah, dan semuanya. Apalagi sempat
terlintas di sebelah jeep kami, bus kosang. Entah memang benar atau hanya
halusinasi dari kami yang membuat bibir ini terus komat kamit membaca berbagai
jenis do’a dan sholawat.
Mata menutup tapi tubuh
masih terus bergerak-gerak layaknya ikan lele, antara hidup dan mati. Dinginnya
mengalahkan berbagai jenis atribut. Topi, syall, jaket tebal, sarung tangan,
kaos kaki, semua terasa tak mampu menghalau dinginnya malam di kawasan Bromo
ini. Hingga membuat tidur pun miris dan memaksa kami untuk bangun sebelum fajar
benar-benar menyingsing. Sekalian menanti adzan shubuh, segelas pop mie dan
secangkir kopi menemani kedinginan kami. Tapi ternyata adzan shubuh tak kunjung
berkumandang. Baru ku tersadar bila di sini, di kawasan Bromo ini adalah
mayoritas mereka dari suku tengger. Pantas saja jutaan anjing berkeliaran.
Bahkan untuk menuju mushollah pun kami harus berjalan kurang lebih 100 meter,
itu pun masih ada jarak agak jauh antara tempat wudlu dan mushollah. Huft,
melelahkan. Mau sholat saja repot sekali. Tapi seru juga saat kita berhasil
mengelabuhi anjing-anjing menakutkan yang tak ku tahu sedang apa di lapangan
dekat mushollah.
⃰
Acara inti akan segera
berlangsung. Ya, tepat setelah menghadap Sang Pencipta alam di waktu shubuh,
kami akan langsung tancap kaki menuju puncak. Kabut tebal menyelimuti alam perjalanan
kami. Aku sempat sempoyongan saat pandanganku berkunang-kunang dengan
pengaturan nafas yang tak lancar karena bertahan bersama kedinginan di atas
rata-rata. Fikirku pun melayang, mulai kacau dengan hadirnya berbagai perkataan
mereka di sana yang mencibirku bahwa aku tak kan mampu mencapai puncak. Hingga
membuatku berjalan agak jauh terpisah dengan teman-teman. Ku sandarkan diriku
sejenak di balik batuan besar dan kembali tersadar saat teman-teman akhirnya
menghampiriku, dan itulah yang ku harapkan. Aku dipeluk. Kehangatan mulai
menjalar dan tawa lepas akhirnya mampu mencairkan ketegangan kami saat kami
sadar bila nafas kami menguap, layaknya berada di daratan Eropa, menyenangkan.
⃰
... SUBHANALLAH ...
Tuhan..
Negeri ini sangat indah, bantu kami untuk bisa menjaga dan melestarikannya.
Terkagum menyaksikan
panorama yang biasanya hanya mampu kami lihat di layar televisi atau sekedar di
internet dan berbagai gambar di buku bacaan tapi saat ini benar-benar berada di
depan mata. Sungguh besar kuasa-Mu, Yaa Rabb. Tak terasa perjalanan yang penuh
halang rintang itu mulai membawa hasil. Mulai kabut tebal yang menutup
pandangan, angin yang terus berhembus kencang, hingga bau butiran belerang yang
melayang-layang. Dan kini, kami bertujuh, termasuk aku, gadis yang mereka
bilang tak kan mampu melawan suhu di atas rata-rata tapi saat ini sejarah telah
mencatat bahwa aku dan ke tujuh sahabatku benar-benar berada di puncak Bromo.
Bukan seberapa memang, tapi merupakan suatu kebanggaan bagi yang mampu
mewujudkannya. Tak mudah menjalani, mereka yang mencibir pun belum tentu mampu
melalui. Dan pagi ini pula, kami menyaksikan mentari akhir tahun, matahari 24
Desember. Teringat wajah mereka di sana, hatiku berbisik, hai kalian...
terbukti aku bukan yang lemah, setidaknya aku mampu selangkah lebih tinggi dari
kalian, justru kalian yang tergolong pecundang hanya mampu berucap di balik
tembok kokohnya kelemahan yang kalian miliki... satu ucapanku buat kalian “Kalian semua dapat salam dari Indonesia.”
Tak mampu berucap saat
kaki kami benar-benar menancap di puncak. Jutaan kata menari-nari dalam
fikiran, seakan ikut tersenyum bersama butiran air mata yang mengiringi haru
dalam bahagiaku. Serasa mimpi tapi ini memang terjadi.
Tuhan...
Terima kasih atas
limpahan Rahmat-Mu yang terus mengiringi langkah kami.
Terima kasih atas iringan
Ridlo-Mu yang terus menghiasi setiap denyut nadi kami.
Dan
terima kasih pula atas Karunia Inayah-Mu yang menyelimuti hembusan nafas kami.
Pagi ini, ku rangkaikan
do’a di atas keindahan ciptaan-Mu
Ijinkan kami merajut
kebahagiaan bersama orang-orang yang kami sayang
Meski saat ini kita jauh
terbentang jarak terhalang waktu
Kami akan kembali di
pangkuan mereka
membawa segenggam asa
yang selama ini hanya berwujud imajinasi
suatu hari nanti kami
akan mengalahkan waktu
yang saat ini sangat berkhianat
pada pengorbanan yang kami jalani
di tanah rantau yang kami
singgahi
aku yakin
aku percaya
aku bisa karena aku
berusaha
dan aku bisa karena
Engkau ada
demi orang-orang yang
kami sayang
Restui perjungan yang
kami jalani ini
Berubah wujud menjadi
kesuksesan hakiki nantinya, Yaa Rabb...
Ada suatu histori di
kawasan Bromo, di sebuah tangga keberuntungan. Barang siapa mampu melalui
tangga tersebut dengan hitungan sama saat naik dan turun, maka diprediksikan ia
adalah orang hebat yang mampu mewujudkan kesuksesan. 242. Angka cantik yang menjadi
milikku saat naik dan turun. Tak ku sangka aku mampu mewujudkan kesamaan angka
itu meski di tengah perjalanan naik aku sempat tak mampu melangkah, capek. Tapi
ku ingat dengan iming-iming di puncak sana. Akhirnya aku mampu. Ku harap ini
adalah serpihan jawaban dari untaian bait do’aku yang membuat kesuksesan itu
berpihak padaku di masa depan nanti. Dan senangnya lagi, saat ku tahu bahwa
hanya diriku seorang yang mampu menemukan kesamaan angka itu. Ku peluk semua
sahabatku, biar sejarah yang mencatat kebahagiaan kita di sini dan Tuhan yang
mewujudkan asa yang belum menjadi milik kita seutuhnya saat ini.
⃰
Takdir adalah
catatan soal yang harus dikerjakan.
Begitu para pujangga
mengatakannya. Kita memang punya takdir. Dan semuanya akan terjadi tinggal bagaimana
kita mampu mengolahnya. Takdir memang ada yang murni dari Sang Khaliq tapi di
sisi lain kita diberi kewenangan pada seutas takdir di mana ketidak nyamanannya
mampu kita atur dengan do’a dan ikhtiar yang kita jalani.
Jangan pernah lengah
hanya dengan cibiran manusia-manusia bodoh tanpa dosa. Mereka hanya mampu
bersembunyi di balik kerapuhan jiwa yang tiga ratus enam puluh darajat jauh lebih
buruk dari jiwa juang yang kita miliki. Terkadang kita terlihat bodoh saat
harus meluangkan waktu hanya untuk meladeni sikap mereka. Dan kita tak pernah
sadar akan itu. Sekali lagi, jangan pernah takut melangkah. Biarkan anjing
menggonggong, tapi kita tetap berlalu. Ingat, kita punya Allah yang lebih dekat
dari urat nadi.
H.
NOER. SH
Jombang, 16
Januari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar